Duck hunt

SANGGAHAN TERHADAP ARGUMENTASI SEBELUMNYA

Syaikh Ali Hasan memberikan jawaban ilmiah terhadap perkataan ulama di atas dalam kitab beliau Zahru ar-Raudlu fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoiril Fardli bab ar-Radd ‘ala adillati al-Mukhaalif wa Tarjiih al-Qowl al-Mukhtar hal. 47-72. Beliau berkata : “Setelah studi yang cukup dalam dan penelitian yang cukup melelahkan, aku melihat bahwa orang-orang yang menyelisihi dalam masalah ini mengambil dalil dan ucapan yang menyelisihi apa yang telah kami terangkan, telah kusebutkan tentangnya pemahamanku terhadap hadits ini, maka aku jawab dalil-dalil mereka :

1.     Adapun yang diriwayatkan Abu Dawud dari Malik, bahwa ia berkata : “hadits ini kidzbun (dusta)”, maka jawabannya dari beberapa segi :

a.    Bahwasanya Abu Dawud menyampaikan dari Malik secara mu’allaq tanpa menyebutkan sanadnya. Maka ucapab ini tidak dapat dipastikan (kebenarannya) dari Malik.

b.    Bahwasanya penukilan ini hanya terdapat pada sebagian naskah Sunan Abu Dawud tidak pada seluruh naskahnya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh kami di dalam al-Irwa’  (IV/124) dan al-Ghumari dalam al-Hidayah bitakhrijil Bidayah (V/234).

c.    An-Nawawi  berkomentar di dalam al-Majmu’ (VI/440) : “Ucapan ini tidak diterima karena para imam telah menshahihkannya.”

d.    Ibnu Mulaqqin menukilkan di dalam al-Badru al-Munir (IV/q.351/a) -sebagaimana pentahqiq kitab Tuhfatul Muhtaj (II/115) menukilnya- argumentasi Abdul Haqq al-Isybili terhadap ucapan Malik dengan perkataannya : “Barangkali Malik menganggap hadits ini dusta dikarenakan riwayat Tsaur bin Yazid al-Kalaa’iy, karena sesungguhnya ia tertuduh sebagai qodariyah, namun ia orang yang tsiqoh terhadap apa yang ia riwayatkan. Berkata Yahya dan selainnya bahwa  sejumlah (imam) meriwayatkan darinya seperti Yahya bin Sa`id al-Qaththan, Ibnul Mubarak, ats-Tsauri dan selain mereka.”

e.    Ibnu Abdil Hadi mengomentari ucapan Imam Malik dalam al-Muharrar (hal. 114) dengan ucapannya : “Ucapan Imam Malik perlu diperiksa kembali.”

f.     Sesungguhnya Imam Malik –jika kalimat ini memang tsabat darinya- maka ia berkata menurut jalan periwayatan yang diketahuinya, dan sebagai penjelasan tambahan, bahwasanya manhaj ini telah dikenal oleh ahli ilmu, diantaranya ucapan Imam Sakhowi dalam al-Maqoshidu al-Hasanah (no. 626) seputar hadits lainnya, sebagai contoh berkata Ibnu Ma’in : “Sesungguhnya hadits ini bathil”, Sakhowi menjelaskan, “ia menddhaifkannya dikarenakan jalan hadits yang diketahuinya.” Inilah contoh hal ini, dan Allah-lah maha pemberi taufiq.

g.    Terakhir, sesungguhnya riwayat Abu Dawud terhadap hadits ini, dan diamnya dia terhadapnya (diamnya Abu Dawud adalah dalil shahihnya suatu hadits sebagaimana ia terangkan dalam Risalah Ahli Makkah (hal. 28)), namun dakwaan mansukhnya merupakan dalil tidak diterimanya ucapan Imam Malik walaupun shahih. Karena hadits dusta lebih utama dibantah ketimbang dakwaan mansukhnya hadits.

