Snack's 1967

MULHAQ (TAMBAHAN)

BANTAHA TERHADAP TA’QIB ABU ISHAQ SEPUTAR MASALAH PUASA SUNNAH HARI SABTU

Berikut ini jawaban atas sanggahan al-Akh al-Ustadz yang singkat namun padat dan berat untuk dijawab. Saya harus menunda sekian lama untuk menjawab sanggahan beliau karena beberapa sebab, diantaranya selain kesibukan yang melanda, juga karena sangat minimnya referensi yang saya miliki untuk merujuk pasca saya tinggal di Malang. Namun, mudah-mudahan yang sedikit ini bisa sedikit menjadi jawaban yang sangat singkat yang tidak ‘mengenyangkan dan tidak pula dapat menghilangkan dahaga’. Namun, sesuatu yang tidak dapat diamalkan seluruhnya tidak ditinggalkan sebagiannya.

Tanggapan 1 : Bersandar dengan pemahaman salaf

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : “Hanya saja ada satu hal yang saya ingin kita sepakat terlebih dahulu. Yaitu apakah yang dimaksud dengan manhaj salaf dalam arti sikap atau implementasinya dalam segala sisi termasuk masalah fiqih dan ushul fiqih? Sejauh mana kita akan menggunakan atau bersandar pada ucapan atau pemahaman mereka? Ini tentu merupakan kaedah yang harus dipegang, karena di sanalah kita akan memulai merajut kata putus untuk setiap permasalahan.”

 

Jawab :

Tentu saja kita harus berpegang kepada manhaj salaf dalam semua sisi. Baik aqidah, manhaj, ibadah, akhlaq, fiqh dan lain sebagainya. Dan tidak ada perbedaan antara kita di dalam masalah ini. Mungkin al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq memahami perkataan saya di dalam masalah yang sedang kita diskusikan ini keluar dari konteksnya, dengan melihat bahwa saya belum dapat menunjukkan siapakah salaf saya atau salaf mereka yang berpegang dengan pendapat larangan puasa sunnah pada hari Sabtu secara mutlak. Sebagiannya telah saya singgung pada risalah saya yang pertama, namun insya Alloh akan saya jelaskan kembali secara lebih terperinci agar tidak menimbulkan kesalahfahaman, seakan-akan mereka yang berpegang dengan pemahaman ini adalah pemahaman yang muhdats yang tidak dikenal melainkan setelah abad 14 hijriah ini –akan tampak zhahir ucapan ini dari al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq pada paragraf-paragraf berikutnya-.

Demikian pula klaim Syaikh Yahya bin Isma’il Ied dalam bukunya al-Qoulu ats-Tsabti yang dibantah oleh Syaikh Abul Harits ‘Ali Hasan al-Halabi, dan Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi dalam risalahnya yang berjudul al-Qoulul Qowim yang dibantah oleh Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir dan Syaikh ‘Ali Ridha.

 

 

 

Tanggapan 2 : Hanya ada Dua kesimpulan : makruh dan mubah!!!

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq :  Saya hanya coba meresapi, bahwa masalah hukum puasa pada hari sabtu telah populer semenjak jaman dahulu. Berpulang pada satu hadits dan berujung pada dua kesimpulan, boleh dan makruh. Kesimpulan ini tentunya didasarkan pada pemahaman mereka akan hadits tersebut serta semua hadits terkait dengan segala argumentasi pendukungnya. Ternukil dengan sempurna sampai abad 20 tiba.

Al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq juga berkata :  Penghukuman haram berpuasa sunnah pada hari sabtu dengan semata bersandar pada zhahir lafazh adalah tidak pernah dikenal sama sekali sebelum abad 20 bahkan di kalangan madzab zhahiri sekalipun! Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14 abad lamanya.

Kitab-kitab dirayah hadits dan fiqih sudah mudawwan, aqwal ulama sudah jelas tertulis dan sempurna diwariskan, maka siapakah atau dimanakah anda jumpai pendahulu anda yang mengatakan bahwa larangan ini bermakna haram? Bahkan mereka yang menolak hadits ini semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim pun berujung pada kesimpulan yang sama –‘ala fardhi sihhatihi- dengan para ulama lain yang menerima hadits ini.

 

Jawab :

Ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq “Saya hanya coba meresapi, bahwa masalah hukum puasa pada hari sabtu telah populer semenjak jaman dahulu. Berpulang pada satu hadits dan berujung pada dua kesimpulan, boleh dan makruh” perlu ditelaah kembali. Ada beberapa catatan yang perlu diberikan di sini.

Kesimpulan yang dipetik dari hasil peresapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq yang berujung pada kesimpulan ibahah dan karohah tampaknya perlu dikritisi kembali. Saya telah menunjukkan pada risalah bagian pertama ucapan Syaikh Abul Harits al-Halabi di dalam menyanggah Syaikh Yahya Ied dan ta’qib Syaikh Alu Thohir terhadap risalah Syaikh al-Utaibi mengenai masalah ini. Namun untuk lebih memperjelas hal ini, maka akan saya turunkan ucapan Imam ath-Thohawi rahimahullahu yang menyebutkan akan adanya khilaf dalam masalah ini dimana al-Akh Abu Ishaq mengklaim bahwa hanya ada dua ujung kesimpulan yaitu ibahah dan karohah tanzih.

Berkata Imam ath-Thohawi dalam Syarh Ma’anil Atsar (II/79-80) tentang puasa hari Sabtu yang bukan wajib :

فذهب قوم إلى هذا الحديث ، فكرهوا صوم يوم السبت تطوعا . وخالفهم في ذلك آخرون ، فلم يروا بصومه بأسا وكان من الحجة عليهم في ذلك ، أنه قد جاء الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه نهى عن صوم يوم الجمعة إلا أن يصام قبله يوم ، أو بعده يوم , وقد ذكرنا ذلك بأسانيده ، فيما تقدم من كتابنا هذا ، فاليوم الذي بعده ، هو يوم السبت , ففي هذه الآثار المروية في هذا ، إباحة صوم يوم السبت تطوعا ، وهي أشهر وأظهر في أيدي العلماء من هذا الحديث الشاذ ، الذي قد خالفها.

Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan hadits ini, maka mereka membenci [sengaja saya menterjemahkan dengan kata membenci bukan memakruhkan, karena kedua hal ini beda sebagaimana akan datang penjelasannya, pent.] puasa sunnah pada hari Sabtu. Sedangkan yang lainnya menyelisihi mereka dan memandang puasa di dalamnya tidak mengapa, dan diantara yang menjadi dalil mereka atas pendapat ini adalah hadits yang datang dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau melarang berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila diiringi dengan puasa sehari sebelum atau setelahnya. Kami telah menyebutkannya dengan sanadnya di dalam buku ini sebelumnya. Hari setelahnya adalah hari Sabtu. Maka di dalam atsar yang diriwayatkan ini menunjukkan bolehnya bepuasa sunnah pada hari Sabtu dan adalah pendapat yang paling masyhur dan tampak di tengah-tengah para ulama bahwa hadits ini (larangan puasa hari Sabtu) adalah syadz yang menyelisihi atsar di atas.

Ucapan Imam ath-Thohawi : “Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan hadits ini, maka mereka membenci puasa sunnah pada hari Sabtu. Sedangkan yang lainnya menyelisihi mereka dan memandang puasa di dalamnya tidak mengapa” menunjukkan bahwa ada ulama yang berpendapat dengan larangan mutlak (haram). Dan ucapan Imam ath-Thohawi rahimahullahu yang menyebutkan فكرهوا (mereka membenci) yang dimaksud adalah karohah lit tahrim bukan karohah lit tanzih. Berikut ini penjelasannya :

 

Pertama : Makna hadits yang menunjukkan larangan secara mutlak dengan tegas dan terang, sebagaimana telah berlalu penjelasannya.

