Adab-Adab Membaca
al-Qur’an Mukaddimah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang memiliki kedudukan
tersendiri di hati setiap Muslim. Ia merupakan kalamullah dan
sebagai sumber hukum pertama bagi umat Islam.
Sebagai sebuah kitab suci yang memiliki keistimewaan, tentu patutlah
bagi seorang Muslim untuk memuliakan dan menghormatinya, termasuk
dalam sikap kita ketika ingin membacanya.
Nah, apakah adab-adabnya? Silahkan menyimak!!
Banyak sekali adab-adab yang harus diperhatikan ketika membaca al-Qur’an,
di antaranya:
1. Ikhlash atau menuluskan niat karena Allah semata. Ini merupakan
adab yang paling penting di mana suatu amal selalu terkait dengan
niat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya
semua amalan itu tergantung niat-niatnya dan setiap orang tergantung
pada apa yang diniatkannya…” (HR.al-Bukhari, kitab Bad’ul
Wahyi, Jld.I, hal.9)
Karena itu, wajib mengikhlashkan niat dan memperbaiki tujuan serta
menjadikan hafalan dan perhatian terhadap al-Qur’an demi-Nya,
menggapai surga-Nya dan mendapat ridla-Nya.
Siapa saja yang menghafal al-Qur’an atau membacanya karena riya’,
maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa.
Nabi SAW bersabda, “Tiga orang yang pertama kali menjalani
penyidangan pada hari Kiamat nanti…[Rasulullah SAW kemudian
menyebutkan di antaranya]…dan seorang laki-laki yang belajar ilmu
lalu mengajarkannya, membaca al-Qur’an lalu ia dibawa menghadap,
lalu Allah mengenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, maka ia pun
mengetahuinya, lalu Dia SWT berkata, ‘Untuk apa kamu amalkan itu.?”
Ia menjawab, ‘Aku belajar ilmu untuk-Mu, mengajarkannya dan
membaca al-Qur’an.’ Lalu Allah berkata, ‘Kamu telah berbohong
akan tetapi hal itu karena ingin dikatakan, ‘ia seorang Qari (pembaca
ayat al-Qur’an).’ Dan memang ia dikatakan demikian. Kemudian ia
dibawa lalu wajahnya ditarik hingga dicampakkan ke dalam api neraka.”
(HR.Muslim, Jld.VI, hal.47)
Manakala seorang Muslim menghafal dan membaca al-Qur’an semata
karena mengharapkan keridlaan Allah, maka ia akan merasakan
kebahagian yang tidak dapat ditandingi oleh kebahagiaan apa pun di
dunia.
2. Menghadirkan hati (konsentrasi penuh) ketika membaca dan berupaya
menghalau bisikan-bisikan syetan dan kata hati, tidak sibuk dengan
memain-mainkan tangan, menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyibukkan
pandangan dengan selain al-Qur’an.
3. Mentadabburi (merenungi) dan memahami apa yang dibaca, merasakan
bahwa setiap pesan di dalam al-Qur’an itu ditujukan kepadanya dan
merenungi makna-makna Asma Allah dan sifat-Nya.
4. Tersentuh dengan bacaan. Imam as-Suyuthi RAH berkata, “Dianjurkan
menangis ketika membaca al-Qur’an dan berupaya untuk menangis bagi
yang tidak mampu (melakukan yang pertama-red.,), merasa sedih dan
khusyu’.” (al-Itqan, Jld.I, hal.302)
5. Bersuci. Maksudnya dari hadats besar, yaitu jinabah dan haidh
atau nifas bagi wanita.
Al-Qur’an merupakan zikir paling utama. Ia adalah kalam Rabb Ta’ala.
Karena itu, di antara adab membacanya, si pembaca harus suci dari
hadats besar dan kecil. Ia dianjurkan untuk berwudhu sebelum
membaca. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah
bin ‘Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah
menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Shahih al-Jaami’,
no.7657)
Perlu diketahui, bahwa seseorang boleh membaca al-Qur’an asalkan
tidak sedang berhadats besar, demikian pula disunnahkan baginya
untuk mencuci mulut (menggosok gigi-red.,) dengan siwak sebab ia
membersihkan mulut sedangkan mulut merupakan ‘jalan’ al-Qur’an.