2.     Adapun ucapan Ibnu Syihab, ‘ini adalah hadits orang Himsha’ adalah disebabkan jalan riwayat yang sampai kepadanya, dan jalur-jalur hadits yang telah kupaparkan dan kutakhrij telah mencukupi dan menolak keraguannya, dan menjadikan peyakin akan keshahihan dan ketetapan hadits ini. Secara khusus, penghalang Ibnu Syihab adalah penghalang riwayat, maka apa yang ia simpulkan tidak disimpulkan oleh selainnya dan apa yang disimpulkan orang selain dirinya tidaklah ia menyimpulkannya, demikianlah…

3.     Ucapan al-Auza`iy : “saya masih melihat haditsnya tersembunyi hingga akhirnya saya melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr tentang berpuasa hari Sabtu”. Komentar saya : “tersiarnya hadits ini sebagai dalil tentang banyaknya jalan (thuruq), riwayat dan jumlahnya, maka hal ini merupakan dalil yang kuat terhadap orang-orang yang mendha’ifkan atau mengingkarinya adalah disebabkan riwayat yang sampai padanya, tidak dikarenakan disebabkan jalan-jalan hadits ini. Maka perhatikanlah!!!

4.     Ucapan Yahya bin Qoththan ini maka jawabannya sebagaimana penjelasan nomor 2. peny.

5.     Jawaban terhadap hal ini juga sebagaimana penjelasan nomor 2. (peny.). Insya Allah akan datang penjelasan lebih mendetail (pada poin ke-8 dengan kaidah fiqhiyah) bantahan Syaikh Ali tentang hadits-hadits yang dianggap menyelisihi hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu ini.

6.     Ucapan Abu Dawud dalam Sunan-nya (2421) yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mansukh. Maka jawabannya adalah : tidak diterima dakwaan mansukh kecuali ada dalilnya, dan tidak ada dalilnya penasikhnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhishu al-Habir (II/216) sebagai bantahan dakwaan Abu Dawud : “Ia tidak menerangkan sisi nasikh-nya hadits ini”. Syaikh Mahmud Khaththab as-Subki berkata dalam ad-Diinul Khalish (VIII/393) setelah menukil ucapan Abu Dawud : “Ucapannya tidak diterima, mana dalil atas nasikhnya??” Yang benar dalam hal ini adalah ucapan Imam Syafi’iy dalam Miftahul Jannah karya as-Suyuthi : “Tidaklah dijadikan dalil dalam Nasikh dan Mansukh melainkan dengan khobar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, atau dengan (melihat) waktu dari keduanya yang paling akhir, dan diketahui bahwa hadits yang terakhir sebagai Nasikh-nya, atau dengan ucapan orang yang mendengar hadits ataupun ijma’” (lihatlah risalahku (Syaikh Ali) yang berjudul al-Inshaf fi Hukmil I’tikaaf hal. 38).

Yahya Ied dalam al-Qoul ats-Tsabt hal. 10-11, menyebutkan dalilnya –menurut dugaannya- dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi : “Dahulu Rasulullah menyenangi untuk mencocoki Ahlul Kitab terhadap apa-apa yang tidak diperintahkan kepadanya terhadap segala sesuatu.”, dan bahwasanya hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh (akan disebutkan nanti redaksinya, peny.), keduanya merupakan nasikh (penghapus) hadits keluarga Busr!!, ia (Yahya bin Ied) berkata : “Larangan berpuasa sunnah pada hari Sabtu mencocoki ahlul kitab di dalam mengagungkan hari ini, dan berita tentang bolehnya berpuasa sunnah pada hari Sabtu menyelisihi ahlul kitab, dan hadits ini yang paling akhir di dalam sejarah!!”

Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Hadits mana yang anda maksudkan sebagai larangan berpuasa yang bukan wajib pada hari Sabtu itu mencocoki ahlul kitab? Jika ia menjawab ‘hadits Ibnu Abbas’ maka kami jawab : ‘haditsnya lemah tidak tsabat sebagai hujjah’. Jika ia mengatakan: ‘hadits selainnya’, maka jawaban kami : ‘mana hadits selainnya?, karena tidak ada hadits lain kecuali hanya jalan ini’. Maka berterbanganlah hujjahnya dari landasannya.”

