Mengapa Ada Kecaman Terhadap Ahli
Kitab ? Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab
ditujukan kepada orang Yahudi, bukan kepada orang Nasrani. Ini
disebabkan karena sejak semula ada perbedaan sikap di antara kedua
kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan kembali
penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian sebelumnya). Ketika
Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia yang
menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih, dan Al-Qur'an turun
menghibur mereka dengan menyatakan bahwa dalam jangka waktu tidak
lebih dari sembilan tahun, Romawi akan menang, dan ketika itu kaum
Mukmin akan bergembira:
"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang
terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam
beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka
menang) dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang" (QS Al-Rum [30]: 1-5).
Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim.
Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan perlindungan yang
diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama Nasrani kepada kaum
Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar jika secara tegas Al-Qur'an
menyatakan:
"Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman
ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan
sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah
orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini orang
Nasrani" (QS Al-Ma-idah [5]: 82).
Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang
Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasal dari
golongan mereka (QS Al-Baqarah [2]: 109). Kehadiran Nabi kemudian
mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di kalangan masyarakat Madinah
menciut, dan bahkan menghilangkan pengaruh politik dan kepentingan
ekonomi mereka.
Di sisi lain, seperti pernyataan Al-Qur'an di atas, sebab
kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:
"Karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri" (QS Al-Ma-idah [5]: 82)
Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran
moral yang bersumber dari ajaran Isa as., sedang para rahib yang
mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi
dengan berkonsentrasi pada ibadah),
berhasil pula memberi contoh kepada lingkungannya. Keberhasilan itu
didukung pula oleh tidak adanya kekuatan sosial politik dari
kalangan mereka di Makkah dan Madinah,
sehingga tidak ada faktor yang mengundang gesekan dan benturan
antara kaum Muslim dengan mereka.
Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi
pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok, memakan riba,
dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualis- tis.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya benturan,
bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau golongan,
kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus diakui bahwa
kepentingan tersebut dapat dikemas dengan kemasan agama, apalagi
bila ajarannya disalahpahami.
Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya'
(pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari
golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus dipahami
dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam surat Ali-'Imran
[3]: 118:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka
tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka
menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut
mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih
besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami),
jika kamu memahaminya."
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut
turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah yang
mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi saw., sehingga seperti
ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya: "Larangan ini baru berlaku
apabila mereka memerangi atau
bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."
Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat tajam pandangan
beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari - yang
menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat dengan orang-orang
Yahudi dan Nasrani secara mutlak.
Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu dengan hadis
Nabi saw. yang menyatakan,
"(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya."
Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal berdekatan
dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya salah satu pihak
menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu.
Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam
konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam konteks
kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan bantuan. Dalam
arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk tidak tinggal di tempat di
mana kaum musyrik bertempat tinggal, tetapi mereka harus berhijrah
ke tempat lain guna mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.
Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal, sedangkan
para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya hadis mursal untuk
dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha
berkomentar:
"Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan
hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya (Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit pengetahuan hadis, dan
keduanya pun tidak banyak merujuk kepada pendapat salaf (ulama
terdahulu yang diakui kompetensinya).{Baca lebih jauh Tafsir
Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.}"
Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan pengertian
larangan di atas dengan larangan serupa dalam Al-Qur'an:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS Ali Imran
[3]: 1 18)
Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul, sehingga ia
hanya berlaku terhadap orang yang cirinya demikian, kendati seagama,
sebangsa, dan seketurunan dengan seorang Muslim.
"Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat tersebut,
sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini bersifat mutlak
terhadap yang berlainan agama. Seandainya larangan tersebut mutlak,
ini tidak aneh karena orang-orang
kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal
masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat ini
menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi. Namun
demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut,
karena Allah swt. yang menurunkan mengetahui
perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan
pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang
Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang-orang
Mukmin, namun berbalik menjadi
membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di
Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim
melawan Romawi." {Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82 }
Dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan
perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja
sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan Al-Qur'an
sama sekali tidak melarang seorang Muslim
untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun
selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan
atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran
surat Al-Mumtahanah [60]: 8 yang dikemukakan oleh Ibn 'Arabi
Abubakar Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam
Al-Qur'an.{Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773. }
Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi
sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan
nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa
mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika
menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka
pahalanya adalah untukmu jua.{Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337. }"
Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh
Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun
oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain
berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.
"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia. dengan
sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa."
Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim memakan
sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang
menjaga kehormatannya.
|