 

Kedua : Bahwasanya Imam ath-Thohawi sendiri mengetahui bahwa hadits ini menunjukkan dilalah secara zhahir kepada larangan, sebagaimana dalam ucapan beliau “Maka di dalam atsar yang diriwayatkan ini menunjukkan bolehnya bepuasa sunnah pada hari Sabtu dan adalah pendapat yang paling masyhur dan tampak di tengah-tengah para ulama bahwa hadits ini (larangan puasa hari Sabtu) adalah syadz yang menyelisihi atsar di atas” dimana beliau menghukumi hadits ini dengan syadz dikarenakan adanya hadits yang memperbolehkan berpuasa pada hari Sabtu, sedangkan hadits larangan menyelisihinya dengan mengharamkan puasa pada hari Sabtu, maka beliau menghukuminya sebagai syadz. Penilaian syadz ini telah dijawab dalam risalah bagian 2 dan pada artikel “Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”.

 

Ketiga : Sesungguhnya al-Ahnaaf (ulama bermadzhaf Hanafiyah) apabila memutlakkan kata karohah maka maknanya adalah haram, dan telah maklum bahwa Imam ath-Thohawi rahimahullahu termasuk salah satu pembesar madzhab Hanafiyah. Imam al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Tahdzirus Saajid :

والكراهة عن الحنفية إذا أطلقت فهي للتحريم كما هو معروف لديهم

Karohah menurut Hanafiyyah apabila dimutlakkan maka bermakna pengharaman sebagaimana telah dikenal di kalangan mereka.”

Keempat : Sesungguhnya kaum salaf shalih secara umum, apabila mereka memutlakkan kata karohah maka maknanya adalah haram. Terkadang mereka memaksudkannya sebagai karohah tanzih namun seringkali ketika mereka memutlakkannya kepada sesuatu maka maksudnya adalah haram. Hal ini sebagai salah satu bentuk tawaru’ (kehati-hatian) mereka di dalam mengharamkan sesuatu, dan yang asal menurut mereka pada ucapan makruh atau karohah maka maknanya adalah haram.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata di dalam I’lamul Muwaqqi’in (I/43) : “Kaum salaf, mereka menggunakan kata karohah pada makna yang digunakan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu bermakna haram. Adapun kaum muta`akhkhirin (kontemporer), mereka mengistilahkan karohah dengan pengkhususan yang bukan termasuk keharaman atau kepada makna meninggalkan lebih baik daripada melaksanakan, kemudian mereka bawa ucapan para imam kepada istilah yang baru ini sehingga akhirnya mereka keliru di dalam masalah ini. Yang lebih parah lagi kesalahanannya adalah mereka yang membawa lafazh karohah atau la yanbaghi yang terdapat di dalam Kalamullah atau Sunnah Rasulillah kepada makna istilahi baru ini...

Perhatikan pula ucapan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217) di bawah ini :

وأما الأيام المنهي عنها: فمنها أيضا متفق عليها منها مختلف فيها, أما المتفق عليها فيوم الفطر ويوم الأضحى لثبوت النهي عن صيامها, وأما المختلف فيها فأيام التشريق ويوم الشك ويوم الجمعة ويوم السبت والنصف الآخر من شعبان وصيام الدهر...

“Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri dan Adhha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan Sya’ban dan puasa Dahri…”

Beliau melanjutkan ucapannya (V/232),

وأما يوم السبت فالسبب في اختلافهم فيه: اختلافهم في تصحيح ما روي أنه عليه الصلاة والسلام, قال: لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم...

“Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda : Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian…”

Ucapan beliau di atas adalah ucapan yang mutlak, bahwa puasa sunnah pada hari Sabtu adalah termasuk hari yang diperselisihkan oleh para ulama. Adapun membatasi perselisihannya hanya pada dua ujung saja, yaitu makruh dan mubah, maka ini tentu saja pembatasan yang jauh dari yang dimaksud.

Bahkan yang lebih umum lagi dari hal ini adalah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu sendiri, dimana beliau berkata dalam Iqtidha’ ash-Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu :

وقد اختلف الأصحاب وسائر العلماء فيه

“Para sahabat dan seluruh ulama telah berselisih pendapat tentangnya.”

Bagaimana bisa ucapan mutlak Syaikhul Islam di atas hanya dibatasi pada dua macam perselisihan saja, yaitu hanya berujung pada makruh dan mubah?!!

Lebih jauh lagi, ulama kontemporer kita, sang faqih di zaman ini, Imam Ibnu ’Utsaimin rahimahullahu, beliau berkata di dalam Syarh Zadil Mustaqni’ :

وأما السبت فقيل إنه كالأربعاء والثلاثاء يباح صومه. وقيل إنه لا يجوز إلا في الفريضة. وقيل إنه يجوز لكن بدون إفراد

“Adapun hari Sabtu, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya hari ini seperti hari Rabu dan Selasa boleh berpuasa di dalamnya. Ada lagi yang berpendapat, tidak boleh berpuasa di dalamnya kecuali hanya yang diwajibkan, ada lagi yang berpendapat boleh selama tidak bersendirian.”

Perhatikan ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin ketika beliau menyebutkan pendapat yang tidak memperbolehkan kecuali hanya puasa wajib. Ini menunjukkan bahwa sang faqihuz zaman sendiri mengetahui bahwa khilaf di dalam masalah ini mu’tabar.

Apabila ada yang berpendapat sebagaimana klaim Syaikh al-Utaibi hafizhahullahu yang menyatakan ucapan Imam Ibnu Utsaimin di atas adalah dimaksudkan untuk khilaf yang terjadi pada ulama kontemporer saja, maka ucapan beliau tertolak. Syaikh Alu Thohir membantahnya dengan menyatakan bahwa ucapan Imam Utsaimin ini mutlak dan tidak ada qoyyid yang memaksudkan bahwa ucapan beliau hanyalah untuk khilaf ulama kontemporer saja. Ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin di atas umum baik khilaf yang terjadi pada mutaqoddimin maupun muta’akhkhirin.

Sebagai penerang bahwa maksud ucapan beliau ini umum bagi khilaf antara ulama terdahulu maupun kontemporer adalah ucapan beliau rahimahullahu ketka beliau ditanya mengenai hukum puasa sunnah dan wajib pada hari Sabtu selain Ramadhan. Beliau menjawab :

لا بأس به وأن الحديث الوارد فيه حديث شاذ مخالف للأحاديث الصحيحة ومن شرط العمل بالحديث أن لا يكون شاذاً لأن عدم الشذوذ شرط لصحة الحديث ولكونه حسناً وما ليس بصحيح ولا حسن لا يجوز العمل به وإلى هذا ذهب جماعة من العلماء السابقين والمعاصرين ومنهم من قال إن صومه لا يجوز لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك وقال : لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم ومنهم من فصل أو فرق بين أن يصومه منفرداً أو يصوم يوماً قبله أو يوماً بعده وهذا هو المشهور من مذهب الإمام أحمد ابن حنبل رحمه الله

“Tidak mengapa hukumnya dan hadits yang menjelaskan tentang larangan haditnya syadz menyelisihi hadits-hadits yang shahih lainnya. Termasuk syarat mengamalkan hadits adalah hadits tersebut haruslah tidak syadz karena ketiadaan syadz merupakan syarat shahihnya sebuah hadits atau hasannya, namun hadits ini tidak shahih dan tidak pula hasan dan tidak boleh mengamalkannya. Kepada inilah mayoritas para ulama terdahulu dan kontemporer berpendapat, namun diantara mereka ada yang berpendapat tidak boleh (puasa hari Sabtu) karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”, adapula diantara mereka yang memperinci dan memilah-milah antara orang yang berpuasa hari Sabtu secara bersendirian dengan yang menyertainya dengan puasa sehari sebelum atau setelahnya. Dan pendapat inilah yang masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu.”