6. Sebaiknya, ketika membaca al-Qur’an, menghadap Qiblat sebab ia
merupakan arah yang paling mulia, apalagi sedang berada di masjid
atau di rumah. Tetapi bila tidak memungkinkan, baik karena ia berada
di kios, mobil atau sedang bekerja, maka tidak apa membaca al-Qur’an
sakali pun tidak menghadap Qiblat.
7. Disunnahkan bagi seseorang untuk ber-ta’awwudz
(berlindung) kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Allah Ta’ala
berfirman, “Maka apabila kamu membaca al-Qur’an, berlindunglah
kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (an-Nahl:98)
8. Memperindah suaranya ketika membaca al-Qur’an sedapat mungkin.
Rasulullah SAW bersabda, “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara
kamu sebab suara yang bagus membuatnya bertambah bagus.”
(dinilai shahih oleh al-Albani, Shahih al-Jaami’, no.358)
“Disunnahkan memperbagus dan menghiasi suara dengan al-Qur’an…
Terdapat banyak hadits yang shahih mengenai hal itu. Jika seseorang
suaranya tidak bagus, maka ia boleh memperbagus semampunya asalkan
jangan keluar hingga seperti karet (dilakukan secara tidak
semestinya dan menyalahi kaidah tajwid-red.,).” (al-Itqaan, Jld.I,
hal.302)
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami orang
yang tidak bersenandung dengan al-Qur’an (melantunkannya dengan
bagus).” (Shahih al-Bukhari, Jld.XIII, hal.501, bab at-Tauhid,
no.7527)
Hendaknya pembaca al-Qur’an membaca sesuai dengan karakternya, tidak
menyusah-nyusahkan diri (dibuat-buat) dengan cara menaklid salah
seorang Qari atau dengan intonasi-intonasi tertentu sebab hal itu
dapat menyibukkan dirinya dari mentadabburi dan memahaminya serta
menjadikan seluruh keinginannya hanya pada mengikuti orang lain
(taqlid) saja.
9. Membaca dengan menggunakan mushaf. Hal ini dikatakan oleh
as-Suyuthi, “Membaca dengan menggunakan mushaf lebih baik dari pada
membaca dari hafalan sebab melihatnya merupakan suatu ibadah yang
dituntut.” (al-Itqaan, Jld.I, hal.304)
Hanya saja, Imam an-Nawawi dalam hal ini melihat dari aspek
kekhusyu’an; bila membaca dengan menggunakan mushaf dapat menambah
kekhusyu’an si pembaca, maka itu lebih baik. Demikian pula, bila
bagi seseorang yang tingkat kekhusyu’an dan tadabburnya sama dalam
kondisi membaca dan menghafal; ia boleh memilih membaca dari hafalan
bila hal itu menambah kekhusyu’annya.
Di antara hal yang perlu diperhatikan di sini, hendaknya seorang
pembaca, khususnya bagi siapa saja yang ingin menghafal, untuk
memilih satu jenis cetakan saja sehingga hafalannya lebih kuat dan
mantap.
Demikian pula, hendaknya ia menghormati mushaf dan tidak
meletakkannya di tanah/lantai, tidak pula dengan cara melempar
kepada pemiliknya bila ingin memberinya. Tidak boleh menyentuhnya
kecuali ia seorang yang suci.
10. Membaca di tempat yang layak (kondusif) seperti di masjid sebab
ia merupakan tempat paling afdhal di muka bumi, atau di satu tempat
di rumah yang jauh dari penghalang, kesibukan dan suara-suara yang
dapat mengganggu untuk melakukan tadabbur dan memahaminya. Karena
itu, ia tidak seharusnya membacakan al-Qur’an di komunitas yang
tidak menghormati al-Qur’an.
(SUMBER: Silsilah Manaahij Dauraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah
–fi’ah an-Naasyi’ah- al-Hadits karya Dr Ibrahim bin Sulaiman
al-Huwaimil, hal.21-25)
|