Sifat & Sikap Ahli Kitab
l-Qur'an banyak berbicara tentang sifat dan
sikap Ahl Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara
tentang keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat
An-Nisa, [4]: 171 dan Al-Ma-idah [5]: 77 mengisyaratkan bahwa
mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.
"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu,
dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS Al-Nisa,
[4]: 171).
Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah mengkufuri
ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabian
Muhammad saw).
"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat
Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl
Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang
batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu
mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71).
Nabi Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk
menyampaikan kepada mereka:
Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami
salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa
yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59).
Bahkan Allah Swt. secara langsung dan berkali-kali
mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka sebagai
pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat menyimpan
rahasia.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orany-orang yang zalim" (QS. Al-Ma-idah
[5]: 51).
Dalam QS Ali 'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk
tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai
bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan alasan
bahwa:
"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi
kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa
yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami
telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan
siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]:
118).
Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda,
"Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan
jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang di
antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran" (HR Muslim
melalui Abu Hurairah).
Sahabat dan pembantu Nabi saw., Anas bin Malik, berkata bahwa
Nabi saw. bersabda,
"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka
katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama berbeda
pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada orang-orang
kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga yang membolehkan
antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya bagi
kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat dalam hal
ini.
Al-Qur'an juga menyatakan bahwa,
"Apabila mereka condong kepada salam (perdamaian), maka condong
pulalah kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Al-Anfal
[8]: 61).
Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab siapa
pun mereka, walau Yahudi - tetap dituntut oleh Al-Qur'an.
Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi saw. pernah cenderung
mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak bersalah - karena
bersangka baik terhadap keluarga kaum Muslim yang menuduhnya.
Sikap Nabi tersebut ditegur oleh Allah dengan menurunkan surat An-Nisa,
[4]: 105.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya engkau mengadili antar manusia dengan apa
yang Allah wahyukan kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang
yang khianat." |