Perhatikan ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu yang bercetak tebal “diantara mereka ada yang...”. setelah sebelumnya beliau menyebutkan mayoritas ulama terdahulu dan kontemporer... maka, Imam Ibnu Utsaimin sendiri menyatakan bahwa khilaf dalam masalah ini mu’tabar dan tidak hanya berujung pada dua saja, yaitu makruh dan mubah sebagaimana didakwakan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq, wallohu a’lam.

Taruhlah dakwaan al-Akh Abu Ishaq ini benar, hanya ada dua kesimpulan, yaitu mubah dan makruh. Namun ada dua hal yang harus dijelaskan oleh beliau,  yaitu :

1.    Bagaimana dan dengan argumentasi seperti apakah, makna nahyu dalam hadits Alu Busr yang tegas dan memiliki tasydid untuk berbuka dengan kulit dan ranting pohon berubah menjadi mubah?!! Padahal pemalingan nahyu itu paling banter seringkali hanya berpindah pada karohah tanzih saja, dan itupun butuh qorinah yang kuat. Sekarang bagaimana bisa nahyu yang jazm lagi qoth’i ini berubah menjadi mubah (boleh dilakukan atau ditinggalkan) padahal telah jelas bahwa hadits Alu Busr ini hadits yang shahih dan telah dimaklumi bahwa hadits shahih itu hujjah binafsihi.

2.    Bagaimana beliau bisa dengan yakin menempatkan semua kata karohah pada ucapan para ulama yang didakwakannya semua telah mudawwan dan jelas dan ternukil dengan sempurna sampai abad XX, seluruhnya bermakna karohah tanzih.

Apabila beliau bisa menjelaskan kedua hal ini dengan jelas, ilmiah, terperinci dan disertai dengan nukilan ulama, maka niscaya sangat mungkin bagi saya meninggalkan pendapat yang sekarang saya pegang ini.

 

Tanggapan 3 : Pendapat tahrim adalah pendapat tidak dikenal sama sekali sebelum abad 20.

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq :  Penghukuman haram berpuasa sunnah pada hari sabtu dengan semata bersandar pada zhahir lafazh adalah tidak pernah dikenal sama sekali sebelum abad 20 bahkan di kalangan madzab zhahiri sekalipun! Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14 abad lamanya. Kitab-kitab dirayah hadits dan fiqih sudah mudawwan, aqwal ulama sudah jelas tertulis dan sempurna diwariskan, maka siapakah atau dimanakah anda jumpai pendahulu anda yang mengatakan bahwa larangan ini bermakna haram?

Bahkan mereka yang menolak hadits ini semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim pun berujung pada kesimpulan yang sama –‘ala fardhi sihhatihi- dengan para ulama lain yang menerima hadits ini.

Al-Akh Abu Ishaq juga berkata : “Berpulang pada hadits yang sama, muncul kemudian pendapat ketiga tentu dengan kesimpulan yang berbeda, yaitu haram. Argumentasi yang digunakan hanya 2 macam: pertama zhahir lafazh, kedua jama’ dengan hadits lain yang ternyata pada kenyataannya adalah tarjih. Menariknya, argumentasi ini juga dipakai oleh sebagian ulama jaman dahulu semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, tapi kesimpulannya berbeda, mereka menolak hadits ini karena tidak mungkin dijama’ dan tidak berterima juga jika diunggulkan dalam tarjih, namun ‘ala fardhi sihhatihi mereka berujung pada salah satu dari dua kesimpulan yang ada, yaitu makruh. Semuanya selaras dengan apa yang ternukil secara sempurna sampai abad 20 tiba.

 

Jawab :

Pandangan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas perlu ditelaah kembali. Mengklaim bahwa pendapat tahrim dalam puasa sunnah pada hari Sabtu sebagai pendapat pendapat baru (muhdats) yang tidak dikenal setelah abad ke-20 adalah suatu klaim yang menurut saya terlalu jauh dan berlebihan. Bahkan konsekuensi dari ucapan ini seakan-akan menyatakan bahwa pendapat yang diperpegangi oleh Imam al-Albani ini adalah pendapat yang muhdats, hal ini tersirat dalam ucapan beliau :

Nah, satu hal yang saya kira kita sepakat, apabila sampai kepada kita bahwa sedari dulu hingga kini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat, maka tidak boleh bagi kita mendatangkan pendapat ketiga. Dalilnya adalah hadits yang penggalannya digunakan oleh Al-Akh Abu Salma sebagai header blognya, yaitu:

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة

“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang berada di atas kebenaran sampai datang hari kiamat.” (Ash-Shahihah No. 270)

Ini berarti kebenaran ada diantara salah satu dari dua pendapat tersebut sepanjang masa. Jika kemudian muncul pendapat ketiga, maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang berarti hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini berarti tidak ada kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang kosong dari mereka yang tegak di atas kebenaran. Atau pendapat ketiga itulah yang salah sejak awalnya, dan ini tentunya yang lebih berterima. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.

Saya berkata : Syaikhuna Salim bin Ied al-Hilali di dalam Dauroh 1427 silam di Ciloto Bogor, ketika membahas mengenai ilmu tafsir pada hari terakhir, beliau sempat menjelaskan tentang masalah khilaf. Apabila khilaf yang warid dari salaf hanya dua pendapat saja, kemudian datang orang belakangan membawa pendapat baru, maka pendapat yang baru ini adalah pendapat bid’ah!!! Menilik ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq yang mengatakan “Jika kemudian muncul pendapat ketiga, maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang berarti hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini berarti tidak ada kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang kosong dari mereka yang tegak di atas kebenaran” menunjukkan bahwa al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq memahami bahwa pendapat tahrim yang diperpegangi Imam al-Albani ini adalah pendapat muhdats yang beliau adakan pada abad ke-20 ini tanpa ada salaf sebelumnya. Padahal pada risalah saya bagian pertama dan tiga telah saya singung jawabannya sekilas masalah ini.

Saya benar-benar harus mengernyitkan dahi ketika membaca ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq ini. Apabila benar dakwaan beliau ini maka mau tidak mau kita harus mengatakan bahwa Imam al-Albani dan orang-orang yang merajihkan pendapat beliau berarti telah jatuh kepada suatu pendapat bid’ah –walau tidak semua orang yang teratuh kepada kebid’ahan otomatis menjadi ahlu bid’ah-. Ini konsekuensi dari ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas walaupun beliau tidak menegaskan hal ini.

Padahal, saya belum menemukan dakwaan sebagaimana yang didakwakan oleh al-Ustadz Abu Ishaq ini dari para ulama yang memperbolehkan berpuasa sunnah hari Sabtu, yang menulis artikel-artikel seputar masalah ini yang turut membantah pendapat tahrim ini. Mungkin bisa saya katakan bahwa, Allohu a’lam, bahwa al-Akh Abu Ishaqlah orang yang pertama, atau orang yang secara tegas menyatakan bahwa “Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14 abad lamanya”!!!

