XtGem Forum catalog

Ta’qib 3 :
Dakwaan bahwa pendapat yang menguatkan larangan mutlak puasa sunnah pada hari Sabtu menelantarkan hadits-hadits shahih lainnya

 

Ini dakwaan yang telah tersebar, dan fihak yang memperbolehkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu menjadikan hal ini sebagai salah satu argumentasi mereka. Mereka beranggapan, bahwa menguatkan larangan puasa sunnah pada hari Sabtu maka akan menelantarkan hadits-hadits shahih semisal hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh –radhiyallahu ‘anhum- tentang puasa sunnah hari Jum’at [sebagaimana telah berlalu penyebutannya], hadits puasa putih (ayyamul Baidh tiap pertengahan bulan Hijriah), hadits puasa Senin Kamis, hadits puasa Dawud dan hadits-hadits yang menjelaskan puasa fadhilah lainnya semisal puasa Asyura, Arafah, dll.

Benarkah klaim ini? Mari kita kupas sedikit demi sedikit. Syaikhuna Abul Harits ‘Ali Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Atsari berkata : “Bahwasanya nushush syar’iyyah (dalil-dalil syar’i) tidak seluruhnya turun dalam satu siyaq (bentuk) dan satu waktu, maka seharusnyalah dikompromikan antara dalil yang diduga seakan-akan kontradiktif –padahal realitanya tidaklah kontradiktif- tanpa membenturkannya antara dalil yang satu dengan yang lainnya,  sebagaimana masalah kita ini [masalah puasa sunnah hari Sabtu, pent]. Barangsiapa yang mengkontradiksikan hadits larangan puasa sunnah pada hari Sabtu dengan hadits yang siyaq-nya menunjukkan nafilah atau istihbab (sunnah) saja, maka ini adalah ‘ainul munaqodhoh (penentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u (kompromi) dan inipun sangat jauh dari (metode yang benar). Aku (Syaikh ‘Ali) katakan : semua aspek yang telah aku jelaskan sebelumnya adalah untuk menolak adanya dugaan kontradiktif antara hadits larangan dengan lainnya yang dihadapkan padanya.” [selesai ucapan Syaikh sampai di sini dari Zahru Roudhi hal. 70).

Untuk itu ada baiknya kiranya kita menelaah dulu sekilas apa itu at-Ta’arudh atau at-Tanaqudh (kontradiksi) di dalam Ushul Fiqh. Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 454) berkata : “At-Ta’arudh secara bahasa artinya adalah at-Taqobul (saling berlawanan) dan at-Tamanu’ (saling bertentangan). Secara Istilah artinya adalah ‘dua dalil yang saling bertentangan dimana salah satu dari keduanya menyelisihi lainnya.’ Bab yang sekarang sedang kita bahas ini,  tidaklah kurang urgennya daripada bab qiyas, karena (bab ini) sangat urgen sekali dimana orang bisa jadi menduga bahwa ada di dalam kitabullah atau sunnah Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ada yang saling kontradiksi dan bertentangan, padahal Alloh berfirman (yang artinya) : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS an-Nisa` : 82). Maka dianjurkan untuk tadabbur (merenung/menelaah) dan menjelaskan bahwa dengan tadabbur  tidak mungkin akan ditemukan adanya pertentangan selama-lamanya. Adapun pertentangan yang terdapat diantara ayat adalah karena zhahirnya yang berangkat dari kurangnya ilmu seseorang atau kurangnya pemahaman atau juga karena sikap peremehannya karena tidak mau mentadabburi (Al-Qur’an dan as-Sunnah). Adapun apabila menyatukan tadabbur dan ilmu serta kefahaman maka sesungguhnya tidaklah mungkin akan ditemukannya adanya pertentangan sedikitpun di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa Salam selamanya...” [selesai di sini ucapan al-Imam].

Kemudian al-Imam sang Faqihuz Zaman menerangkan bahwa macamnya Ta’arudh itu ada 4 macam, yaitu :

 

Macam Pertama : kedua dalil sama-sama dalil yang ‘am (umum) maka ada 4 keadaan :

1.    Apabila memungkinkan untuk menjama’ (mengkompromikan) antara keduanya kepada keadaan yang tidak saling bertentangan, maka wajib dijama’. Misalnya firman Alloh Ta’ala (yang artinya) : “Dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-Syuro : 52) dengan firman-Nya (yang artinya) : “Sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai” (QS al-Qoshosh : 56). Maka kompromi kedua ayat tersebut adalah, ayat pertama dimaksudkan dengannya adalah hidayah dilalah ilal haq (petunjuk untuk mengarahkan kepada kebenaran atau dengan istilah lain hidayah bayan wa irsyad, -pent) dan ini tsabit dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Ayat yang kedua, dimaksudkan dengannya adalah hidayah taufiq lil ‘amal dan ini hanyalah hak prerogatif Alloh Ta’ala yang tidak dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan selain beliau.

Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarh-nya (hal. 45) menjelaskan : “Anda dapatkan bahwa ada sebagian ulama mengkompromikan antara kedua dalil (yang kontradiktif) dengan begitu mudah dan terangnya. Anda temukan ada sebagian ulama tidak mampu mengkompromikannya, dan ada juga dapat anda temukan ulama lainnya mengkompromikan ­nushush (dalil-dalil) namun dengan cara yang memaksakan diri jauh (dari hakikatnya). Yang demikian ini adalah dikarenakan ilmu dan kefahaman yang dianugerahkan-Nya kepada seseorang (berbeda-beda tingkatnya, -pent.).

2.    Apabila tidak dapat dijama’, dalil yang datang belakangan (dianggap) sebagai nasikh (penghapus) apabila diketahui tarikh (sejarahnya), maka diamalkan tanpa mengamalkan yang pertama (yang mansukh/dihapus). Sebagai contoh hal ini adalah firman Alloh Ta’ala (yang artinya) : “Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (memberi makan fakir miskin), maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (QS al-Baqoroh : 184), ayat ini menunjukkan adanya pilihan antara memberi makan (orang miskin) atau berpuasa dengan tetap menguatkan (anjuran) untuk berpuasa. Dan firman-Nya (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS al-Baqoroh : 185), ayat ini menunjukkan kewajiban puasa secara spesifik yang harus ditunaikan oleh selain orang yang sakit dan tidak dalam keadaan safar, dan wajib menggantinya (pada hari yang lain).  Dikarenakan ayat ini datang belakangan maka ia menjadi nasikh (penghapus) ayat sebelumnya sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Salamah bin al-Akwa’ yang tsabit di dalam Shahihain dan selainnya.

3.    Apabila tidak diketahui tarikh-nya maka diamalkan yang rajih (tarjih) apabila ada murojjih-nya. Contohnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” (HR Abu Dawud (181), Turmudzi (82) dan Nasa’i (I/216) dari hadits Busroh). Nabi juga pernah ditanya oleh seorang lelaki yang memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab : “Tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” (HR Ahmad dan selainnya).

Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam Syarh-nya (hal. 460-461) menjelaskan sebagai berikut :

“Jadi, kita punya dua hadits di sini. Hadits pertama “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu”. Sabda Nabi “barangsiapa yang menyentuh” ini adalah ‘am (umum), dan sabdanya “falyatawadhdho’ (maka hendaklah ia berwudhu)”, huruf lam di sini adalah sebagai perintah dan hukum asal di dalam perintah adalah wajib.

Hadits yang kedua, Nabi juga pernah ditanya oleh seorang lelaki yang memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab : “tidak” yaitu tidak wajib wudhu’, “karena sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” Apakah mungkin jama’ diterapkan di sini?

Jawab : menurut apa yang diutarakan oleh penulis di sini (penulis adalah Imam Ibnu Utsaimin sendiri, pent.) tidak mungkin dilakukan jama’, dan apabila kita tidak dapat melakukan jama’ maka kita melakukan tarjih. Dan yang rajih adalah hadits yang pertama, yaitu sabdanya “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” dengan empat segi alasan :

Pertama, karena lebih berhati-hati.  Karena apabila anda berwudhu’ setelah anda memegang kemaluan anda, maka tidak bakal ada orang yang mengatakan anda telah bersalah. Apabila anda tidak berwudhu’ niscaya akan ada orang yang berkata “kamu telah salah dan sholatmu tidak sah”. Maka berwudhu’ lebih hati-hati dan sikap hati-hati itu lebih utama sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang berhati-hati dari syubhat maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya” (Muttafaq ‘alaihi dari Nu’man bin Basyir) dan sabdanya : “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi (2518) dan beliau mengatakannya hasan shahih. Imam al-Albani menshahihkannya di dalam Shahihul Jami’ : 3377.2278).

Kedua, karena hadits ini lebih banyak jalur periwayatannya. Sudah maklum diketahui bahwa hadits yang banyak jalan periwayatannya pastilah lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang tidak banyak jalan periwayatannya.

Ketiga, ulama yang menshahihkannya lebih banyak. Apabila suatu hadits banyak yang menshahihkannya maka hal ini merupakan dalil atas kekuatan hadits ini dikarenakan banyaknya yang menshahihkannya.

Keempat, dikarenakan hadits ini berpindah dari asalnya dan di dalamnya ada tambahan ilmu. Ini juga merupakan sebab-sebab tarjih dimana dirajihkan yang berpindah dari asalnya ketimbang yang tidak, karena dalam hal ini ada tambahan ilmu. Sabda Nabi di dalam hadits “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” dan sabdanya “tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu”, manakah diantaranya keduanya yang selaras dengan asal? Yang kedua. Hadits yang pertama berpindah dari asalnya karena asalnya adalah tidak wajib, lantas menunjukkan kepada wajib karena berpindah dari salanya. Dan berpindah dari hukum asal besertanya ada tambahan ilmu, karena yang pertama tetap dalam keadaan asalnya seakan-akan ia tidak tahu adanya perubahan.

Contoh lain hal ini yang dapat diindera adalah : apabila datang pada anda seorang lelaki berkata : “Zaid berdiri”, datang lagi orang lain dan berkata : “Zaid belum berdiri”, maka yang kedua ini tetap dalam asalnya dan asalnya adalah tidak berdiri, adapun yang pertama berpindah dari asal. Jadi, pada orang yang pertama ada tambahan pengetahuan sedangkan orang yang kedua tidak mengetahui realitanya. Dari hal inilah muncul suatu kaidah yaitu al-Mutsbit muqoddamun ‘alan Nafyi (“yang ditetapkan lebih dahulukan daripada yang ditiadakan.”)