7.     Adapun yang dinukil dari Imam Nasa`iy –perkataan serupa juga dikemukan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habir (II/216) dan Bulughul Maram (hal. 121). Abdullah bin Abdurrahman Ramzi juga memilihnya dalam at-Tahqiqu ats-Tsabt (hal. 13)- tentang idhtirab (goncang)-nya hadits, maka telah kujelaskan bahwa tidak ada kegoncangan di dalam hadits ini, dan sanadnya shahih yang tetap dari tiga orang keluarga Busr, yaitu Abdullah dan saudarinya serta ayahnya. Demikian pula dari Abu Umamah.

Dugaan mudhtarib-nya hadits ini juga dari sisi lain, yaitu : apakah ash-Shamma’ itu saudarinya Abdullah? Ibunya? ‘amati-nya ataukah kholati-nya? Aku jawab : telah warid riwayat-riwayat tentang hal ini seluruhnya, namun yang shahih dari riwayat tersebut dan yang tetap hanyalah riwayat dari saudarinya. Sekumpulan besar para perawi telah menetapkan bahwasanya ash-Shamma’ adalah saudarinya, yang mana hal ini menjadikan hati tenang untuk bersandar kepada riwayat ini.

Dari segala sisi, sesungguhnya hal ini tidaklah mengganggu hadits ini sedikitpun, karena persahabatannya dengan Nabi telah tetap tanpa ada keraguan lagi. Maka beranekaragamnya hubungan kekerabatan tidaklah mengganggu riwayat hadits ini, sebagaimana hal ini tidak tersembunyi atas kita. Yang dekat dengan hal ini adalah tentang mudhtarib-nya dan bermacam-macamnya pendapat mengenai nama Abu Hurairah, yang pendapat mereka mencapai 19 pendapat! Lantas apakah hal ini mempengaruhi ketetapan akan status persahabatannya Abu Hurairah dengan Nabi???

Taruhlah kita menerima tentang idhtirab-nya hadits keluarga Busr ini –padahal dakwaan ini tertolak-, maka sesungguhnya hadits Abu Umamah selamat dari idhtirab secara keseluruhan, segala puji hanya milik Allah.

Penyusun menambahkan  : Syaikh Usamah Abdul Aziz sendiri mengomentari hal ini sebagai berikut : “Penilaian bahwa hadits ini mudhtarib tidak dapat diterima, karena jalur-jalur periwayatannya beraneka ragam dan telah dikemukakan sebelumnya riwayat yang kuat.

8.     Jawaban terhadap pendapat al-Atsram ini adalah sebagaimana penjelasan nomor 2, peny.

9.     (termasuk juga nomor 10 dan 11) yaitu tentang ucapan sejumlah ahli ilmu yang menyatakan hadits ini syaadz (ganjil), termasuk juga Samahatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Syarh Manzhumah al-Baiquniyah mengisyaratkan akan syadznya hadits ini. Syaikh Ali menjawab : “Adapun dakwaan syaadz, maka bisa jadi yang dimaksudkan syadz sanadnya ataupun matannya. Adapun dari sisi sanad, maka haditsnya shahih tanpa ragu lagi, adapun dari sisi matan, maka tidaklah datang dakwaan mereka ini melainkan setelah kesulitan mereka mengumpulkan dan menyesuaikan (matannya), dan tidaklah boleh menyandarkan kepada dakwaan syadz hanya karena kesulitan dalam menjama’ belaka, dan tidaklah pula definisi ilmiah syadz secara terminologi diterapkan kepada jenis dugaan kontradiktif ini, sebagaimana tidak tersembunyi, segala puji hanya milik Allah atas taufiq-Nya.