Baiklah, barokallohu fikum ya ustadz atas ta’qib antum yang berat dan sulit dijawab ini. Namun insya Alloh, saya akan berupaya menjawabnya dengan memaparkan pandangan para ulama di dalam masalah ini.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di dalam Iqtidha’ ash-Shirathal Mustaqim (II/572) :

ولا يقال: يحمل النهي على إفراده: لأنَّ لفظه "لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم" والاستثناء دليل التناول، وهذا يقتضي أنَّ الحديث يعم صومه على كل وجه؛ وإلا لو أريد إفراده لما دخل الصوم المفروض ليستثنى فإنه لا إفراد فيه، فاستثناؤه دليل على دخول غيره، بخلاف يوم الجمعة فإنه بين أنه إنما نهى عن إفراده، وعلى هذا: فيكون الحديث إما شاذاً غير محفوظ، وإما منسوخاً

“(Hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu) tidak boleh diartikan dengan larangan apabila bersendirian, karena lafazh hadits itu berbunyi : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian.” Sedangkan istitsna` (pengecualian) itu adalah dalil tanawul (yang mencakup semuanya selain yang dikecualikan, pent.), maka hadits tersebut mencakup segala bentuk puasa (yang diwajibkan). Apabila tidak demikian dan apabila larangan yang dimaksud adalah larangan secara bensendirian (tidak digandeng dengan hari sebelum dan setelahnya, pent.), tentu (nabi) tidak akan menyebutkan puasa yang wajib sebagai pengecualiannya. Karena tidak mengandung makna bersendirian maka pengecualian dalam hadits ini merupakan dalil masuknya segala hal yang tidak dikecualikan. Berbeda dengan hadits berpuasa pada hari Jum’at yang Rasulullah menjelaskan larangannya jika dikerjakan dengan bersendirian. Oleh karena itulah hadits ini bisa jadi syadz atau ghoiru mahfuzh (tidak shahih), atau bisa jadi juga mansukh...”

Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Hasyiah ‘ala Tahdzibis Sunan (VII/50) :

قوله في الحديث: "لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم" دليل على: المنع من صومه في غير الفرض مفرداً أو مضافاً؛ لأنَّ الاستثناء دليل التناول، وهو يقتضي: أنَّ النهي عنه يتناول كل صور صومه إلا صورة الفرض، ولو كان إنما يتناول صورة الإفراد؛ لقال: "لا تصوموا يوم السبت إلا أن تصوموا يوماً قبله أو يوماً بعده" كما قال في الجمعة!! ... وقد ثبت صوم يوم السبت مع غيره بما تقدم من الأحاديث وغيرها؛ كقوله في يوم الجمعة "إلا أن تصوموا يوماً قبله أو يوماً بعده" فدلَّ على أنَّ الحديث غير محفوظ وأنه شاذ!!

Sabda beliau di dalam hadits : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian” merupakan dalil petunjuk atas larangan berpuasa yang bukan wajib di hari Sabtu baik secara bersendirian maupun bergandengan (dengan hari lain). Karena istitsna` itu merupakan dalil tanawul, dan dalil tanawul ini menghukumi bahwa larangan puasa hari Sabtu itu mencakup semua bentuk puasa kecuali hanya puasa yang wajib saja. Kalau ia juga mencakup bentuk puasa secara bersendirian, maka niscaya Rasulullah bersabda : ”Janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali diikuti oleh berpuasa sehari sebelum dan setelahnya” sebagaimana sabda beliau tentang puasa hari Jum’at!!... Namun telah tetap adanya puasa pada hari Sabtu yang disertai hari lainnya sebagaimana telah berlalu penyebutan hadits-haditsnya, seperti sabda Nabi tentang puasa hari Jum’at : “kecuali puasa yang diikuti oleh berpuasa sehari sebelum dan setelahnya.” Hal ini menunjukkan bahwa hadits (larangan) ini ghoiru mahfuzh dan haditsnya syadz...”

Dari paparan kedua imam di atas kita dapat beristifadah darinya :

1.    Dari zhahir hadits menunjukkan akan larangan, karena Syaikhul Islam dan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu menyebutkan kata larangan dengan shighat umum, sedangkan telah ma’ruf bahwa larangan itu littahrim.

2.    Keduanya berpendapat bahwa istitsna` dalam hadits ini mencakup semua bentuk puasa kecuali yang wajib.

3.    Keduanya berpendapat bahwa zhahir hadits menunjukkan larangan berpuasa pada hari Sabtu baik secara bersendirian maupun secara bergandengan dengan hari-hari lain. Bahkan keduanya membantah pendapat yang menyatakan larangan hanya untuk bersendirian saja.

4.    Keduanya menghukumi hadits larangan ini ghoiru mahfuzh, syadz dan atau mansukh.

Syaikh ‘Ali Hasan dan Syaikh Ro`id Alu Thohir menyatakan bahwa kedua imam ini ‘ala fardhi shihhati hadits tentulah akan berpegang pada zhahir  hadits larangan, namun mereka menghukumi hadits ini sebagai syadz dan ghoiru mahfuzh. Telah lewat pembahasannya bahwa hadits ini shahih dalam artikel “Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”. Dakwaan Syadz terhadap hadits ini telah dijawab oleh al-Imam al-Albani dan Syaikh ‘Ali Hasan dan selain mereka berdua. Sedangkan hadits shahih itu hujjah binafsihi, tidak membutuhkan adanya seorang imam yang mengamalkannya agar bisa dijadikan hujjah atau diamalkan. Dan ini adalah kaidah yang telah ma’ruf di kalangan ahli hadits.

Jadi, letak perbedaannya adalah : Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim meng’ilal (mencacat) hadits larangan dengan syadz dan ghoiru mahfuzh, dan hadits syadz itu merupakan bagian dari hadits dha’if, sedangkan Imam al-Albani yang telah mengumpulkan thuruqul haditsnya, meyakini akan keshahihan hadits ini, dan beliau tidak menjama’ hadits larangan ini dikarenakan apabila dijama’ akan berbuntut pada ditelantarkannya makna istitsna´ dan tasydidun nahyi dalam larangan ini, sehingga seakan-akan sabda Nabi tersebut menjadi tidak bermakna.

 

à Apabila dikatakan : “Siapakah salaf Imam al-Albani di dalam masalah tahrim ini? Bukankah para salaf yang berbeda dalam masalah ini hanya berujung pada dua kesimpulan saja, yaitu makruh dan mubah?”

Maka saya jawab, hal ini telah berlalu penjelasannya pada risalah bagian ketiga, yaitu para imam yang menyebutkan tentang adanya perselisihan ini, semisal Imam ath-Thohawi, Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah rahimahumullahu menyebutkan akan adanya khilaf di dalam masalah ini secara umum dan tidak membatasi hanya pada dua kesimpulan makruh dan mubah. Juga telah dijawab bahwa tidak selamanya makna makruh itu adalah littanzih, karena seringkali para salaf memahami kata karohah itu sebagai tahrim. Jadi kesimpulannya, tidak dapat dibatasi bahwa para salaf berselisih di dalam masalah ini hanya berujung pada dua kesimpulan yaitu makruh (lit tanzih) dan mubah saja.

 

à Apabila dikatakan : “Bisakah anda sebutkan siapa salaf yang mentahrim puasa sunnah pada hari Sabtu?”