Saya berkata : Masalah yang dicontohkan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin ini bisa dijama’ sebagaimana pernyataan Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam paragraf berikutnya, bahwa ada sebagian ulama yang menyatakan masih bisanya hal ini dijama’. Hal ini menunjukkan akan perbedaan ulama di dalam menimbang hal-hal yang memungkinkan untuk dijama’ ataukah tidak. Akan datang penjelasannya lebih lengkap dalam mulhaq tanggapan saya kepada al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq.

4.    Apabila tidak didapatkan adanya murojjih maka wajiblah tawaqquf (mendiamkan) dan apabila tidaklah didapatkan hadits semisal yang shahih.

Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam Syarh-nya (hal. 462) menjelaskan : “Apabila tidak didapatkan adanya murojjih setelah tiga tahapan tadi, yaitu jama’, naskh dan tarjih, maka wajib untuk tawaqquf. Akan tetapi, haruslah kita ketahui bahwa ketiga tahapan tersebut adalah sesuatu yang nisbi (tidak baku), yaitu bisa jadi ada seseorang tidak memungkinkan baginya melakukan jama’ namun mungkin bagi lainnya, bisa jadi seseorang mengetahuio tarikh-nya sehingga ia berpandangan yang kedua adalah nasikh sedangkan yang lainnya tidak tahu, bisa jadi seseorang mengetahui ada murojjih-nya namun yang lainnya tidak tahu. Hal ini hakikatnya adalah perkara yang nisbi...”

 

Macam Kedua : Kedua dalil sama-sama dalil yang ‘khash (khusus) maka ada 4 keadaan (yang sama dengan dalil yang sama-sama ‘am, contoh penerapannya lihat buku Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul hal. 464-468, -pent.)

1.      Apabila memungkinkan untuk menjama’ (mengkompromikan) antara keduanya kepada keadaan yang tidak saling bertentangan, maka wajib dijama’.

2.      Apabila tidak dapat dijama’, dalil yang datang belakangan (dianggap) sebagai nasikh (penghapus) apabila diketahui tarikh (sejarahnya).

3.      Apabila tidak diketahui tarikh-nya maka diamalkan yang rajih (tarjih) apabila ada murojjih-nya.

4.      Apabila tidak didapatkan adanya murojjih maka wajiblah tawaqquf (mendiamkan) dan apabila tidaklah didapatkan hadits semisal yang shahih.

 

Macam Ketiga : Yang kontradiktif adalah dalil yang satunya ‘am dan yang satunya khash, maka yang ‘am dikhususkan dengan yang khash.

Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Syarh-nya menjelaskan : “Apabila dalil yang khash menunjukkan atas suatu hukum dan yang ‘am juga menunjukkan suatu hukum, maka menjama’ keduanya adalah suatu hal yang mungkin, dikarenakan dalil yang ‘am menunjukkan hukum pada keseluruhan bentuknya sedangkan yang khash mengeluarkan sebagian bentuk dari hukum ini, jadi hingga tidak kontradiktif lagi, karena keduanya menjadi madlul-nya khash...” [lihat contoh penerapannya lebih lengkap dalam Syarhul Ushul hal. 468-471].

Saya berkata : Ini diantara metode yang digunakan Syaikh Abul Harits di dalam menjama’ hadits larangan puasa hari Sabtu dengan hadits yang –diklaim- memperbolehkannya. Akan datang penjelasannya lengkapnya setelah ini.

 

Macam Keempat : Yang kontradiktif adalah dua dalil yang sama-sama lebih ‘am pada satu sisi sekaligus juga lebih khash pada sisi lainnya. Dalam hal ini ada tiga keadaan :

1.    Apabila dapat menerapkan dalil yang mentakhshish (mengkhususkan) keumuman salah satu dari dua dalil dengan lainnya, maka hendaklah ditakhshish. Contohnya adalah firman Alloh Ta’ala (yang artinya) : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. ” (QS al-Baqoroh : 234) dan firman-Nya (yang artinya) : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS ath-Tholaq : 4). Ayat yang pertama, khusus di dalam wanita yang ditinggal mati suaminya namun umum di dalam kehamilan dan selainnya. Ayat yang kedua, khusus di dalam kehamilan dan umum di dalam keadaan janda (ditinggal mati suaminya) dan selainnya. Akan tetapi dalil menunjukkan untuk mentakhshish keumuman ayat yang pertama dengan ayat yang kedua. Oleh karena itulah Sabi’ah al-Aslamiyah melahirkan setelah ditinggal wafat suaminya selama beberapa malam lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengizinkannya untuk menikah lagi (Muttafaq ‘alaihi).

Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata di dalam Syarh-nya (hal. 473) : “Ucapan “Akan tetapi dalil menunjukkan untuk mentakhshish keumuman ayat yang pertama dengan ayat yang kedua” yaitu (mentakhshihs) keumuman ayat pertama (yang memasukkan kondisi) hamil dan tidak hamil dengan ayat kedua yaitu masa iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan baik karena ia ditinggal mati oleh suaminya atau selainnya (seperti dicerai misalnya, -pent.). Oleh karena itulah dikatakan “dalil menunjukkan untuk mentakhshish keumuman ayat yang pertama dengan ayat yang kedua”.”

