TAFSIR FATHUL QADIR
(IMAM ASY-SYAWKANY) Nama
Mufassir
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani,
al-Qadhi.
Nama Kitab
Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah
Min ‘Ilm at-Tafsiir.
’Aqidahnya
Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf.
Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum
teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang
nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya
terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman
Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan,
bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala
sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat
Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik
manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat
dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan
lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi
tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai)
dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif;
yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam
menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’
dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan
timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut,
membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab
Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang
ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang
Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un,
Wa Huwas Samii’ul Bashiir”
Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’
berdasarkan madzhab Salaf.
Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih
disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama
lainnya.
Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat
az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan
ahlussunnah wal jama’ah.
Spesifikasi Umum
Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan
bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok
pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat
saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab
dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut
sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian
anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal
tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan
itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya
Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih
(menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang
saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas
kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab,
I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak.
Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang
shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut
tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”
Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat
ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta
mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula
faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari
kitab-kitab tafsir…”
Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu
mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid
buta.
Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan
beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam
kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk
memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para
shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang
terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya
dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa
menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa.
Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada
periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya
mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti
halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir,
as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak
mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak
menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang
mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab
bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya
juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab
andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid
menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa
penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan
keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks
asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir
mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya
tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”
Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang
disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.
Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap
beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah)
dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak
mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab
ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau
pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil
mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan
hukum darinya.
Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid
dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti
kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu
Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil
Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab
lainnya.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan
mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang
didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan
qiraa’aat yang janggal.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi
terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.
Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil
keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad,
Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.
Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat)
dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi
dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.
CATATAN
Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’
(II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad
Hasan al-Ghumari.
SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin,
karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.
|