Maka saya jawab, dari nukilan terdahulu terutama pada risalah saya yang ketiga telah jelas, bahwa khilaf di dalam masalah ini telah mu’tabar dan tidak hanya berujung pada dua kesimpulan makruh tanzih dan mubah. Namun sangat mungkin adanya para salaf yang menghukumi keharamannya. Menyebutkan orang perorang, fulan dan fulan bukanlah hal yang dituju di dalam hal ini, namun cukuplah bahwa ada khilafiyah dalam masalah ini baik semenjak dahulu sampai sekarang. Yang menjadi hujjah bagi kita bukanlah ucapan-ucapan fulan dan fulan dari salaf atau kholaf, namun yang menjadi hujjah adalah dalil-dalil dari hadits Nabi.

Bukankah pendapat Syaikhul Islam dan Imam Ibnul Qoyyim rahimahumallohu di atas apabila mereka tidak mencacat haditsnya niscaya mereka akan berpegang pada zhahir hadits yaitu larangan? Bahkan lebih jauh lagi, hadits Nabi yang shahih itu adalah hujjah binafsihi (hujjah dengan sendirinya dari dzatnya), tidak membutuhkan adanya seorang imam yang mengamalkannya.

Imam al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah :

لا يضر الحديث ولا يمنع العمل به عدم العلم بمن قال به من الفقهاء ، لأن عدم الوجدان لا يدل على عدم الوجود

“Tidaklah menjadikan suatu hadits itu cacat dan tidaklah mencegah untuk mengamalkannya ketidaktahuan kita akan siapa dari kalangan fuqoha’ yang berpendapat dengannya, karena ketiadaan akan orang yang berpegang dengannya tidak otomotis menunjukkan akan ketiadaan hadits tersebut.”

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata pula di dalam I’lamul Muwaqqi’in :

إذا كان عند الرجل الصحيحان أو أحدهما أو كتاب من سنن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ موثوق بما فيه فهل له أن يفتي بما يجده ؟، فقالت طائفة من المتأخرين : ليس له ذلك لأنه قد يكون منسوخاً أو له معارض أو يفهم من دلالته خلاف ما دل عليه فلا يجوز له العمل ولا الفتيا به حتى يسأل أهل الفقه والفتيا . وقالت طائفة بل له أن يعمل به ويفتي به بل يتعين عليه كما كان الصحابة يفعلون إذا بلغهم الحديث عن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وحدث به بعضهم بعضاً بادروا إلى العمل به من غير توقف ولا بحث عن معارض ولا يقول أحد منهم قط : هل عمل بهذا فلان وفلان ، ولو رأوا من يقول ذلك لأنكروا عليه أشد الإنكار وكذلك التابعون وهذا معلوم بالضرورة لمن له أدنى خبرة بحال القوم وسيرتهم وطول العهد بالسنة ، ... ولو كانت سنن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسوغ العمل بها بعد صحتها حتى يعمل بها فلان أو فلان لكان قول فلان أو فلان عياراً على السنن ، ومزكيا لها ، وشرطاً في العمل بها ، وهذا من أبطل الباطل وقد أقام الله الحجة برسوله دون آحاد الأمة وقد أمر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بتبليغ سنته ودعا لمن بلَّغها ، فلو كان من بلغته لا يعمل بها حتى يعمل بها الإمام فلان والإمام فلان لم يكن في تبليغها فائدة وحصل الاكتفاء بقول فلان وفلان

“Apabila ada pada seseorang suatu hadits shahihain, atau hadits salah satu dari shahihain (yaitu diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Muslim saja, pent.) atau dari kitab Sunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah tetap keshahihannya, apakah ia boleh dengan serta merta menfatwakan hadits yang ia peroleh? Sekelompok ulama kontemprer berpendapat tidak boleh langsung menerimanya, karena bisa jadi hadits itu mansukh atau ada hadits pengkontradiksinya, atau difahami dari penunjuk hadits menyelisihi dengan apa yang dimaksud oleh hadits itu, maka tidak boleh mengamalkannya dan menfatwakannya sampai ditanyakan kepada ahli fikih dan ahli fatwa. Sekelompok ulama lainnya berpendapat : Bahkan wajib atasnya mengamalkannya dan berfatwa dengannya, bahkan wajib atasnya menta’yinnya sebagaimana para sahabat mengamalkan hadits apabila telah sampai kepada mereka suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mereka sampaikan kepada satu dengan lainnya dan mereka bersegera untuk mengamalkannya tanpa bertawaquf (mendiamkannya) dulu, atau mencari dulu dalil yang kontradiksi dengannya. Bahkan tidak ada satupun diantara mereka yang mengatakan : “apakah Fulan dan Fulan mengamalkannya?”, apabila mereka melihat ada orang yang berkata seperti ini maka mereka akan ingkari mereka dengan pengingkaran yang amat sangat, demikian pula dengan para Tabi’in. Hal ini adalah suatu hal yang telah ma’lum bidh dharurah bagi mereka yang mengetahui sedikit saja keadaan dan sejarah para sahabat dan tabi’in dan masa interaksi mereka yang panjang dengan sunnah... Seandainya sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak diperbolehkan mengamalkannya  walaupun shahih sampai diamalkan oleh Fulan dan Fulan, maka niscaya ucapan Fulan dan Fulan merupakan cela bagi sunnah, pensucinya dan syarat untuk mengamalkannya, dan ini merupakan kebatilan yang paling batil padahal Alloh menegakkan hujjah dengan Rasul-Nya bukan dengan orang perorang dari umat ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah memerintahkan untuk menyampaikan sunnahnya dan menyeru bagi yang menyampaikannya, sekiranya tidak perlu menyampaikanya sampai imam Fulan dan Fulan mengamalkannya, maka niscaya tidak ada faidahnya menyampaikan hadits dan cukuplah dengan ucapan Fulan dan Fulan.”

Penjelasan para imam di atas menunjukkan bahwa hadits itu hujjah binafsihi tidak membutuhkan amalan seorang imam baik salaf maupun kholaf yang mengamalkannya untuk bisa menjadikannya sebagai hujjah atau bisa diamalkan. Bahkan ini lebih tinggi daripada mempertanyakan “siapa salaf anda”, karena yang diterima dan diambil di sini adalah ucapan para imamnya dan penghulu salaf, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri.

Keshahihan suatu hadits baik sanad dan matan menunjukkan secara yakin bahwa hadits itu adalah benar-benar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang mana Rasulullah menyabdakannya dengan Bahasa Arab yang fasih, yang bisa difahami secara mudah baik oleh orang awam maupun alimnya, yang sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah jawami’ul kalim, dan semua ucapan beliau membuahkan faidah dan tidak ada yang sia-sia.

Sebagai tambahan pula, bisa dikatakan bahwa salaf kita di dalam masalah ini adalah para sahabat yang meriwayatkan hadits ini. Karena tidaklah mungkin para sahabat –yang telah jelas akan keshahihan sanadnya- ketika meriwayatkan sebuah hadits, mereka tidak mengamalkan hadits tersebut. Karena apabila tidak maka ini tentu saja merupakan celaan. Para sahabat yang menjadi salaf kita dalam masalah ini adalah ‘Abdullah bin Busr, saudari beliau Shamma’ binti Busr, dan bapak keduanya Busr bin Abu Busr al-Mazini serta Abu ‘Umamah al-Bahili Shuday bin ‘Ajlan radhiyallahu ‘anhum.