Ucapan “Sabi’ah al-Aslamiyah melahirkan setelah ditinggal wafat suaminya selama beberapa malam lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengizinkannya untuk menikah lagi”maksudnya yaitu, belum sempurna 4 bulan 10 hari Nabi mengizinkannya untuk menikah lagi.”

2.    Apabila tidak dapat menerapkan dalil yang mentakhshish (mengkhususkan) keumuman salah satu dari dua dalil dengan lainnya maka dilakukan tarjih. Contohnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Apabila salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah duduk sampai sholat dua rakaat” dan sabdanya : “tidak ada sholat selepas subuh sampai terbitnya matahari dan tidak ada sholat selepas ashar sampai terbenamnya matahari”. Hadits yang pertama menunjukkan kekhususan di dalam tahiyatul Masjid namun umum di dalam waktu, sedangkan hadits kedua menunjukkan kekhususan di dalam waktu dan umum di dalam sholat termasuk sholat tahiyatul Masjid dan selainnya. Akan tetapi yang rajih adalah mentakhsish keumuman hadits kedua dengan hadits pertama, yaitu dibolehkannya tahiyatul masjid pada waktu-waktu yang dilarang umumnya sholat di dalamnya. Sesungguhnya kami rajihkan hal ini dengan alasan mentakhshish keumuman hadits kedua diperbolehkan pada selain tahiyatul Masjid seperti mengganti sholat fardhu dan mengulang sholat jama’ah maka dilemahkan keumumannya.

Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarh-nya (hal. 477) menjelaskan : “Apabila ada seseorang setelah sholat Ashar dia teringat bahwa sholat zhuhurnya tadi tanpa berwudhu’, maka kami katakan padanya : “sholatlah kamu sekarang”, dan yang merajihkannya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “maka hendaklah ia sholat apabila ia mengingatnya” (potongan hadits muttafaq ‘alaihi), maka yang umum dikalahkan. Demikian pula dengan “mengulangi sholat jama’ah”, seperti apabila anda telah sholat di satu masjid kemudian anda pergi ke masjid lain dan anda dapatkan jama’ah sedang sholat, maka sholatkan bersama mereka, sebagai pengejawantahan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “apabila kalian berdua sholat di dalam perajalanan kalian, kemudian kalian tiba di masjid yang jama’ah tengah sholat padanya, maka sholatlah bersama mereka karena akan terhitung sebagai nafilah bagi kalian.” (HR Abu Dawud (575), Turmudzi (219), Nasa’i (II/112) dan selainnya)...”

3.    Apabila tidak dapat menerapkan dalil dan tidak pula merajihkan keumuman salah satunya dengan yang kedua, maka wajib mengamalkan kedua-duanya di dalam bagian yang tidak saling kontradiktif fan tawaqquf di dalam gambaran yang ada kontradiktif padanya. Namun, tidaklah mungkin ada kontradiktif diantara dalil-dalil pada satu masalah yang sama yang tidak dapat dijama’, dinaskh ataupun ditarjih, karena dalil-dalil itu tidak ada yang kontradiktif (pada realitanya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menerangkan dan menyampaikan, namun bisa jadi hal ini terjadi dikarenakan pemahaman seorang mujtahid yang kurang, wallohu a’lam.

[selesai di sini ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu secara diringkas dari kitab Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul hal. 454-481. lebih lengkap silakan rujuk kitab yang bermanfaat tersebut. Lihat pula pembahasan yang sama dalam kitab-kitab Ushul Fiqh lainnya].

 

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan atau kontradiksi nyata antara hadits Alu Busr dengan hadits lainnya. Karena dalam hal ini, metode jam’u sekaligus tarjih dapat digunakan. Apabila ditanyakan : Metode jam’u manakah yang digunakan dalam hal ini? Risalah ini bagian kedua telah menyebutkannya, namun tidak ada salahnya apabila saya nukil kembali, yaitu :

Syaikh Abul Harits dalam bantahan poin ke-6 berkata “Imam Syaukani membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul Fuhul hal. 146-147) sebagai penetap bahwa pengecualian termasuk shighat terkuat dalam mengkhususkan yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan sebagian dari yang masuk ke dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits keluarga Busr adalah termasuk pengkhusus yang kuat karena nash-nya terang, jelas lagi sharih dengan menyebutkan pelarangan berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang wajib. Adapun hadits-hadits lain yang menyebutkan puasa hari Jum’at bergandengan dengan puasa hari Kamis ataupun Sabtu, atau hadits-hadits lainnya yang menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa Dawud, peny.), ataupun hadits yang menjelaskan berpuasa tiga hari setiap bulan (puasa hari putih, peny.), kesemua hadits ini adalah dalil yang umum dibandingkan hadits keluarga Busr. Karena hadits keluarga Busr di dalamnya terdapat larangan dari segala jenis puasa seluruhnya kecuali yang telah diwajibkan. Tanpa ragu lagi, bahwa hadits-hadits tersebut yang telah ditunjukkan seluruhnya datang bukan sebagai puasa yang wajib.” [lihat Zahru Roudhi hal 64]. Maka yang demikian ini tidak menelantarkan salah satu dari kedua dalil.

