PENDAHULUAN
Muharam telah tiba, bulan yang
Allah Tabaroka wa Ta’ala mengaitkan nama-Nya yang tinggi pada
bulan ini, bulan yang di dalamnya nabi yang mulia ‘alaihi
Sholaatu wa Salaam mengatakan sebagai bulan paling afdhol untuk
berpuasa setelah ramadhan. Dari Abu Hurairoh, Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wa Sallam : ”Seutama-utama puasa setelah
ramadhan adalah bulan Allah Muharam, dan seutama-utama sholat
setelah sholat fardhu adalah sholat malam.” (Hadits Shahih : Shahih
Abu Dawud : 2122; Shahih Muslim : (II/821/1163); Sunan Abu Dawud
(V/82/2412) – Aunul Ma’bud; Sunan Nasa’i (
Namun dalam al-Wajiz
hal. 203, di dalam sub bab yang berjudul al-Ayyamu al-Manhi ’an
Shiyaamiha (hari-hari yang terlarang berpuasa), no.4, Syaikh
Abdul Azhim Badawi hafizhahullahu memasukkan hari Sabtu
secara bersendirian termasuk hari yang terlarang berpuasa di
dalamnya. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Busr as-Sulami dari
saudarinya yang bernama ash-Shamma’, bahwasanya Nabi Shallallahu
’alaihi wa Sallam bersabda : ”Janganlah berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa yang diwajibkan kepada kalian, jika kalian tidak
mendapatkan apapun kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting
pohon, maka kunyahlah”. (Hadits Shahih : Shahih : 2116; Sunan Abu
Dawud ( Tanggal 10 Muharam 1426 ini jatuh bertepatan pada hari Sabtu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kejadian hari Arofah pada tahun 1408 yang jatuh juga pada hari Sabtu. Lantas bagaimanakah hukum berpuasa sunnah (Muharam) pada hari Sabtu?? Apakah kita lebih mendahulukan larangan tentang berpuasa hari Sabtu ataukah kita mendahulukan hadits yang menganjurkan puasa sunnah pada hari itu?? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat secara tajam. Syaikh al-Albany Rahimahullahu berpendapat bahwa berpuasa pada hari Sabtu hukumnya haram secara mutlak (al-Irwa’ : IV/122) dan pendapat beliau dikuatkan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halaby dalm Zahru ar-Raudli fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoyril Fardli. Syaikh Abdul Azhim Badawi dalam al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah memasukkan hari Sabtu sebagai hari-hari terlarang dan haram jika dilaksanakan bersendirian, sedangkan jumhur ulama menyatakan hukumnya adalah makruh sebagaimana pendapat Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi dalam Silsilah Fatawa Syar’iyah, sebagian lagi memperbolehkan secara mutlak seperti Syaikh Abu Abdillah Mustofa al-‘Adawi, Syaikh Usamah Abdul Aziz (dalam Shiyaamu Tathawu’ Fadha’il wal Ahkam – terjemahan : Puasa Sunnah, penerbit : Darul Haq), Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini (dalam tanya jawab di http://www.alheweni.com) dan selainnya. Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217) : “Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri dan Adlha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan Sya’ban dan puasa Dahri…” beliau melanjutkan ucapannya, “Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian”…”. Imam ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Ma’ani al-Atsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu : “Para ulama berpendapat dengan hadits ini, dan mereka membenci berpuasa tathawu’ (sunnah) pada hari Sabtu.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidla’ ash-Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu : “Para ulama telah berselisih pendapat tentangnya.” Beberapa ulama berargumen di dalam menolak hadits larangan berpuasa hari pada hari Sabtu ini dengan menyatakan bahwa hadits ini adalah syaadz. Agar permasalahan ini menjadi jelas, maka ada baiknya jika kita melihat perincian jalan-jalan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu ini, sehingga madzhab yang kita ambil adalah madzhab Ahlul Hadits bukan madzhab Fulani atau Fulan.
|
ISLAMIC
MEDIA |