Lebih kuatnya lagi, adalah sebuah riwayat berikut : Diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam al-Kubro (55/a/12) sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (IV/294-no.5195) dari Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad [beliau adalah Abu ‘Abdil Malik al-Qurosyi al-Busri] dari Ishaq bin Ibrahim [beliau adalah  Abun Nashri al-Faradisi] dari Abu Muthi’ Mu’awiyah bin Yahya : memberitakan padaku Arthah beliau berkata : Aku mendengar Abu ‘Amir al-Alhani [beliau adalah ‘Abdullah bin Ghobir] berkata : Aku mendengar Tsauban maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditanya tentang berpuasa pada hari Sabtu dan beliau menjawab : Tanyakan pada ‘Abdullah bin Busr, kemudian ‘Abdullah bin Busr ditanya tentang hal ini lalu beliau menjawab :

صيام يوم السبت لا لك ولا عليك

“Berpuasa pada hari Sabtu itu, tidak ada bagimu dan tidak wajib atasmu.”

Ucapan ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhuLaa laka wa ‘alaika” tidak bermaksud pembolehan, oleh karena itulah Imam Nasa’i meletakkan atsar mauquf ini di dalam bab : “an-Nayhu ‘an Yaumis Sabti”.

Dan lafazh “laa laka wa ‘alayka” ini serupa dengan lafazh hadits :

مَنْ صام الدهر فلا صام ولا أفطر

“Barangsiapa yang berpuasa dahr (selamanya) maka tidak (dianggap) berpuasa dan tidak pula berbuka.” Padahal telah maklum bahwa puasa dahr itu hukumnya terlarang.

Jadi, bukanlah suatu hal yang mengada-ada apabila kami mengatakan bahwa Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Busr adalah salaf kami di dalam masalah ini. Jadi, menyatakan bahwa kami tidak punya salaf di dalam masalah ini adalah pendapat yang tidak tepat dan berangkat dari minimnya penelaahan dan pembahasan serta terlalu tergesa-gesa di dalam menghukumi sesuatu.

 

à Jika dikatakan : “Kitab-kitab para ulama telah mudawwan dan tidak ditemukan satupun dari mereka yang menyebutkan nama ulama salaf yang memahami larangan di sini sebagai tahrim.”

Maka saya jawab, dikarenakan kitab-kitab para ulama telah mudawan-lah akhirnya para ulama hadits belakangan dapat dengan lebih mudah mengecek jalur-jalur periwayatan hadits sehingga semakin memperjelas rantai sanad periwayatan, apakah kuat ataukah tidak. Sehingga apabila telah tampak suatu hadits itu shahih, maka hadits itu akan menjadi hujjah binafsihi tidak memerlukan seorang imam untuk mengamalkannya supaya ia bisa menjadi hujjah untuk diamalkan. Dari kitab-kitab para ulama yang mudawan-lah akhirnya dapat ditelaah ucapan-ucapan para imam terdahulu di dalam masalah ini, sehingga tampaklah bahwa mereka mayoritas menganggap larangan di sini bersifat makruh karena mereka mencacat hadits Alu Busr ini, imma sebagai hadits kidzb, mansukh, syadz, mudhtarib, ghoiru mahfuzh, atau bentuk pencatatan lainnya. Karena pengilallan inilah akhirnya mereka melakukan tarjih : al-Ashoh muqoddamun ‘ala ash-Shahih (yang lebih shahih lebih didahulukan ketimbang yang shahih) dan suatu hadits yang shahih yang menyelisihi hadits yang lebih shahih darinya maka hadits tersebut dianggap syadz. Oleh karena itulah banyak para imam terdahulu melemahkan hadits ini sehingga mereka sampai kepada kesimpulan mubah.

Kemudian, mengetahui nama-nama imam tertentu yang memahami larangan di sini sebagai tahrim bukanlah suatu hal yang dapat merubah hakikat bahwa masalah ini telah tsabat khilaf di dalamnya –sebagaimana penjelasan yang telah lalu-. Mengetahui nama-nama imam tertentu bukanlah merupakan pokok yang dikehendaki, namun mengetahui bahwa masalah ini adalah masalah khilaf yang telah tsabat terjadi semenjak salaf hingga kholaf itulah yang dituju. Tidak wajib atas kita mengetahui nama-nama imam yang berpendapat  demikian, namun yang penting adalah adanya ulama salaf yang berpendapat dengan pendapat ini, dan inilah yang dituju walaupun tidak ada para ulama yang menyebutkan namanya. Terlebih, para imam salaf sendiri mereka semua telah bersepakat, bahwa ‘in shohhal hadits fahuwa madzhabiy’ (apabila telah shahih sebuah hadits maka itu adalah madzhabku). Dengan demikian, mengklaim bahwa pendapat tahrim adalah pendapat yang diada-adakan semenjak abad XX dan tidak dikenal sebelumnya, adalah tuduhan yang terlalu berlebihan kiranya dan tidak tepat. Kiranya ucapan Syaikh Ali lebih layak untuk mensifati tuduhan ini sebagai, ucapan yang berangkat dari minimnya penelaahan dan kurangnya pemahaman. Allohu a’lam bish showab.

 

 

Tanggapan 4 : Makruh tanzih atau makruh haram?

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq :  Jika dikatakan, bukankah para ulama jaman dahulu ketika mengatakan makruh maknanya adalah haram?

Pertama, perkataan ini perlu dikaji kembali. Mereka yang menghukumi makruh, dalam sebagian kondisi juga menggunakan kata makruh untuk makna tanzih. Jadi tidak mutlak kata makruh yang mereka gunakan harus bermakna haram.

Kedua, mereka yang mengatakan makruh, berujung pada kesimpulan seperti ini dengan alasan jama’ yang sebenarnya dengan semua hadits yang ada, ini semakin membuktikan bahwa yang dimaksud dengan makruh di sana bukanlah haram. Lain halnya dengan mereka yang berpendapat haram, jama’ yang mereka lakukan pada hakekatnya adalah tarjih, sebab kaedah yang digunakan adalah kaedah tarjih bukan kaedah jama’. Sehingga klaim bahwa kata makruh yang digunakan para ulama jaman dahulu sebagai haram di sini adalah tidak berterima. Suatu usaha yang bagus untuk mencari pendahulu (salaf) namun sayang dimulai dengan jalan atau cara yang berbeda dengan mereka.

 

Jawab :

Tidak dipungkiri, bahwa ketika para ulama salaf mengatakan kata makruh, maka bisa jadi ia bermaksud haram (dan ini adalah asal) dan bisa jadi ia bermaksud lit tanzih (ini adalah pemalingan dari asal yang memerlukan qorinah). Apabila kita menelaah ucapan para Imam dalam masalah ini, tidak dipungkiri ada yang memaksudkannya sebagai tanzih dan adapula yang memaksudkannya sebagai tahrim. Adapun nukilan dari Imam ath-Thohawi telah berlalu penjelasannya pada risalah bagian ketiga, yaitu yang lebih tepat kata karohah yang beliau maksudkan adalah lit tahrim. Demikianlah yang dijelaskan oleh Syaikh Ro`id Alu Thohir, Syaikh Abu Hisamuddin ath-Thorfawi, Syaikh Abu Abdillah Luqman al-Ajurri, Syaikh Abul Baro’ ‘Ali Ridho, dll hafizhahumullahu. Bahkan, Syaikhuna ‘Ali Hasan al-Halabi menukilkan riwayat ath-Thahawi, Ibnu Rusyd dan Syaikhul Islam, tanpa mengomentari kata karohah yang beliau nukil. Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa beliau ketika menukilkannya faham bahwa thullabul ilmi atau ahli ilmi yang membaca ulasannya memahami bahwa maksud karohah dalam nukilan tersebut maknanya adalah lit tahrim. Allohu a’lam.