Sekarang apabila kita menggunakan metode jam’u dengan memalingkan lafazh hadits dari zhahir-nya dengan menggunakan indikasi hadits-hadits yang dianggap sebagai pengkontradiksi hadits larangan, yaitu memahami hadits Alu Busr sebagai berikut :

  1. Memalingkan makna nahyu dalam hadits ini kepada karohah tanzih dan bahkan kepada makna ibahah (mubah).

  2. Memalingkan zhahir hadits Alu Busr kepada pemahaman larangan akan tegak apabila dilakukan secara infirad (bersendirian), tidak diiringi dengan sehari sebelum dan setelahnya.

  3. Memalingkan zhahir hadits Alu Busr kepada pemahaman larangan akan tegak apabila dilakukan dengan maksud takhshish dan ta’zhim.

Berikut ini adalah tanggapan dan jawaban terhadap argumentasi di atas.

 

Pertama, memalingkan makna nahyu kepada karohah tanzih atau bahkan ibahah memerlukan qorinah yang kuat di dalamnya. Karena apabila tidak, maka akan terlantarlah maksud hadits larangan (Alu Busr) ini dan seakan-akan sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tidaklah berfaidah.

Telah maklum di dalam kaidah Ushul Fiqh bahwa larangan itu membuahkan keharaman kecuali apabila ada qorinah yang memalingkannya. Imam asy-Syafi’i di dalam ar-Risalah, sebagaimana dinukil oleh az-Zarkasyi (az-Ziriksyi) dalam al-Bahrul Muhith (II/426) berkata : ”Apa yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam maka hal ini menunjukkan keharaman sampai datangnya suatu dilalah (dalil yang menunjukkan) bahwa maksud dari larangan ini bukanlah tahrim.” Imam Syafi’i di dalam al-Umm, kitab Shifatul Amri wan Nahyi juga berkata : ”larangan dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam apabila suatu yang telah dilarang maka haram hukumnya sampai datang dalil yang menunjukkan akan ketidakharamannya.”

Telah dipaparkan terdahulu pada risalah bagian pertama, bahwa hadits Alu Busr ini memiliki larangan yang kuat dan mantap yang apabila larangannya harus dipalingkan dari zhahirnya maka haruslah dengan qorinah yang kuat. Berikut ini akan saya turunkan lagi penjelasannya sebagai penguat dan penambah faidah :

4.    Lafazh Laa tashuumuu yawmas Sabti merupakan bentuk nahyu (larangan) yang tegas. Di dalam kaidah ushul fiqh telah maklum dikatakan : Al-Ashlu fin Nahyi an yadulla ‘alat tahriim (hukum asal di dalam larangan menunjukkan keharamannya), wa qod yadullu an-Nahyu ‘alal karohah faqoth in iqtarona bihi qoriinah tamna’u dilaalatahu ‘alat tahriim (terkadang larangan menunjukkan kepada kemakruhan saja apabila disertai dengan indikasi yang mencegah penunjukannya kepada keharaman), seperti misalnya hadits wa iyyakum wal julusa fith thuruqot (jauhilah kalian duduk-duduk di jalanan), kemudian Rasulullah mengizinkannya apabila memberikan kepada jalan hak-haknya. Sekarang indikasi apakah yang mengharuskan memalingkan kata laa tashuumuu yawmas sabti di atas kepada makna karohah tanzih bukan tahrim?!!

5.    Lafazh fa in lam yajid ahadukum illa liha`a ‘inabatin aw ‘uuda syajarotin. Lafazh ini merupakan tasydid (penguat) yang pasti di dalam larangan. Kata lihaa`u inabatin (kulit pohon anggur) atau ‘uuda syajarotin (ranting pohon) menunjukkan bahwa kedua hal ini bukanlah makanan yang umum/lazim dikonsumsi manusia, namun Rasulullah tetap memerintahkan untuk memakannya sebagai ifthar (buka puasa) agar seseorang tidak berpuasa pada hari Sabtu. Bukankah telah maklum bahwa ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam itu tidak ada yang sia-sia dan ucapan beliau itu adalah ucapan yang ringkas namun padat maknanya. Lantas apa faidah sabda beliau di atas apabila perintah untuk makan kulit dan ranting pohon ini hanya membuahkan kepada makruh, yang apabila diamalkan tidak apa-apa namun apabila ditinggalkan mendapatkan pahala. Ini artinya jam’u seperti ini yang semula hendak menghindarkan terlantarnya hadits-hadits Nabi yang lainnya, malah menyebabkan terlantarnya hadits ini dan menelantarkan makna-makna yang ada di dalamnya. Allohumma.

