Ring ring

Tinjauan dari aspek fiqh

Ditinjau dari aspek Fikih : dari aspek tarjih : “Didahulukan al-Maqrun (yang disertai) yang taukid (kuat) daripada yang tidak disertai” (Irsyadul Fuhul hal. 279), demikian pula : “Didahulukan larangan daripada perintah”, juga : “didahulukan larangan ketimbang kebolehan”, dan “didahulukan ihtimal (kemungkinan) yang sedikit daripada kemungkinan yang banyak”. Hal ini seluruhnya (terdapat pada sumber yang sama, yaitu Irsyadul Fuhul hal 279) sebagai penguat tarjih hadits keluarga Busr dibandingkan hadits lainnya yang menentangnya. Inilah faidah yang telah kufahami setelah menulis penjelasan sebelumnya. Asy-Syaukani berkata di dalam Irsyadul Fuhul hal. 278 : “Adapun pentarjih dari segi matan ada beberapa macam, yaitu :

Macam pertama : “Didahulukannya yang khash daripada yang ‘aam”, demikianlah yang dikatakannya! Maka tidaklah tersembunyi atasmu bahwa mendahulukan yang khash dari yang ‘aam berarti mengamalkannya terhadap perkara yang diberikannya (at-Tanawul), dan mengamalkan yang ‘aam dari yang tersisa bukanlah termasuk bab tarjih namun termasuk dari bab jam’u (kompromi), sedangkan jam’u lebih didahulukan daripada tarjih. Oleh karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam al-Fath (III/94) : “Kompromi lebih didahulukan daripada tarjih dengan kesepakatan ahli ushul”. Kami di sini menyandarkan kepada jalan kompromi hal ini yang Syaukani telah menunjukkannya. Jika si penentang belum puas, maka bentuk-bentuk tarjih sangat banyak yang tidak menyisakan tempat bagi keraguan.

Macam kedua : Adapun berdalil dengan hadits Abdullah bin ‘Amr yang muttafaq ‘alaihi bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, karena sesungguhnya ini adalah puasa yang paling afdhal (utama), yaitu puasanya Dawud.” Maka jawaban terhadap hal ini telah berlalu. Sebagai tambahan jawaban di sini, kami katakan : Hadits ini muncul dari keadaan yang ijmal (global), yang menunjukkan hal ini -larangan berpuasa pada hari Sabtu- sesungguuhnya adalah termasuk syariat Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tidak dari syariat Dawud ‘alaihi Sallam, dan iqrar (penetapan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bagi puasa Dawud adalah penetapan yang global dan muthlaq, yang ditafshil dan diqoyyid (diterangkan) oleh hadits yang datang dari sanad-sanad yang shahih tentang larangan berpuasa pada hari Sabtu. Barangsiapa yang berpuasa sehari dan berbuka sehari maka puasanya termasuk sunnah yang disukai yang dikecualikan darinya puasa pada hari Sabtu, yang diamalkan dengan dua nash tanpa membatalkan salah satu dari keduanya, khususnya –sebagaimana yang telah kusebutkan dan kuulangi- bahwasanya puasa pada hari Sabtu tidak dilaksanakan kecuali yang diwajibkan, dengan nash Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Macam ketiga : Sekiranya ada yang berpuasa sehari dan berbuka sehari, atau berpuasa tiga hari setiap bulan, bertepatan dengan hari ied, atau hari-hari tasyriq, maka apakah yang dia lakukan?? Apakah dia akan mendahulukan puasa yang sunnah terhadap larangan sharih? Hal ini takkan diucapkan orang yang mengetahui ilmu dan dalil-dalilnya beserta hujjah-hujjahnya! Kalau begitu, tidak ada keraguan lagi bahwa pasti dia akan berbuka sebagai bentuk ittiba’ terhadap larangan al-Muhammadi yang sharih (terang) yang berlawanan dengan puasa Dawud yang disukai Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada kita, maka larangan lebih kuat!!! Maka apakah perbedaan kedua gambaran ini : Bagi siapa yang bertepatan puasanya dengan hari-hari terlarang seperti hari ied atau hari tasyriq?? Atau jika bertepatan puasa sunnahnya dengan hari Sabtu, padahal larangannya sharih?! (jawabnya) tidak ada perbedaan bagi orang-orang yang adil diantara dua bentuk gambaran ini. Kedua-duanya terhimpun padanya sunnah dan larangan, padahal larangan didahulukan daripada sunnah, sesuai dengan tafshil yang telah lewat secara berulang-ulang.

Macam keempat : Bahwasanya, nash-nash syar’iyyah tidak datang seluruhnya dalam konteks yang satu dan masa yang satu. Maka seyogyanyalah mengkompromikan nash yang diduga saling kontradiktif –padahal tidak ada kontradiksi pada realitanya sedikitpun- tanpa menjatuhkan sebagian dengan sebagiannya yang lain, seperti masalah kita ini yang mana ada orang yang mengkontradiksikan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu kecuali yang diwajibkan dengan konteks riwayat puasa nafilah atau sunnah. Hal ini merupakan penentangan yang jelas terhadap metodologi kompromi dan hal ini juga sangat jauh sekali. Aku katakan : seluruh segi yang telah lalu pemaparannya, adalah sebagai pembantah dugaan adanya kontradiksi antara hadits larangan  berpuasa pada hari sabtu dengan hadits-hadits lainnya yang telah disebutkan di muka. Hal ini seluruhnya juga merupakan jawaban  secara pasti terhadap dalil-dalil orang yang menyelisihi dari aspek fiqh dan ushul. (selesai di sini ucapan Syaikh Ali)

 

Khatimah

Demikianlah jawaban Syaikhuna al-Muhadits Ali Hasan al-Halaby al-Atsary terhadap syubuhat dan argumentasi-argumentasi orang-orang yang menyelisihi ketetapan larangan berpuasa sunnah hari Sabtu. Metode yang beliau gunakan adalah metode ilmiah yang kuat yang bersumber dari takhrijul hadits dan tashihnya, beserta didukung dengan kaidah-kaidah ushul fiqh. Bagi siapapun yang mencermati dan memperhatikan secara obyektif akan bisa melihat pendapat yang kuat dan madzhab yang terpilih tentang hal ini

Wallahu a’lam bish Showab.

 

ISLAMIC MEDIA
ISLAMIC.XTGEM.COM
HOME