 

 

Tanggapan 5 : Al-Jam’u Muqoddamun ‘alat Tarjih

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq :  Alasan jama’ dengan menggunakan kaedah al-qaulu muqaddamun ‘ala al-fi’lu serta al-hazhiru muqaddamun ‘ala al-mubihu adalah keliru. Kedua kaedah yang digunakan adalah kaedah tarjih bukan kaedah jama’. Silakan lihat di Syarhu Al-Kaukab Al-Munir (4/617).

Hanya dua pilihan, ganti kata jama’ dengan kata tarjih yang berarti sejak awal sudah berfikir adu unggul yang berarti hadits-hadits lain harus gugur, diabaikan, dan tidak diamalkan. Dan tentu ini bertentangan dengan apa yang ditetapi oleh salafus shalih bahwa selagi masih bisa diusahakan jama’ maka jangan ditarjih. Al-Imam Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (276) mengatakan: “Dan diantara syarat tarjih yang harus jelas terpenuhi adalah apabila sudah tidak dimungkinkan lagi dilakukan jama’ diantara dua hal yang kontradiksi tentunya dengan cara yang berterima. Apabila jama’ ini masih dimungkinkan maka inilah yang harus dilakukan dan tidak boleh sama sekali menerapkan tarjih.”

 

Jawab :

Tidak dipungkiri, memang secara asal al-Jam’u muqoddamun ‘alat Tarjih. Namun telah kita fahami pula bahwa tidak semua dalil yang diduga bertentangan maka bisa dijama’. Suatu hal yang telah ma’ruf –sebagaimana di dalam nukilan masalah ini pada risalah ke-3, bahwa para ulama terkadang berbeda di dalam memandang kondisi dimungkinkannya jama’.

Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 45) menjelaskan : “Anda dapatkan bahwa ada sebagian ulama mengkompromikan antara kedua dalil (yang kontradiktif) dengan begitu mudah dan terangnya. Anda temukan ada sebagian ulama tidak mampu mengkompromikannya, dan ada juga dapat anda temukan ulama lainnya mengkompromikan ­nushush (dalil-dalil) namun dengan cara yang memaksakan diri jauh (dari hakikatnya). Yang demikian ini adalah dikarenakan ilmu dan kefahaman yang dianugerahkan-Nya kepada seseorang (berbeda-beda tingkatnya, -pent.).”

Sebagai contohnya adalah berikut, kita tentu masih ingat penjelasan Imam Ibnu ‘Utsaimin seputar masalah tarjih (sebagaimana di dalam risalah ke-3), dimana beliau mencontohkan masalah pada bab tarjih ini adalah masalah “massu adz-dzakar” (menyentuh kemaluan). Ada dua hadits yang tampak saling kontradiktif di dalam masalah ini, yaitu : sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” (HR Abu Dawud (181), Turmudzi (82) dan Nasa’i (I/216) dari hadits Busroh) dan hadits ketika Nabi ditanya oleh seorang lelaki yang memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab : “Tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” (HR Ahmad dan selainnya).

Tidak asing bagi kita bahwa masalah menyentuh kemaluan ini apakah membatalkan wudhu’ atau tidak merupakan masalah khilafiyah yang mu’tabar. Para ulama di dalam masalah ini terbagi menjadi banyak pendapat,   diantaranya :

1.    Mereka yang menyatakan bahwa kedua riwayat di atas bisa dijama’. Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullahu diantara yang berpendapat bisanya kedua hadits di atas dijama’. Beliau berpendapat bahwa kedua hadits di atas sama-sama kuat dan masih mungkin untuk dilakukan jama’ agar tidak menelantarkan salah satu hadits. Beliau pernah ditanya dengan pertanyaan berikut : “Apakah menyentuh aurot itu membatalkan wudhu’?” Lantas beliau menjawab :

“Terjadi khilaf (perselisihan) yang masyhur antara ahli ilmu (ulama) di dalam masalah menyentuh aurot ini. Yang wajib adalah mengamalkan seluruh dalil-dalil ini keseluruhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : من مس ذكره فليتوضأ “Barangsiapa menyentuh aurotnya maka hendaknya ia berwudhu” dan beliau juga pernah ditanya tentang menyentuh aurot, lantas beliau menjawab : هل هو إلا بضعة منك “Aurotmu itu tidak lain sama dengan bagian tubuhmu yang lain”.

Syaikhul Islam dan jumhur ulama berpendapat bahwasanya apabila seseorang menyentuh aurotnya yang merupakan bagian dari tubuh manusia sebagaimana menyentuh tangan atau kakinya, maka ini merupakan menyentuh tanpa diiringi syahwat dan apabila dimaksudkan menyentuh bagian tersebut dengan sengaja maka dikatakan tidaklah ia melakukannya melainkan karena syahwat, maka jumhur ulama menyelaraskan seluruh dalil-dalil yang ada dan mengamalkan seluruhnya.

Mereka berpendapat : Menyentuh aurot dengan syahwat membatalkan wudhu’ dan menyentuhnya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu’, karena sabda Nabi ‘alaihi Sholatu wa SalamAurotmu itu tidak lain sama dengan bagian tubuhmu yang lain”, merupakan isyarat menyentuh yang tidak membatalkan apabila menyentuhnya sebagaimana menyentuh bagian tubuh lainnya [yaitu tanpa diiringi syahwat, pent.]. (dari Mi`ah Fatawa Lifadhilatisy Syaikh Masyhur, http://www.aqsasalafi.com, Markaz lit tahmil (Download Center), Ruknul Masya`ikh asy-Syaam)

2.    Ada juga yang menjama’, apabila menyentuh langsung tanpa suatu alas atau lapisan maka batal wudhu’nya, namun apabila tidak menyentuh langsung, misalnya dilapisi kain atau semisalnya, maka wudhu’nya tidak batal.

3.    Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’ dengan alasan hadits yang menyatakan kemaluan hanyalah bagian dari tubuh kalian telah mansukh.

4.    Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu’ dengan alasan hadits yang memerintahkan untuk wudhu’lah yang mansukh.

5.    Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’ dengan lebih merajihkan hadits perintah untuk wudhu’. Sebagaimana contoh yang disebutkan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam buku beliau Syarhul Ushul. Beliau merajihkannya dengan alasan : lebih berhati-hati, yang menshahihkannya lebih banyak, lebih banyak jalur periwayatannya dan naqil ‘anil ashli (berpindah dari asalnya).

Nah, dalam masalah ini para ulama sendiri telah berbeda pendapat, diantara yang menjama’, memansukh ataupun merajihkan. Hal ini semua karena pandangan dan analisa yang berbeda-beda antara ulama satu dengan lainnya.

Sebenarnya ada beberapa syarat yang juga perlu dipenuhi agar jama’ bisa ditegakkan dan diterapkan, diantaranya :

1.    Jama’ tidak bisa diterapkan apabila salah satu dalilnya tidak tsabat atau dha’if sanadnya.

2.    Jama’ bisa dilakukan apabila kedua dalil dianggap sama-sama kuat baik sanad maupun dilalah matannya.

3.    Jama’ tidak boleh dilakukan dengan penakwilan yang jauh dari hakikatnya, dengan takalluf dan ta’assuf.

4.    Jama’ bisa dilakukan apabila memungkinkan mengamalkan kedua dalil yang dianggap kontradiktif dan tidak menelantarkan salah satu dari keduanya, karena inilah maksud dilakukannya jama’, yaitu i’malud dalilaian wa tarku min ihmali ahadihim (mengamalkan semua dalil dan menghindarkan ditelantarkan salah satu dari kedua dalil tersebut,)

Demikianlah diantara syarat-syarat untuk bisa menerapkan jama’, apabila tidak dapat maka tahapan berikutnya-lah yang ditempuh.