10. Jawaban sebagaimana nomor 9, peny.

11. Jawaban sebagaimana nomor 9, peny.

12. Adapun yang diisyaratkan oleh al-Hakim yang kontradiktif dengan hadits keluarga Busr ada dua hadits, yaitu :

Pertama adalah Hadits Juwairiyah tentang puasa hari jum’at, sehari sebelumnya dan setelahnya. Dan hadits kedua adalah hadits Ummu Salamah yang menceritakan tentang banyaknya puasa yang dilakukan nabi adalah pada hari Sabtu dan Ahad. Hadits ini dha’if tidak shahih –Lihat tadh’if dan perinciannya di risalah beliau az-Zahru- dan penjelasannya telah mencukupi kita bahwa tidak ada kontradiktif yang diduga terdapat pada kedua hadits ini. Adapun hadits pertama, maka jawabannya adalah –untuk membantah kontradiktifnya- dengan gambaran yang bermacam-macam, sebagian gambaran ini mengandung masalah dari pokoknya, yaitu :

Pertama : Bahwasanya hadits Juwairiyah –dan juga hadits Abu Hurairoh- keduanya tidak kuat untuk digunakan sebagai pengkontradiksi hadist larangan, karena tujuan yang diperoleh dari kedua hadits tersebut adalah kebolehan berpuasa hari Sabtu jika disertai puasa hari Jum’at, dan kebolehan ini adalah sebagai penyerta, tidak berdiri sendiri. Orang yang berpuasa di hari Jum’at boleh memilih diantara hari Sabtu atau Kamis (sebagai penyertanya). Suatu kebolehan jika kontradiktif dengan larangan, maka yang didahulukan adalah larangan bukan kebolehan jika telah jelas larangannya lebih kuat dan lebih tsabat hujjahnya, sebagai contoh adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Jika aku perintahkan kalian terhadap sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian dan jika aku melarang kalian terhadap sesuatu maka jauhilah” (HR. Bukhari (77/9) dan Muslim (1337) dari Abu Hurairoh). Tidaklah samar lagi –dalam menimbang hadits ini- bahwa suatu larangan tidak ada pilihan padanya, adapun perintah, maka dikerjakan sesuai dengan kemampuannya. Kami tidaklah menolak pembahasannya dan membantah kontradiktifnya, dan tidak pula meremehkannya, namun sesungguhnya ghoyah (tujuan)-nya–sebagaimana telah kusebutkan- adalah kebolehan. Maka apakah kontradiktif antara larangan yang sharih (terang) dengan hanya kebolehan mukhoyyar (yang dapat dipilih)??

Larangan menurut ulama ushul adalah : “Suatu susunan ucapan yang menunjukkan tuntutan menahan diri dari suatu perbuatan.” (Irsyadul Fuhul hal. 109 karya asy-Syaukani). Mendahulukan suatu larangan dari perintah ketika mengkompromikannya diketahui dari Salafus Shalih. Ath-Thayalisi meriwayatkan dalam Musnad-nya (no. 1922) dari jalan Yunus bin ‘Ubaid dari Ziyaad bin Habir, ia berkata : “Ibnu ‘Umar ditanya tentang seseorang yang bernadzar pada hari Jum’at, lantas beliau menjawab : kami diperintahkan untuk memenuhi nadzar namun kami dilarang untuk berpuasa pada hari itu”. Sanadnya hasan (lihat Tuhfatul Asyraf (IX/346) dan komentar Ibnu Hajar terhadap atsar ini). Hal ini menunjukkan dalamnya pemahaman Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu, dan (hal ini menunjukkan) bagaimana beliau mendahulukan larangan ketimbang perintah di saat mengkompromikannya (menjama’nya), karena suatu larangan tidak ada pilihan padanya. Sebagaimana telah kusebutkan –dan kuulangi lagi- bahwa (hadits) kontradiktif di sini menunjukkan suatu ‘kebolehan’ bukan selainnya!!

Bahwasanya permasalahan ini turut dipengaruhi oleh kejadian hari Arofah pada tahun 1408 H. dimana hari itu bertepatan dengan hari Arofah, dan pendapat mengenainya beraneka ragam. Sesungguhnya yang utama dan yang warid tentang berpuasa hari ‘Arofah adalah memiliki keutamaan yang besar dan agung, puasa arofah dapat menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun berikutnya (sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1162) dari Abu Qotadah, dan bab ini juga dari sejumlah sahabat). Lantas, apakah berpuasa pada hari ini kontradiktif dengan larangan yang datang dari (hadits) larangan berpuasa hari sabtu?? Ataukah kita berhenti dari puasa dan meninggalkan ganjaran yang agung ini??

