TAFSHIL
(PERINCIAN) JALUR-JALUR PERIWAYATAN HADITS LARANGAN BERPUASA HARI
SABTU DAN PENETAPAN KESHAHIHANNYA
Fadhilatus Syaikh Ali Hasan al-Halaby al-Atsary
berkata di dalam Zahru ar-Roudli fi Hukmi Shiyaami Yaum as-Sabti
fi ghoiri al-Fardli :
Hadits ini warid (datang) dari empat orang
sahabat. Tiga diantaranya merupakan ahlul bait yang satu, yakni :
1.
Abdullah bin
Busr
2.
Saudarinya,
Shamma’ binti Busr
3.
Bapak keduanya,
Busr bin Abi Busr al-Maaziniy
Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dalam ‘al-Isti’ab’
(12/228-229) dengan sanad yang sampai kepada Duhaim, ia berkata : “Sahabat
nabi yang satu ahlul bait (keluarga) ada empat orang, yaitu Busr dan
kedua puteranya, Abdullah dan Athiyah, serta saudari keduanya,
Shamma’” (Lihat : ar-Rabbaniy fil Hadist (hal. 26) karya
Abdul Ghani bin Said al-Azdi dengan tahqiqku (Syaikh Ali Hasan),
cet. Dar Ammar)
4.
Abu
Umamah,
yang nama asli beliau adalah Shuday bin ‘Ajlan.
Berikut ini adalah perincian riwayat-riwayat mereka,
jalur-jalurnya beserta takhrijnya (Yang dinukul dari risalah
Zahru ar-Roudli :
PERTAMA :
ABDULLAH BIN BUSR
Memiliki banyak jalur :
Pertama :
Diriwayatkan
Ibnu Majah (1726), ‘Abd bin Humaid dalam Musnad-nya no 507,
Nasa`iy dalam al-Kubra (55/m/1), Ibnu Syahin dalam Nasikh
wa Mansukh (no. 398, cet. Al-Manar) dan Abu Nu`aim dalam
al-Hilyah (V/218). Seluruhnya dari jalur Isa bin Yunus, dari
Tsaur bin Yazid, dari Khalid, dari Abdullah, ia berkata :
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian, jika kalian tak
mendapatkan apa-apa kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting
pohon, maka kunyahlah”
Diriwayatkan pula oleh Tamam ar-Razi dalam Fawaid-nya
no 654 dari jalan Utbah bin Sakkan, dari Tsaur yang serupa…
Aku (Syaikh Ali)
berkata : “Isa bin Yunus adalah Ibnu Abi Ishaq as-Sabi’iy, seorang
yang tsiqot ma’mun. Adapun Utbah bin Sakkan, Daruquthni
berkata tentangnya, “Dia matruk”. Berkata Baihaqi tentangnya, “Lemah
tertuduh memalsu hadits”. Biografinya terdapat dalam al-Lisan
(IV/128). Adapun rijal sanad lainnya tsiqoh dan sanadnya shahih.
Keberadaan Utbah tidak menganggu kesahihannya karena riwayat Utbah
hanyalah mutaabi’ (penyerta).”
Kedua :
Diriwayatkan
Ahmad (IV/189) dan al-Khathib dalam Tarikh-nya (VI/24), dari
jalur Ibrahim bin Ishaq ath-Thalqooniy, ia berkata : Mengabarkan
kepada kami Walid bin Muslim, dari Yahya bin Hassan, ia berkata, aku
mendengar Abdullah bin Busr al-Maaziniy berkata, Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : (sama
seperti redaksi sebelumnya)
Rijal-rijalnya
seluruhnya tsiqot, namun Walid bin Muslim telah melakukan Tadlis
Taswiyah,
ia tidak menyatakannya dengan tahdits (perkataan
haddatsana) dari gurunya, namun beliau menegaskannya pada (tabaqat/tingkatan)
gurunya guru beliau.
Syaikh kami
Albany telah mengisyaratkan hal ini dalam al-Irwa’ (IV/122)
perkataan adl-Dliya’ al-Maqdisy dalam al-Ahadits al-Mukhtarah
(191/1) yang berkata, “Sanad hadits ini shahih.” Barangkali pada
riwayatnya, Walid menegaskan riwayatnya dengan tahdits.
Wallahu a’lam.