6.    Lafazh Falyamdhugh-hu (maka kunyahlah), dengan lam amr yang berarti perintah. Telah maklum bahwa hukum asal perintah itu adalah wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya. Sekarang dalil apakah yang memalingkan perintah ini? Perintah ini merupakan perintah untuk mengunyah kulit dan ranting pohon (kayu) yang bukan merupakan makanan manusia, sebagai tasydid untuk membatalkan puasa seseorang yang berpuasa pada hari Sabtu. Lantas, apakah memalingkan kewajiban di sini kepada sunnah atau mubah untuk berpuasa sunnah pada hari Sabtu tidak menelantarkan makna lafazh dalam hadits ini?

Jadi, memalingkan zhahir larangan di sini haruslah membutuhkan qorinah (indikasi) yang sangat kuat sehingga tidak menelantarkan makna lafazh hadits dari lisan yang ma’shum, seorang yang ucapannya adalah jami’ul kalim (ringkas namun padat makna) yang tidak mungkin beliau mengucapkan sesuatu yang sia-sia, yang mana zhahir-nya dapat dipalingkan kepada bukan yang ditangkap oleh indera pada lahiriyah ucapan beliau.

 

Kedua, memalingkan makna hadits kepada yang tidak tampak darinya, yaitu larangannya dibawa kepada apabila puasa dilakukan secara infirad (bersendirian). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan jelas menyatakan :

(( لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ))

Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian.”

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menggunakan lafazh larangan sebagaimana Rasulullah melarang puasa hari Jum’at. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

(( لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا أَنْ تَصُوْمُوْ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُُ))

Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang kalian lakukan dengan sehari sebelum dan setelahnya.” maka tepatlah klaim di atas tanpa perlu melakukan pemalingan-pemalingan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu di atas tidak boleh diartikan dengan larangan apabila bersendirian, tidak digandeng dengan hari lain. Karena lafazh hadits tersebut adalah :

(( لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ))

Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian.”

Sedangkan istitsna` (pengecualian) itu adalah dalil tanawul (yang mencakup semuanya selain yang dikecualikan), maka hadits tersebut mencakup segala bentuk puasa (yang diwajibkan).

Apabila tidak demikian dan larangan yang dimaksud adalah puasa secara bensendirian, tidak digandeng dengan hari sebelum dan setelahnya, tentu (nabi) tidak akan menyebutkan puasa yang wajib sebagai pengecualiannya. Karena tidak mengandung makna bersendirian maka pengecualian dalam hadits ini merupakan dalil masuknya segala hal yang tidak dikecualikan. Berbeda dengan hadits berpuasa pada hari Jum’at yang menjelaskan larangan jika dikerjakan dengan bersendirian, tidak digandeng dengan hari-hari lain.” (Iqtidha’ ash-Shirathal Mustaqim : II/572).

Imam al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah (hal. 406) : “Seandainya bentuk puasa yang digandeng tidak dilarang, tentu digunakan untuk mengecualikan larangan tersebut lebih utama daripada pengecualian dengan puasa yang diwajibkan, sebab syubhat tentang keumuman hadits di atas lebih jauh dari keumuman puasa yang digandeng. Maka jika pengecualian yang ada hanyalah pada puasa yang diwajibkan, berarti selain itu tidak ada yang dikecualikan sebagaimana yang telah jelas.”

Saya berkata : Hal ini yang menyebabkan Imam al-Albani rahimahullahu tidak menjama’ hadits Alu Busr dengan hadits lainnya, dikarenakan beliau beranggapan bahwa apabila jam’u dilakukan maka akan menghilangkan atau membatalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan ini merupakan penghalang dilakukannya jam’u. Kemudian, tarjih yang beliau lakukan tidak menelantarkan seluruh hadits yang dikontradiksikan, bahkan bisa tarjih yang beliau lakukan bisa mengamalkan sebagian besar hadits-hadits tersebut tanpa adanya kontradiksi.

 

Ketiga : memalingkan zhahir hadits kepada pengkhususan menjadi terlarang apabila dilakukan dengan takhshish dan ta’zhim. Pendapat ini sebenarnya berangkat dari jam’u dengan hadits Ummu Salamah dan ‘A`isyah sebagaimana telah dikemukakan pada risalah bagian 2 sekaligus bantahannya. Lafazh hadits Alu Busr ini adalah shahih tanpa menyisakan adanya syak sedikitpun dan hadits yang shahih adalah hujjah binafsihi (hujjah dengan sendirinya), tanpa perlu melihat apakah ada imam atau ulama sebelumnya yang pernah mengamalkannya. Sedangkan hadits yang dikontradiksikan, yaitu hadits Ummu Salamah dan ‘A`isyah, maka kedua hadits ini adalah hadits yang dha’if tidak dapat digunakan untuk berhujjah apalagi untuk dikontradiksikan dengan hadits yang shahih.

Membawa pemahaman hadits larangan kepada takhsish dan ta’zhim merupakan bentuk pengkhususan yang memerlukan dalil dan tidak ada dalilnya di dalam hal ini kecuali hanya implikasi dari jam’u yang dilakukan dengan hadits-hadits lainnya. Telah dikemukakan pada ulasan sebelumnya sebagiannya, bahwa tidak ada kontradiksi yang nyata pada hadits larangan dengan hadits yang membolehkan –akan datang penjelasan rincinya setelah ini-, sehingga dengan demikian, mengkhususkan larangan pada tanpa takhsish dan ta’zhim tidaklah tepat. Allohu a’lam.