Aku menjawab : Tidak ragu lagi menurut ahli ilmi agar mendahulukan larangan di atas kebolehan jika keduanya berkumpul pada satu jalan –sebagaimana telah berlalu penjelasannya-, dan sebagai penerang serta memperkuat hal ini adalah hadits yang tsabat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau  melarang berpuasa hari arofah di tanah arofah.

Lantas apakah perbedaan di antara kedua larangan ini?? Larangan berpuasa pada hari Sabtu walaupun berketepatan dengan hari Arofah! Larangan berpuasa pada hari Arofah bagi orang-orang yang berada di tanah Arofah! Kedua gambaran ini berhimpun di dalam ketetapan ganjaran bagi orang yang berpuasa pada hari ‘Arofah, dan ganjarannya adalah penghapus dosa dua tahun. Keduanya juga berhimpun di dalam larangan, pertama : dikarenakan hari itu bertepatan dengan hari Sabtu, dan yang kedua : dikarenakan berada di ‘Arofah. Dan kedua larangan ini adalah bersifat khusus dan terperinci. Oleh karena itulah, adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lamin Nubalaa’  (684/10): “Barang siapa yang berpuasa pada hari Arofah di tanah Arofah, sedangkan ia mengetahui larangannya, dan mengetahui bahwasanya Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa di tanah ‘Arofah, demikian pula tidak ada seorang sahabatpun melaksanakannya, maka dari apa yang kami ketahui, dia tidak diberi ganjaran, wallahu a’lam”

Ibnu Hazm telah menguatkan kebolehan berpuasa Arofah di hari ‘Arofah dalam al-Muhalla (VII/17-19), dan dia mendha’ifkan hadits yang datang tentang larangannya –padahal haditsnya shahih dan tetap sebagaimana akan datang penjelasannya nanti-, dan dia menukil dari Sayyidah ‘Aisyah bahwasnya ‘Aisyah berpuasa pada hari haji!! Aku berkata : tidaklah tetap hadits ini darinya sebagaimana ucapan al-Haitsami di dalam al-Majma’ (III/189) karena sanadnya terputus lagi lemah, dan ia menyebutkan pula dari jalan yang lain, namun aku tidak mendapati sanadnya diketahui tsabat pula dari ‘A`isyah.

Dia menukil pula dari al-Hasan bahwasanya ‘Utsman berpuasa pada hari yang panas dan ia berlindung darinya!! Padahal Hasan tidaklah mendengar dari ‘Utsman sebagaimana ucapan al-Alla’i dalam Jami’ at-Tahshil hal. 162. Yahya bin Ied juga ikut terpedaya dengan atsar Sayyidah ‘Aisyah dalam al-Qoul ats-Tsabt hal. 6 dengan turut berdalil dengannya. Ketahuilah, sesungguhnya ia mengkontradiksikan dirinya ketika menetapkan di dalam substansi perkataannya tentang ketetapan larangan berpuasa pada hari ‘Arofah di tanah Arofah, kemudian dirinya menukil pendapat Ibnu Hazm yang telah lalu!!

Dan serupa juga dengan perkataan adz-Dzahabi di atas ialah barang siapa yang berpuasa pada hari sabtu sedangkan ia mengetahui larangannya ketika berketepatan dengan puasa hari-hari yang utama seperti hari ‘Asyuura’ atau ‘Arofah ataupun selainnya. Segala puji hanya milik Allah. Para imam telah menunjukkan bahwa larangan tidaklah tegak melainkan setelah kebolehan sebagaimana dikatakan oleh al-Hazimi dalam al-I’tibaar (hal. 126) dan Imam ath-Thahawi sebagaimana dinukil darinya oleh az-Zaila’iy dalam Nashbu ar-Rooyah (II/234) dan beliau menetapkannya.

Kedua : Bahwasanya nash hadits tentang larangan berpuasa pada hari Sabtu menetapkan secara pasti penafian qoth’iy, yaitu : “…kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Pengecualian ini termasuk wilayah pelarangan jenis-jenis puasa sunnah seluruhnya, baik puasa sunnah maupun tathowwu’, kecuali puasa wajib maka boleh berpuasa di hari itu –tidak bagi selain puasa wajib-.