Ketiga :
Diriwayatkan
Ahmad (IV/189), Nasa`iy dalam al-Kubra sebagaimana tercantum
dalam at-Tuhfah (IV/293), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
(V/250-ihsan), ad-Daulabi dalam al-Kuna (II/118),
ath-Thabrani –dari jalur al-Mizzi- dalam Tahdzibul Kamal
(VI/43-Basyar), Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya (9/no. 8), Abu
Zur’ah ad-Dimasyqy dalam Tarikh-nya (no. 611) secara ringkas.
Keseluruhannya dari dua jalan, dari Hassan bin Nuh, ia berkata, aku
mendengar Abdullah bin Busr berkata, apakah kau lihat kedua tanganku
ini? Aku telah membaiat Rasulullah dengan kedua tanganku ini, dan
aku mendengar beliau bersabda… (sama seperti redaksi sebelumnya).
Aku (Syaikh Ali) berkata, “Sanadnya hasan insya Allah. Dan Hassan,
banyak perawi tsiqot meriwayatkan darinya. Al-Ijli, Ibnu Hibban dan
Ibnu Hajar mentsiqotkannya. Adz-Dzahabi berkata, Shaduq.”
Aku (Syaikh Ali)
katakan : Hadits dari jalur Abdullah dishahihkan al-Hakim, ia
berkata, “Shahih menurut syarat Bukhari.”
Ibnu Sakkan menshahihkannya sebagaimana tercantum dalam
at-Talkhishu Habir (II/216) karya Ibnu Hajar.
KEDUA :
ASH-SHAMMA’ BINTI BUSR
As-Shamma’ ini diperselisihkan tentangnya.
Ibnu Hajar
Berkata dalam at-Tahdzib (12/431) : “Beliau adalah saudari
Abdullah bin Busr, adapula yang mengatakan beliau adalah ‘amati
(bibi yang memiliki hubungan darah dengan ayah atau saudarinya
ayah)-nya dan ada pula yang mengatakan beliau adalah kholati
(bibi yang memiliki hubungan darah dengan ibu atau saudarinya
ibu)-nya.”
Beliau berkata
pula dalam al-Ishabah (12/160) : “Nasa`iy mengeluarkan
haditsnya, dan dia meneliti tentang argumentasi perselisihan perawi
di dalam sanadnya. Beliau pada mayoritas riwayatnya disebut namanya,
ash-Shama’, namun pada jalan lain disebut ‘amati-nya
(Abdullah), di jalan lain disebutkan kholati-nya (Abdullah),
dan di jalan lain tidak disebut namanya.”
Aku (Syaikh Ali)
berkata, “Persahabatannya (Ash-Shama’) dengan Rasulullah adalah
tsabit (benar), namun bagaimana hubungan kekerabatannya dengan
Abdullah bin Busr adalah perkara ikhtilaf yang masih suram. Tapi,
ikhtilaf ini tidak mempengaruhi hadits ini sebagaimana zhahirnya”
(bahwa ash-Shama’ adalah shahabiyah dan seluruh shahabiyah adalah
‘adil, peny.).
Telah warid seluruh riwayat-riwayat darinya.
Berikut ini penjelasannya :
Pertama : Dari Abdullah bin
Busr dari Saudarinya ash-Shamma’
Daruquthni
meriwayatkan secara mu’allaq dalam al-Mu’talif wal
Mukhtalif (I/247), dan warid (datang) maushul
(penguhubung sanad)-nya dari jalan Tsaur bin Yazid dari Khalid bin
Ma’dan dst…
Diriwayatkan oleh jama’ah, yakni :
-
Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(2421), Ibnu Majah (1726), Nasa`iy dalam al-Kubra
(65/a/3) sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah (II/344),
Ibnu Asakir dalam Asadul Ghobah (VI/155) dari jalur
Sufyan bin Hubaib dan Walid bin Muslim.
-
Diriwayatkan oleh Turmudzi (744),
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1806), Thabrani (24/330)
dari jalur Sufyan bin Hubaib.
-
Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/368),
Darimi (II/19), Ibnu Khuzaimah (2164), Thahawi (II/80), Baihaqi
(IV/302), Thabrani dalam al-Kabir (24/325) dari jalan Abu
‘Ashim.