 

Sebelum menginjak ke pembahasan lebih lengkap, akan saya rangkumkan beberapa poin penguatan hadits larangan (hadits Alu Busr) dibandingkan hadits yang dikontradiksikan, dalam beberapa poin berikut :

1.    Kaidah : an-Nahyu yaqtadhi at-Tahrim (larangan membuahkan keharaman) apabila tidak ada qorinah (indikasi) yang memalingkannya. Dan yang rajih –menurut kami- adalah tidak ada qorinah yang kuat yang dapat memalingkan nahyu di sini menjadi karohah apalagi ibahah, bahkan memalingkannya menjadi karohah tanzih terlebih lagi ibahah akan membatalkan makna hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang shahih dan seakan-akan menyatakan bahwa lafazh nabi dalam hadits ini sia-sia. Allohu a’lam.

2.    Kaidah : al-Istitsna’ dalilut Tanawul (pengecualian itu dalil yang mencakup semuanya kecuali yang dikecualikan). Hadits Alu Busr jelas-jelas secara tegas menunjukkan bahwa dilarang berpuasa pada hari Sabtu illa fiima ufturidha ‘alaikum (kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian). Maka konsekuensinya, semua puasa pada hari Sabtu terlarang kecuali hanya puasa yang wajib saja, karena istitsna´di sini memasukkan semua jenis puasa nafilah dan mustahabbah kecuali puasa wajib saja. Memalingkan maknanya kepada tanpa infirad maka membatalkan sabda Nabi yang mulia ini.

3.    Kaidah : al-Manthuq muqoddam ‘alal Mafhum (makna lafazh yang tersurat lebih didahulukan daripada makna yang tersirat). Hadits Alu Busr yang melarang puasa sunnah hari Sabtu adalah hadits yang jelas manthuq­-nya dan tegas larangannya untuk tidak berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan disertai dengan tasydid (penguatan) untuk berbuka dengan kayu dan ranting pohon, padahal keduanya ini bukan makanan yang lazim dikonsumsi. Sedangkan hadits yang dikontradiksikan yaitu hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh berbicara tentang larangan puasa hari Jum’at secara bersendirian atau bukan pada puasa yang biasa dilakukan. Kedua hadits ini hanya difahami darinya secara mafhum tentang bolehnya berpuasa pada haru Sabtu. Demikian pula dengan hadits-hadits lainnya semisal hadits puasa Dawud, hadits ayyamul baidh (hari-hari putih), hadits nafilah seperti puasa ‘Asyura` dan ‘Arofah, dan lain-lainnya. Kesemua hadits ini diistidlalkan dari mafhum-nya bukan dari manthuq-nya. Maka, al-Manthuq muqoddamun ‘ala Mafhum.

4.    Kaidah : an-Nahyu muqoddamun ‘alal Amri (larangan lebih didahulukan ketimbang perintah), demikian yang dikatakan oleh Imam asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (II/390). Lantas bagaimana apabila an-Nahyu dikontradiksikan dengan al-ibahah (kebolehan)? Telah jelas bahwa hadits Alu Busr menunjukkan larangan yang tegas, sedangkan hadits yang dikontradiksikannya hanyalah membuahkan ibahah saja, bukan perintah. Apabila larangan lebih didahulukan ketimbang perintah, bagaimana lagi dengan kebolehan?!

5.    Kaidah : idza ta’aarodho qoulaani baynal karoohah wat tahriim fayurojjihu al-Qoula bit Tahriim (apabila dua pendapat saling kontradiksi antara yang menyatakan makruh dan haram, maka dikuatkan yang mengharamkannya). Karena hukum asal larangan adalah haram, maka mengembalikan ke asal adalah lebih utama. Terlebih lagi apabila tidak ada qorinah yang dapat memalingkannya menjadi karohah. Dan alhamdulillah tidak ada dalil yang kuat untuk memalingkan hadits Alu Busr –menurut pendapat kami- dari tahrim menjadi karohah.

6.    Kaidah : al-Hazhir muqoddamun ‘alal Mubih (dalil melarang lebih didahulukan daripada dalil yang membolehkan). Demikianlah yang dijelaskan oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Ahkaamu Ahlidz Dzimmah (I/529), yang mana hal ini menurut beliau dikarenakan tiga alasan : (1) menguatkan hukum asal larangan, (2) sikap kehati-hatian supaya tidak jatuh kepada keharaman dan (3) mengembalikan kepada hukum asalnya yang haram. Telah jelas bahwa hadits Alu Busr adalah dalil al-Hazhir sedangkan hadits-hadits yang dikontradiksikan adalah dalil al-Mubih, maka al-Hazhir muqoddamun ‘alal Mubih.

7.    Kaidah : Dalil Naqil ‘anil Ashli muqoddamun min dalil mabqi ‘alayhi (dalil yang berpindah dari hukum asalnya lebih didahulukan daripada dalil yang masih tetap dalam asalnya), sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin pada macam ta’arudh pertama antara dua dalil yang ‘am pada macam ketiga bagian ke-4 di atas, beliau menyatakan bahwa dalil yang beranjak dari asalnya itu lebih memiliki tambahan ilmu daripada yang tetap. Secara asal, diperbolehkan berpuasa pada semua hari-hari yang ada, namun ada yang berpindah/berubah dari asalnya menjadi haram, semisal berpuasa pada hari iedain, tasyriq, yaumu syak termasuk juga hari Sabtu serta hari Jum’at secara bersendirian. Maka dalil yang berpindah dari asal lebih didahulukan daripada yang tetap dalam asalnya.