Dikatakan di sini : Apakah puasa hari Sabtu adalah –sebagai sesuatu yang dapat dipilih- setelah berpuasa pada hari Jum’at bagi orang yang melaksanakannya adalah wajib ataukah sunnah? Mayoritas menjawab : sunnah! Yang menunjukkan hal ini adalah dikeluarkannya hari Sabtu bagi orang yang berpuasa di hari Jum’at ketika tidak ada pilihan dalam menyelesaikannya adalah kita dilarang darinya.

Ketiga : Termasuk yang dirajihkan oleh para ulama adalah menjadikan salah satu hadits sebagai nash dan ucapan, dan yang satunya disandarkan padanya istidlal dan ijtihad, maka yang pertama adalah lebih rajih. Al-Hazimi berkata di dalam al-I’tibar (hal. 11), dan az-Zaila’iy menukil darinya dan menetapkannya di dalam Nashbu ar-Royah (III/289), dan demikian pula pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Fath (I/590). Realitanya kami tidak menentang penetapan hadits ini, berikut ini penjelasan sempurnanya :

Larangan berpuasa selain puasa wajib pada hari Sabtu adalah sharih (terang) nashnya dan petunjuknya jelas. –diantara sisi tarjih adalah “mendahulukan perkara yang terang hukumnya ketimbang yang tidak terang” (Irsyadul Fuhul hal. 279), sedangkan hadits yang membolehkan dijadikan dalil dengan nash yang diistinbathkan darinya kebolehan sebagai penyerta (puasa Jum’at saja).

Keempat : Serupa dengan yang telah lewat adalah apa yang disebutkan oleh para ulama dari segi manthuq (pemahaman teks) dan mafhum (pemahaman konteks)-nya. Ketika seorang yang berdalil tentang kebolehan berpuasa pada hari Sabtu dengan hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh, sesungguhnya ia berdalil dengan mafhum yang mengisyaratkan sebagai peyerta akan kebolehannya, sedangkan hadits keluarga Busr sharih (terang) larangannya dari sisi manthuq-nya. “Beristidlal dengan mafhum tidak dapat menjadi hujjah kecuali jika selamat dari kontradiksi.” Sebagaimana diutarakan oleh adz-Dzahabi dalam Muktashar Sunan al-Baihaqi yang menukil arinya az-Zaila`iy di dalam Nashbu ar-Royah (I/57).[14]

Kelima : Sebagai penguat penjelasan sebelumnya, dan sebagai penjelas bagi ilmu serta tambahan faidah, kami berkata : Hadits Juwairiyah di dalamnya terdapat hukum berpuasa pada hari Jum’at yang mengandung dua gambaran : yaitu bisa jadi beserta hari Kamis atau bisa jadi hari Sabtu. Sedangkan hadits keluarga Busr datang dengan keterangan ketidakbolehan berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan. Kami telah menetapkan –sebelumnya- bahwa hadits Juwairiyah sesungguhnya berdalil dari mafhum-nya bukan dari manthuq-nya, sebaliknya hadits keluarga Busr.

Keenam : Imam Syaukani membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul Fuhul hal. 146-147) sebagai penetap bahwa pengecualian termasuk shighat terkuat dalam mengkhususkan yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan sebagian dari yang masuk ke dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits keluarga Busr adalah termasuk pengkhusus yang kuat karena nash-nya terang, jelas lagi sharih dengan menyebutkan pelarangan berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang wajib. Adapun hadits-hadits lain yang menyebutkan puasa hari Jum’at bergandengan dengan puasa hari Kamis ataupun Sabtu, atau hadits-hadits lainnya yang menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa Dawud, peny.), ataupun hadits yang menjelaskan berpuasa tiga hari setiap bulan (puasa hari putih, peny.), kesemua hadits ini adalah dalil yang umum dibandingkan hadits keluarga Busr. Karena hadits keluarga Busr di dalamnya terdapat larangan dari segala jenis puasa seluruhnya kecuali yang telah diwajibkan. Tanpa ragu lagi, bahwa hadits-hadits tersebut yang telah ditunjukkan seluruhnya datang bukan sebagai puasa yang wajib.