-
Diriwayatkan oleh Hakim (I/436),
Thabrani (24/327), Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsaaniy
(3411) dari jalan al-Walid.
-
Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam
al-Kubra (55/a/2), Thabrani dalam al-Kabir
(24/330) dari jalan Asbagh bin Zaid.
-
Diriwayatkan oleh Tammam dalam
Fawa`id-nya (652) dari jalan Auza`iy.
-
Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam
al-Kubra (55/a/4) dari jalan Abdul Malik bin Shobah.
-
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam
al-Kabir (24/330) dari jalan Qurrah bin Abdurrahman.
-
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam
al-Kabir (24/330) dari jalan al-Fadhl bin Musa.
-
Diriwayatkan oleh adl-Dliya’
al-Maqdisy dalam al-Muntaqa min Masmu’atihi bimarruw (no.
34/1), sebagaimana tercantum dalam al-Irwa’ (IV/118) dari
jalan Yahya bin Nashr. Syaikh Ali Hasan berkata : “sanadnya
shahih menurut syarat Bukhari.”
Keseluruhan
sepuluh riwayat di atas, seluruh perawinya termasuk perawi tsiqoh,
yang meriwayatkan dari Tsaur dan menetapkan bahwa Shamma’ adalah
saudari Abdullah bin Busr. Akan datang sebentar lagi riwayat
Baqiyyah dari Tsaur yang menetapkan Shamma’ bukan saudari Abdullah,
akan tetapi haditsnya munkar, demikian pula riwayat Abu Bakr
al-Muqri’, haditsnya syadz.
Barangkali, dari
sinilah para ulama menyatakan bahwa ash-Shamma’ adalah saudari
Abdullah bin Busr. Pendapat lainnya warid dari riwayat
lainnya yang akan datang dari jalur Tsaur memiliki mutaabi’
(penyerta).
Diriwayatkan
oleh Ahmad (VI/368) dan Thabrani dalam Musnad asy-Syaamiyyin
(1591) dari jalan Isma`il bin Ayyasy dari Muhammad bin Walid
az-Zubaidi, dari Luqman bin ‘Amir, dari Khalid bin Ma’dan, dari
Abdullah bin Busr, dari saudarinya, ash-Shamma’… dst…
Sanadnya hasan karena adanya Luqman, dan riwayat
Isma`il dari penduduk Syam adalah shahih. Namun :
Diriwayatkan
oleh Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/6) dan Thabrani dalam
Musnad asy-Syaamiyyin (1850), sebagaimana komentar asy-Syaikh
Hamdi Abdul Majid as-Salafy terhadap Mu’jamul Kubra (II/328),
beliau menyebutkan adanya dua jalan, dan diriwayatkan al-Mizzi dalam
Tahdzibul Kamal (641) dari jalur Baqiyah bin Walid, dari
az-Zubaidi, dari Luqman bin Amir, dari Amir bin Jasyib, dari Khalid,
dari Abdullah bin Busr secara Marfu’.
Yaitu, dengan
tambahan rawi Amir bin Jasyib diantara Luqman dan Khalid dan dia
adalah orang yang tsiqoh, dan riwayatnya menghilangkan Shamma’
saudari Abdullah.
Hal ini tidak menyebabkan ‘illat (cacat) bagi
hadits, karena Luqman bin Amir meriwayatkan dari Abu Darda’, Abu
Hurairoh, Abu Umamah, dll. Dan riwayatnya dari Khalid lebih utama,
demikian pula riwayatnya dari Amir juga Tsabit.
Kemudian Aku
(Syaikh Ali) melihat pada jalur Tsaur memiliki mutaba’ah
lainnya, namun dengan tambahan rawi ‘Aisyah setelahnya.
Nasa`iy
meriwayatkan dalam al-Kubra (55/a/11) sebagaimana tercantum
dalam Tuhfatul Asyraf (II/401) dari Muhammad bin Wahb, dari
Muhammad bin Salamah (dalam at-Tahdzib (9/506) disebut bin
Maslamah), dari Abu Abdurrahman (namanya adalah Khalid bin Abi Yazid
bin Sammal –dalam at-Tahdzib (8/217-dengan tahqiq Basyar
Awwad) disebut bin Sammak-, lihat al-Ikmal (IV/353) karya
Ibnu Makuula), dari al-Allaa’, dari Dawud bin Ubaidillah, dari
Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Busr, dari saudarinya
ash-Shamma’, dari ‘Aisyah….