8.    Kaidah : al-Khash yaqdhi ‘alal ‘am (yang khusus menetapkan bagi yang umum) sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (I/89) atau Bina` al-‘Am ‘alal Khosh (dalil yang umum dibangun di atas dalil yang khusus) sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (163). Imam Syaukani menjelaskan : “Dan telah ada ketetapan bahwasanya dalil yang khusus lebih kuat daripada dalil yang umum sedangkan dalil yang lebih kuat itulah yang lebih dirajihkan. Selain itu, dalil yang umum jika dikerjakan akan menelantarkan dalil yang khusus sedangkan menjalankan yang khusus tidak akan menelantarkan yang umum...” Telah diketahui bahwa hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh -yang dikontradiksikan dengan hadits Alu Busr- menjelaskan puasa hari Jum’at yang disertai dengan dua bentuk, disertai dengan hari Kamis atau disertai dengan hari Sabtu. Sedangkan hadits Alu Busr secara tegas menjelaskan larangan puasa hari Sabtu kecuali yang diwajibkan. Telah dijelaskan bahwa hadits Juwairiyah mengandung pemahaman secara tidak langsung (mafhum) sedangkan hadits Alu Busr mengandung pemahaman langsung (manthuq). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hadits Alu Busr lebih khusus dan spesifik di dalam melarang hari Sabtu sedangkan hadits Juwairiyah lebih umum dan bersifat mukhoyar (boleh dipilih) antara disertai hari Kamis atau Sabtu. Maka, hadits Alu Busr dapat mengeluarkan shuroh (bentuk) hari Sabtu karena lebih spesifik daripada hadits Juwairiyah. Allohu a’lam.

 

Demikian inilah beberapa segi penguatan hadits Alu Busr dibandingkan hadits yang dianggap memperbolehkan. Untuk menyempurnakan faidah, maka akan saya turunkan beberapa contoh berikut ini :

1.    Puasa seorang isteri tanpa izin suaminya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada tanpa izinnya…” (HR Bukhari). Seandainya ada seorang wanita hendak melakukan puasa nafilah, puasa ‘Arofah atau ‘Asyura` misalnya, yang ganjarannya sangat luar biasa, namun ia melakukannya tanpa izin suaminya, apakah boleh ia melakukannya? Jawabnya tentu saja tidak boleh, karena ia menyelisihi larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka dalam hal ini didahulukan larangan atas sunnah. Allohu a’lam.

2.    Puasa pertengahan bulan Sya’ban.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Apabila telah masuk pertengahan bulan Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa...” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, dishahihkan al-Albani). Apabila ada seseorang ia hendak melakukan puasa Senin Kamis atau puasa Dawud pada pertengahan bulan Sya’ban ini padahal ini bukanlah kebiasaannya, bolehkan ia melakukannya? Jawabnya adalah tidak boleh, karena ia menyelisihi dalil larangan dari Nabi, karena larangan didahulukan atas kebolehan.

3.    Puasa pada hari Tasyriq

Telah tsabat larangan berpuasa pada hari tasyriq. Apabila ada seseorang yang biasa melakukan puasa Dawud, atau Senin Kamis –misalnya-, bolehkah ia melakukan puasanya pada hari Tasyriq? Jawabnya tentu saja tidak boleh. Karena larangan lebih didahulukan daripada kebolehan.

4.    Puasa ‘Arofah bagi orang yang berada di ‘Arofah

Puasa ‘Arofah sangat besar sekali ganjarannya, karena diampuni dosa kita setahun sebelum dan setelahnya. Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya oleh ‘Ikrimah tentang berpuasa ‘Arofah di ‘Arofah, beliau berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang berpuasa ‘Arofah di ‘Arofah” (HR an-Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Bukhari dalam Tarikh al-Kabir, dll –lihat perincian takhrijnya dalam Zahru Roudhi hal. 74-82 dan penilaiannya yang minimal dikatakan hasan). Apakah dalam hal ini jika ada seseorang berpuasa ‘Arofah di tanah ‘Arofah benarkah puasanya? Imam adz-Dzahabi di dalam Siyaru ‘Alamin Nubala’ (X/684) menyatakan bahwa puasanya tidak benar. Hal ini dikarenakan ia menyelisihi hadits larangan Nabi yang shahih.

Saya berkata : dari keempat contoh di atas, kenapa kita tidak menerapkan hal yang serupa pula pada hadits larangan berpuasa hari Sabtu? Bukankah hadits Alu Busr juga shahih sebagaimana hadits-hadits larangan di atas? Bukankah hadits Alu Busr sama-sama merupakan larangan yang tegas sebagaimana hadits-hadits di atas yang dikontradiksikan dengan hadits-hadits nafilah atau sunnah?!

 

ISLAMIC MEDIA
ISLAMIC.XTGEM.COM
HOME