Ring ring
Siapa Yang Disebut Ahli Kitab ?

Di atas telah dikemukakan bahwa para ulama sepakat
menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan
Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian, serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika mereka menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5, yang menguraikan
tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.

Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis
perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: (Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
Thn. VIII, No. 86.}

Imam Syafi'i, memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan
Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa
lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum
kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu). Pendapat
Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan
mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun
yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah
diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab. Dengan
demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut
agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu
kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur
(yang diberikan kepada Nabi Daud a.s.) saja, maka ia pun
termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat
ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang
menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat
diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer,
sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan
dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh
pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi) .

Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.{Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
QS Al-Maidah [5]: 5.}

Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh
Muhammad Rasyid Ridha {Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185} yang menurutnya bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hukum
mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).

Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang lebar riwayat- riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta
menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagaġ berikut:

"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl
Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang.
{Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.}"

Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95
(At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa:

"Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar.{Mabahis At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.}"

Penulis cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada
semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam Al-Qur'an,

"(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS Al-An'am [6]: 156).

Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun tidak termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.

Ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: "tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini wanita mereka." Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku pula terhadap mereka.

Sebagian lainnya menilai hadis tersebut berstatus mursal yakni sahabat Nabi yang mendengar atau menerima hadis tersebut dari beliau tidak disebut dalam rentetan transmisi
riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan argumentasi keagamaan.

Sahabat Nabi Abdullah bin Umar mempunyai pendapat lain. Beliau secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Ia mengatakan,

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah."

Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman, Ibnu Abbas, Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah, demikian pula para pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:

1. Dalam sekian banyak ayat, Al-Qur'an menyebut istilah al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab, dengan menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."

"Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu. (QS Al-Baqarah [2]: 105).

Kata penghubung semacam ini mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian juga terlihat pada QS Al-Bayyinah [98]: 1 dan 6.

Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam Al-Qur'an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah.

2. Al-Qur'an sendiri telah menguraikan sekian banyak keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau bahwa Uzair demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas, Al-Qur'an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.

Al-Qur'an seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.

Atas dasar itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi'in,ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.

Penulis dapat memahami pendapat tersebut dengan memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi dalam
segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan
kemudahan yang telah dianugerahkan Al-Qur'an.

Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan
hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin
apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide,
pandangan hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam
kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya
perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah
agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung
cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak
istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik
sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin
secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.

Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan
dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati - untuk dibubarkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Sikap Al-Qur'an terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab serta penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.

2. Kecaman yang terdapat dalam Al-Qur'an, lebih banyak tertuju kepada orang Yahudi, dan kecaman tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.

3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.

4. Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari - istimewa menyangkut perkawinan dan memakan binatang halal hasil sembelihan mereka - diperselisihkan oleh para ulama. Dengan kata lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah diuraikan di atas, dan dalam saat yang sama sikap kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat dinilai sebagai sikap terpuji.

Demikian sekelumit uraian Al-Qur'an tentang Ahl Al-Kitab.
 

ISLAMIC MEDIA
ISLAMIC.XTGEM.COM
HOME