Al-Mizzi
berkata, “Demikianlah teksnya, ia berkata, dari saudarinya
ash-Shamma’, dari ‘Aisyah. Sekumpulan ulama telah meriwayatkan dari
Abdullah bin Busr, dari ‘amati-nya, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam.
Pendapat lain
mengatakan, dari kholati-nya, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam. Ada pendapat lain lagi mengatakan, dari
Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam..”
Aku (Syaikh Ali
Hasan) berkata, “akan datang seluruh takhrijnya nanti. Dan sanad
yang telah kupaparkan tadi dengan adanya rawi ‘Aisyah adalah dha’if,
dikarenakan majhulnya Dawud bin Ubaidillah.
Tidak ada yang menerima riwayat darinya melainkan hanya al-Alla’.
Tidak pula diketahui jarh wa ta’dil terhadapnya. Al-Mizzi
menuliskan biografinya dalam Tahdzibul Kamal (VIII/916), dan
Ibnu Hajar menerangkan kemajhulannya dalam at-Taqrib
(no. 1999), demikian pula oleh Dzahabi dalam al-Mizan
(II/107). Maka pendapat yang menyelisihi hal ini adalah tidak
diterima.”
Kedua : Dari
Abdullah bin Busr dari Ibunya
Tammam al-Hafizh
meriwayatkannya dalam Fawa`id-nya (no. 653), ia berkata,
“Mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman bin Ayyub bin Hadzlam,
menceritakan kepada kami Yazid bin Muhammad bin Abdush-Shamad,
menceritakan kepada kami Abu Bakr Abdullah bin Yazid bin Muqri’, ia
berkata : Aku mendengar Tsaur bin Yazid berkata, telah
menceritakanku Khalid bin Ma’dan…”
Ibnu Abi Ashim
juga meriwayatkannya di dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3413)
dari Isma`il bin Abdillah, dari Abdullah bin Yazid.
Syaikh kami,
al-‘Allamah al-Albany berkata di dalam al-Irwa` (IV/119) :
“Abdullah bin Yazid al-Muqri’ bersendirian di dalam hadits ini,
namun dia orang yang tsiqoh. Tapi tersamar atasku karena kutemukan
kunyahnya dalam tulisan tanganku dengan kunyah Abu Bakr, sedangkan
Abdullah bin Yazid berkunyah dengan Abu Abdurrahman.
Dan ia termasuk gurunya Imam Ahmad.”
Syaikh Jasim bin
Fuhaid telah menghimpun mutaabi’-nya dalam ar-Raudhul
Bassam (II/198).
Aku (Syaikh Ali)
berkomentar : “Rijal-rijal lainnya tsiqoh dan sanadnya hasan. Tetapi
al-Muqri’ bersendirian menyebut ash-Shamma’. Adapun jalur Abdullah
menyelisihi perawi tsiqot terdahulu yang menyebutkan mereka dan
menghukumi riwayatnya syadz.”
Ketiga : Abdullah bin Busr
dari ‘amati-nya
Diriwayatkan
oleh Ibnu Khuzaimah (2164), Baihaqi (IV/302), Nasa`iy dalam
al-Kubra (55/a/2) sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah
(II/345), Thabrani dalam al-Kabir (24/324-325), Ibnu Mandah
–sebagaimana tercantum dalam al-Ishabah (VIII/130), Ibnu Abi
Ashim dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3412), dari dua jalur dari
Mu’awiyah bin Shalih, dari Ibnu Abdillah bin Busr, dari ayahnya,
dari ‘amati-nya ash-Shamma’ saudari Busr…
Ibnu Khuzaimah
berkata : “Tsaur bin Yazid menyelisihi Mu’awiyah bin Sholih dalam
sanad ini. Tsaur berkata : ‘dari saudarinya’ dan yang dimaksudkan
olehnya adalah saudari Abdullah bin Busr, tapi Mu’awiyah berkata :
‘dari ‘amati-nya ash-Shomma’ saudari Busr’, yaitu ‘amati
ayahnya Abdullah bin Busr, bukan saudari ayahnya Abdullah bin
Busr.”