Syubuhat lainnya : Jika dikatakan : ‘Adalah mungkin membawa nash (teks) yang menunjukkan kepada puasanya dengan puasanya yang lain, dan hadits yang melarang puasanya adalah hanya satu hari itu saja, oleh karena itu nash-nya menjadi bersesuaian!!” –demikianlah yang dikatakan oleh al-Atsram terhadap apa yang dinukilnya dari Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dari Tahdzibus Sunan (III/298)-ataupun syubuhat dengan ungkapan lainnya : ‘Jika hari Sabtu bergandengan dengan hari lainnya, maka boleh berpuasa di dalamnya karena yang dilarang adalah berpuasa pada hari Sabtu secara bersendirian.’ Jawaban terhadap problem ini –yang kami sering sekali mendengarnya- adalah  apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu –perlu diketahui bahwasanya beliau tidak memilih pendapat yang melarang puasa pada hari Sabtu, sesungguhnya beliau mengucapkan ucapan yang terbebas dari khilaf dan sebagai penjelasan dalil, dimana hadits ini menurutnya syaadz (ganjil). Dan kami telah menetapkannya dengan tidak meninggalkan tempat bagi keraguan menyelinap akan keshahihan hadits ini, kemasyhurannya dan ketetapannya.- 

Dalam Tahdzibus Sunan (III/298), beliau rahimahullahu berkata : “Ini adalah jalan yang Jayyid (baik) andaikan tidak karena sabda Nabi di dalam hadits : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian” yang merupakan dalil tentang dilarangnya berpuasa di hari itu selain puasa wajib baik bersendirian maupun bersambung (dengan hari lain), dikarenakan pengecualian merupakan dalil pemberi yang menuntut larangan puasa hari Sabtu mencakup setiap bentuk puasa, kecuali puasa wajib, jika seandainya hanya mencakup bentuk tunggal (bersendirian) maka niscaya (haditsnya) berbunyi : “Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu kecuali kalian berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya” sebagaimana teks hadits tentang puasa Jum’at, namun pengkhususan bentuk yang diperbolehkan hanyalah puasa yang wajib, maka hal ini membuahkan larangan secara mutlak terhadap puasa sunnah lainnya.”

Asal ucapan ini adalah dari gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang berkata di dalam Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim (II/572) : “Tidaklah dikatakan, larangan dibawa karena bersendiriannya, dikarenakan lafazhnya adalah, “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”, dan pengecualian merupakan dalil at-Tanaawul (pemberi) –dalam cetakannya berubah menjadi at-Tanazul), hal ini menuntut bahwa hadits ini puasanya umum dari segala aspek, kecuali sekiranya dikehendaki bersendiriannya, seluruhnya masuk kepada puasa wajib sebagai pengecualinya karena tidak ada kesendirian di dalam haditsnya, maka pengecualian merupakan dalil atas masuknya selainnya yang berbeda dengan hari Jum’at, karena sesungguhnya hadits ini menjelaskan larangan akan kesendiriannya”.

Inilah jawaban ilmiah yang kokoh yang tidak ada keleluasaan bagi pencari kebenaran menolaknya atau membantahnya. Syaikh kami Albani –rahimahullahu- berkata di dalam Tamam al-Minnah hal. 406 : “dan juga, seandainya bentuknya disertaikan dengan hari yang tidak dilarang, maka niscaya penafiannya di dalam hadits lebih utama daripada pengecualian kewajiban, dikarenakan syubhat kesempurnaan hadits lebih jauh daripada kesempurnaan bentuk iqtiran (gandengan)-nya, maka jika dikecualikan yang wajib saja, hal ini menunjukkan ketiadaan pengecualian pada selainnya, sebagaimana tidak tersembunyi”. Ucapan ini benar-benar sangat mantap.

 

ISLAMIC MEDIA
ISLAMIC.XTGEM.COM
HOME