Aku (Syaikh Ali)
berkata, “Riwayat Tsaur disertai oleh Luqman bin ‘Amir sebagaimana
yang telah lewat.”
Syaikh kami
Albany berkata dalam al-Irwa` (IV/121) : “Telah terbetik
sekilas dalam fikiranku tentang perkataan terhadap Abdullah bin Busr,
dari ‘amati-nya yaitu ‘amati-nya Abdullah bukan
‘amati-nya ayahnya (Busr, peny.). Jika mengandung arti yang
berlawanan (sebaliknya), maka sebagaimana yang terbetik dalam diriku
dan riwayat ini sebagai syaahid maka tidaklah mengapa. Namun
jika bermakna lain maka tidaklah mempengaruhi kedhaifannya.”
Aku (Syaikh Ali)
berkata, “Namun sanad dalam riwayat ini adalah ‘amati-nya
Abdullah dan saudarinya Busr, sebagaimana telah warid
penjelasan (tashrih) pada jalur Thabrani, Nasa`iy dan
selainnya.”
Syaikh kami
(Albani) berkata sebelum perkataannya di atas, “Akan tetapi aku
tidak mengenal Ibnu Abdullah bin Busr ini!”, dan beliau mengomentari
kembali ucapannya dalam footnotenya, “kemudian aku melihat ucapan
Ibnu Khuzaimah terhadap hal ini tanpa lafazh ‘ibnu’, barangkali dia
benar.”
Aku (Syaikh Ali)
berkomentar : “Yang benar adalah tsabat-nya sebagaimana telah
tetap di dalam sumber-sumber (referensi) tarikh yang telah
disebutkan, dan perihal yang terdapat dalan Shahih Ibnu Khuzaimah
adalah suatu kesalahan, entah kesalahan cetak ataupun naskah. Adapun
Ibnu Abdullah bin Busr ini, maka al-Mizzi telah memaparkannya dalam
Tahdzibul Kamal (III/q.1664)
dalam bab ‘man nusiba ila abiihi’ (Orang-orang yang
dinisbatkan kepada ayahnya) tanpa ada penilainan sedikitpun! Serupa
pula dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzibut
Tahdzib (302/12), kemudian beliau menambahkan, “Di dalamnya
mudhtarib (goncang) sekali!” Namun beliau menegaskannya dalam
at-Taqrib (no. 8470) tingkatannya, perkataannya : “Tidak dikenal
tidak pula disebut namanya”! Maka sanadnya dha’if.”
Aku (Syaikh Ali)
berkata : Nasa`iy (55/a/5) meriwayatkan dari Sa’id bin ‘Amru
al-Himshi, dalam (sanad)-nya juga ada Baqiyah, dari Tsaur, dari
Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Busr, dari ‘amati-nya
ash-Shama’… Aku (Syaikh Ali) berkata : Riwayat ini munkar!!!
Baqiyyah tidak menegaskan dengan tahdits dan dia adalah
seorang mudallis. Juga riwayatnya menyelisihi riwayat yang
lebih tsiqot yang perawinya meriwayatkan dari Tsaur dan selainnya
dengan menyebutkan nama ash-Shamma’ saudarinya Abdullah. Adapun
riwayatnya saja yang menyebutkan ash-Shomma’ sebagai ‘amati-nya
Abdullah. Maka tidaklah dianggap riwayat syaahid ini dalam
penyebutan ‘amati.
Keempat : Abdullah bin Busr dari kholati-nya
ash-Shomma’
Diriwayatkan
Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/5) sebagaimana tercantum dalam
at-Tuhfah (11/345), Thabrani dalam al-Kabir (24/330),
Ibnu Mandah –sebagaimana dalam al-Ishabah (VIII/130), dari
jalur Muhammad bin Harb, dari az-Zubaidi, dari Fudhail (teks dalam
at-Tuhfah disebut Mufadhl dan dalam al-Ishabah disebut
Fadhl) bin Fudholah, dari Abdullah bin Busr, dari kholati-nya…
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Isnadnya hasan namun
haditsnya syaadz karena penyebutan ash-Shamma’ sebagai
kholati-nya Abdullah, bertentangan dengan perawi yang lebih
tsiqot yang menyatakan bahwa ash-Shamma’ adalah saudarinya Abdullah,
akan datang penilaian terhadap Fudhail sebentar lagi insya Allah.”
KETIGA
: BUSR BIN ABI
BUSR AL-MAAZINIY
Diriwayatkan
oleh Nasa`iy dalam al-Kubra sebagaimana tercantum dalam
Tuhfatul Asyraf (2/96) dan Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam
Ma’rifatu ash-Shahabah (no. 1199) dari jalan ‘Imran bin Bukkar,
dari Abu Taqiy –beliau adalah Abdul Hamid bin Ibrahim, dari Abdullah
bin Salim, dari az-Zubaidi, dari al-Fudhail bin Fadholah, dari
Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari ayahnya…
Nasa`iy berkata,
“Abu Taqiy ini orangnya dha’if laysa bi syai’in (lemah tidak
ada apa-apanya), diperselisihkan riwayatnya terhadap Abdullah bin
Busr.”
Syaikh Ali Hasan berkata, “dalam tambahan di
Tuhfatul Asyraaf : Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq menyertai
riwayatnya dari ‘Amru bin al-Harits dari Abdullah bin Salim.”
Aku telah
mengetahui riwayat penyerta ini –segala pujian milik Allah-, yaitu :
Dikeluarkan oleh
Thabrani dalam al-Kabir (1191) dan di dalam Musnad
asy-Syaamiyyin (1875), ia berkata : menceritakan kepada kami
‘Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq al-Himshi, menceritakan
kepadaku ayahku dan menceritakan kepada kami Yahya bin Utsman bin
Shalih, menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq
al-Himshi, ia berkata : menceritakan kepada kami ‘Amru bin al-Harits
dari Abdullah bin Salim, dari az-Zubaidi, menceritakan kepada kami
al-Fudhail bin Fadhalah bahwasanya Khalid bin Ma’dan mengisahkan
bahwa Abdullah bin Busr menceritakan bahwa dirinya mendengar ayahnya
–Busr- berkata : Sesungguhnya Rasulullah melarang berpuasa pada hari
Sabtu, beliau bersabda : “Jika kalian tidak menemukan
sesuatupun kecuali hanya mengunyah ranting pohon maka janganlah
kalian berpuasa pada hari itu.”
Abdullah bin
Busr berkata : jika kalian meragukannya maka temuilah saudariku, ia
berkata, maka Kholid bin Ma’dan berjalan menuju saudarinya dan
bertanya kepadanya tentang perihat yang disebutkan Abdullah, maka ia
menyebutkan (menjawab) hal yang sama.
Aku (Syaikh Ali)
berkata : Isnad ini memperkuat riwayat, namun kedua riwayat ini
memiliki kelemahan, adapun Fudhail bin Fadholah, ia ditsiqotkan oleh
Ibnu Hibban (5/295) dan berkata : “Ahlu Syam meriwayatkan darinya”.
Al-Hafizh menyebutkan di dalam at-Tahdzib
(8/298) riwayat sekumpulan ulama (jama’ah) darinya. Maka
orang sepertinya hasan haditsnya.
Syaikh Ali
kembali berkata : “Dalam riwayat ini terdapat faidah yang besar,
yaitu adanya penegasan (tashrih) bahwa Abdullah, ash-Shamma’
dan ayahnya Busr, semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagai penguatnya adalah
telah lalu penjelasannya dan perinciannya. Demikianlah, haditsnya
adalah shahih dan segala puji hanya milik Allah. Sebagaimana
dikatakan oleh syaikh kami di dalam al-Irwa’ (4/121),
“diperhitungkan seluruhnya dari seluruh aspek riwayat yang beraneka
ragam dan keseluruhannya adalah shahih”.
KEEMPAT : HADITS
ABU UMAMAH
Padanya ada dua jalur :
Pertama :
Thabrani
meriwayatkan di dalam al-Mu’jamul Kabir (5722) ia berkata,
bercerita kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, bercerita
kepadaku al-Hukmu bin Musa, menceritakan kami Ismail bin Ayyasy dari
Abdullah bin Dinar dari Abu Umamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari
Sabtu kecuali puasa wajib, jika kalian tak mendapatkan apapun
kecuali ranting pohon maka berbukalah dengannya”.
Haitsami berkata
di dalam Majma’uz Zawa`id (3/198) setelah menyandarkannya
kepada Thabrani : “… Dari jalan Isma`il bin ‘Ayyasy dari penduduk
Hijaz, dan dia termasuk lemah di kalangan mereka.”
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Haitsami
–rahimahullahu Ta’ala- telah menduga bahwa Ibnu Dinar tersebut
adalah al-‘Adawi al-Madini, padahal bukan dia! Yang benar dia adalah
Abdullah bin Dinar al-Burhaani al-Himshi, termasuk penduduk Syam,
dan riwayat Isma`il darinya adalah shahih, namun dirinya –yaitu
al-Burhani- masih diperbincangkan tentangnya, Ibnu Hibban dan Abu
Ali al-Hafizh mentsiqohkannya. Berkata al-Juzjani tentangnya :
yata`anna fiihi. Namun Daruquthni, Ibnu Ma’in dan Abu Zur’ah
al-Azdi mendhaifkannya.”
Aku mengatakan : Dalam sanadnya juga terdapat
illat yang kedua, yaitu : terputusnya antara Ibnu Dinar dengan
Abu Umamah.
Kedua : Ar-Ruyani berkata di dalam Musnad
ash-Shahabah (juz 30/no. 225/a – manuskrip Zhahiriyah) :
“Bercerita pada kami Salamah, bercerita pada kami Abu al-Mughiroh,
bercerita pada kami Hassan bin Nuh, ia berkata : aku mendengar Abu
Umamah berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : … (sebagaimana
redaksi sebelumnya)
Aku katakan :
“Sanadnya hasan musalsal (bersambung) dengan tahdits
(bercerita) dan sima’ (mendengar). Segala puji hanya milik
Allah atas taufiq-Nya.”
Syaikh Ali
menutup ucapannya : Inilah akhir dari riwayat yang aku teliti dari
jalur-jalur hadits yang melarang berpuasa pada hari Sabtu. Orang
yang meneliti dan memahaminya akan mengetahui pasti ketetapan (tsabat)
hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari
riwayat empat orang sahabat. Maka jika anda telah mengetahuinya,
maka batallah apa yang didakwakan oleh Yahya bin Ied dalam kitabnya
al-Qoulu ats-Tsabt (hal. 18) yang berkata : “Abdullah bin
Busr dan Abu Umamah bersendirian dalam riwayat pelarangan ini”.
Ucapan ini sungguh aneh, karena tidaklah dua orang yang meriwayatkan
hadits dikatakan ‘bersendirian’!!! (Selesai di sini penukilan dari
zahru ar-Roudli tentang tafshil thuruqil hadits).
Penyusun
menambahkan :
Berbeda dengan
Syaikh Usamah Abdul Aziz, beliau hanya menguatkan jalur dari Tsaur
bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari
saudarinya ash-Shamma’ dan melemahkan jalur selainnya. Beliau
berkata : “Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Daruquthni, dimana
dalam al-Ilal (Juz V/II/86B) setelah membawakan semua jalur
periwayatan hadits ini, ia mengatakan, ‘riwayat yang shahih adalah
riwayat yang bersumber dari Ibnu Busr dari saudarinya
(ash-Shamma’)’. Hadits ini sanadnya shahih dan semua perawinya
tsiqot. Akan tetapi banyak ulama yang menilai hadits ini mengandung
‘illat meskipun dhahirnya shahih.
Inilah pendapat mereka :
-
Imam Malik.
Abu Dawud mengatakan dalam as-Sunan (II/436), bahwa Malik
berkata : “hadits ini dusta”.
-
Imam az-Zuhri.
Abu Dawud (2423) dan al-Hakim (I/436) meriwayatkan melalui jalur
Ibnu Wahab, bahwa ia berkata : “Aku mendengar bahwa al-Laits
meriwayatkan dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa jika disebutkan di
sisinya hadits larangan berpuasa hari Sabtu, ia berkata : “Ini
hadits orang Himsha”.” Ath-Thahawi berkata : “Az-Zuhri tidak
menganggap hadits ini hadits yang bisa diriwayatkan dan dia
menilai haditsnya lemah.”
-
Imam al-Auza’iy.
Abu Dawud (2424) mengeluarkan, yang jalurnya dikeluarkan pula
oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (IV/302-303)
melalui jalan al-Walid bin Muslim dari al-Auza’iy bahwa ia
berkata : “saya masih melihat haditsnya tersembunyi hingga
akhirnya saya melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr
tentang berpuasa hari Sabtu.”
-
Yahya bin Sa`id al-Qaththan.
Ibnul Qoyyim
berkata dalam Mukhtashar as-Sunan (III/298),
Abu Abdullah (Imam Ahmad) mengatakan, Yahya bin Sa`id menjauhi
hadits ini dan ia tidak mau menceritakannya kepadaku. Ia
mendengar hadits ini dari Tsaur yang mengatakan, “Saya
mendengarnya dari Abu ‘Ashim”. Ibnul Qoyyim mengatakan,
“Ungkapan ini sepertinya menganggap lemahnya hadits ini.”
-
Imam Ahmad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan dalam Iqtidha’ (II/574) bahwa al-Atsram
mengatakan, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah
ditanya tentang berpuasa secara khusus hari Sabtu, lalu ia
menjawab, “Adapun mengenai berpuasa secara khusus pada hari
Sabtu terdapat dalam hadits ash-Shamma’, yakni yang diriwayatkan
oleh Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin
Busr dari saudarinya ash-Shamma’ dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Janganlah berpuasa pada
hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.”. Abu
Abdillah mengatakan, “Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan
enggan menceritakannya kepadaku. Ia mendengarnya dari Tsaur yang
mengatakan, aku mendengarnya dari Abu ‘Ashim.” Al-Atsram
berkata, “Dasar yang dipegang oleh Abu Abdillah dalam
membolehkan berpuasa hari Sabtu adalah karena hadits-hadits yang
ada, semuanya berbeda dengan hadits Abdullah bin Busr.” (Beliau
menyebutkan hadits tentang berpuasa sepanjang masa, berpuasa
pada bulan Sya’ban dan hari Jum’at setelahnya, hadits-hadits
tentang mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di
bulan Syawwal dan hadits tentang berpuasa pada hari-hari
putih.). Selanjutnya Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Atsram memahami
dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu untuk menerima hadits Ibnu
Busr dan Ahmad membolehkan berpuasa pada hari Sabtu tersebut,
dimana ia menyebutkan hadits yang dijadikan dasar untuk
memakruhkannya. Kemudian al-Atsram menuturkan bahwa Imam Ahmad
mengatakan dalam Ilal al-Hadits, Yahya bin Sa`id menjauhi
hadits ini dan ia enggan menceritakan padaku.’. Ini semua adalah
bentuk penilaian terhadap kelemahan sebuah hadits.”
-
Abu Dawud.
Setelah meriwayatkan hadits Ibnu Busr ia mengatakan, “Hadits ini
mansukh” (Selanjutnya ia menyebutkan pendapat para ulama
yang menilai hadits ini mengandung ‘illat)
-
An-Nasa`iy.
Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish (II/216) bahwa hadits
ini mudhtarib.”
-
Al-Atsram.
Pendapatnya telah dikemukakan sebelumnya.
-
Ath-Thahawi.
Setelah menyebutkan hadits-hadits yang berbeda dengan hadits
Ibnu Busr, beliau berkata dalam Syarh Ma’ani al-Atsar
(II/80), “Riwayat-riwayat ini semuanya memperbolehkan puasa
sunnah pada hari Sabtu dan hadits-hadits tersebut lebih masyhur
dan lebih jelas dari hadits yang syadz ini (larangan
puasa hari Sabtu).”
-
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalam al-Iqtidha’ (II/275) beliau berkata, “Hadits ini
mungkin syadz, tidak shahih dan mungkin juga hukumnya
dibatalkan.”
-
Ibnul Qoyyim.
Dalam al-Mukhtashar as-Sunan (III/298)
berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini tidak shahih dan
syaadz.” (Selesai di sini ucapan Syaikh Usamah Abdul
Aziz)
-
Berkata Imam Hakim dalam
Mustadrak (I/345) : “Hadits ini memiliki kontradiktif
dengan hadits lain yang bersanad shahih.” (Poin nomor 12 ini
tidak disebutkan oleh Syaikh Usamah, namun disebutkan oleh
Syaikh Ali Hasan dalam bab ar-Raddu ‘ala adillati mu`allif wa
tarjiihu al-Qowl al-Mukhtar, peny.)
|