Imam al-Albani rahimahullahu dan yang mendukung pendapat beliau, berpandangan bahwa hadits Alu Busr tidak dapat dikompromikan (jama’) dengan hadits-hadits yang dihadapkan padanya dengan beberapa alasan. Diantaranya adalah sebagai berikut :

 

Pertama : Hadits pengkontradiksi terjelas yang dihadapkan kepada hadits Alu Busr, sebenarnya adalah hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah, karena kedua hadits ini membicarakan puasa hari Sabtu secara langsung. Adapun hadits Juwiriyah, Abu Hurairoh dan selainnya, maka bukanlah hadits yang menjelaskan secara langsung puasa hari Sabtu. Padahal, sebagaimana telah disebutkan pada risalah sebelumnya, hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah ini adalah hadits yang tidak cukup kuat untuk dijadikan pengkontradiksi, karena sanadnya lemah dan bermasalah. Sehingga jama’ dengan kedua hadits ini tidak dapat diterapkan. Berbeda dengan para ulama yang memperbolehkan puasa sunnah hari Sabtu, mereka menjama’ dan mereka menganggap kedua hadits ini shahih, padahal kenyataannya tidaklah demikian.

 

Kedua : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan hadits-hadits nafilah (semisal hadits puasa Arafah, Asyura’, Dawud, Ayyamul Baidh, dll) atau hadits Juwiriyah yang membicarakan larangan puasa hari Jum’at, yang tidak secara tegas menyebutkan puasa hari Sabtu, namun pemahaman yang diistinbathkan dari mafhum-nya, maka tidak cukup kuat untuk dijadikan pengkontradiksi. Hal ini serupa dengan kejadian seorang isteri yang berpuasa nafilah tanpa izin suaminya, atau seorang yang berpuasa sunnah pada pertengahan Sya’ban yang bukan kebiasaannya, atau seorang yang berpuasa sunnah (Senin Kamis atau Dawud) pada hari tasyriq, kenapa perkara ini tidak dikontradiksikan dan dijama’ pula? Bukankah kedua keadaan ini sama dalam hal larangan dan ketetapan?!

Larangannya yaitu sama-sama warid hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu (kecuali yang wajib) dengan adanya larangan wanita berpuasa (sunnah) tanpa izin suaminya, atau larangan berpuasa (yang bukan kebiasaannya) pada pertengahan Sya’ban, atau larangan puasa pada hari tasyriq. Ketetapannya yaitu puasa nafilah itu besar pahalanya dan sunnah Nabi yang mulia yang dianjurkan untuk diamalkan.

Lantas mengapa hanya larangan puasa hari Sabtu saja yang dikhususkan di dalam jama’ dengan hadits-hadits yang dianggap kontradiksi, sedangkan larangan yang lainnya tidak? Padahal larangan dan ketetapannya sama? Kecuali, apabila anda menguatkan hadits Aisyah dan Ummu Salamah dan meyakini akan ketsabatannya, maka tentu saja jama’ hadits Alu Busr dengan kedua hadits ini dapat dilakukan.

 

Ketiga : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan hadits-hadits nafilah merupakan ‘ainul munaqodhoh (pertentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u, sebagaimana diutarakan oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu : “Barangsiapa yang mengkontradiksikan hadits larangan puasa sunnah pada hari Sabtu dengan hadits yang siyaq-nya menunjukkan nafilah atau istihbab (sunnah) saja, maka ini adalah ‘ainul munaqodhoh (penentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u (kompromi) dan inipun sangat jauh (dari metode yang benar).” [Zahru Roudhi hal. 70]

Syaikh Abul Harits benar, karena siyaq pertentangan yang tidak sama kuat tidaklah menunjukkan adanya kontradiksi di sana, sehingga perlu melakukan jam’u di dalamnya.

 

Keempat : Jam’u yang memalingkan makna hadits Alu Busr kepada makna larangan apabila dilakukan secara bersendirian, maka ini berarti membatalkan istitna’ dalam hadits yang secara tegas hanya membatasi pada puasa yang diwajibkan saja. Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa sabda Nabi yang jawami’ul kalim itu tidaklah berfaidah atau sia-sia. Dan inilah yang Imam al-Albani berusaha untuk menghindarkannya, sebagaimana argumentasi beliau di dalam Hiwar al-Imam al-Albani ma’a al-‘Allamah al-‘Abbad haula Shiyami Yaumis Sabti. Inilah yang mencegah untuk dilakukannya jam’u.

 

Kelima : Tidak semua pendapat yang menguatkan tahrim berpuasa sunnah pada hari Sabtu berpegang pada kaidah tarjih, karena yang lebih awal daripada itu adalah, membawa yang ‘am kepada yang khash, dan menurut Syaikh Abul Harits, hadits Alu Busr ini tegas menunjukkan kekhususan dengan ta’yin larangan hari Sabtu, sedangkan hadits Juwairiyah yang dihadapkan padanya tidak demikian. Namun bersifat ‘am dan mukhoyar antara pengiringan dengan hari Kamis atau Sabtu, dan ta’yinnya adalah Jum’at. Oleh karena itu : yang khusus menetapkan yang umum. Allohu a’lam.

 

Keenam : Tidak mutlak bahwa tarjih di dalam hal ini otomatis menelantarkan hadits-hadits nafilah lainnya atau hadits Juwairiyah. Bahkan hadits-hadits tersebut bisa diamalkan kedua-duanya sebagiannya.

Sebagai contoh, apabila hari Asyura’ atau ‘Arofah jatuh pada hari Sabtu, maka didahulukan larangan puasa sunnah hari Sabtu. Dalam hal ini ada dua faidah yang didapatkan, yaitu kita insya Alloh akan mendapatkan pahala atas ketaatan kita terhadap perintah Rasulullah yang melarang puasa sunnah pada hari Sabtu dan kita juga insya Alloh akan mendapatkan pahala atas niat kita untuk berpuasa pada hari ‘Arofah atau ‘Asyura’ tersebut. Demikianlah jam’u yang dilakukan oleh ulama yang menguatkan larangan.

Contoh berikutnya, apabila seseorang biasa melakukan puasa Dawud, maka ia bisa melakukan puasanya selain pada hari Sabtu, maka ia tetap dapat melakukan puasanya dan mendapatkan pahala atasnya –insya Alloh- dan ia juga akan mendapatkan pahala atas kehati-hatiannya terjatuh kepada larangan Nabi berpuasa pada hari Sabtu. Allohu a’lam.

Contoh lagi, pendapat ini juga tidak menelantarkan hadits Juwairiyah seluruhnya, karena seseorang yang hendak berpuasa pada hari Jum’at, maka ia dapat mengiringinya dengan hari Kamis, sedangkan memilih antara hari Sabtu dan Kamis adalah suatu hal yang mukhoyar (opsional), sedangkan tentu saja yang sharih larangannya lebih didahulukan daripada kebolehan yang bersifat opsional. Allohu a’lam.

Dengan demikian, diharapkan isykalat kita bisa sedikit terjawab walaupun tidak sempurna dan semuanya bisa dijawab. Insya Alloh kita lanjutkan lagi pada tanggapan berikutnya yang akan lebih menyempurnakan pembahasan.

 

Tanggapan   6 : Qiyas Dengan Tasmiyah Ketika Wudhu’

Al-Akh Al-Ustadz Abu Ishaq berkata :

“Pernah mendengar hadits:

لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه

“Tidak ada sholat jika tanpa wudhu, dan tidak ada wudhu jika tanpa mengucapkan bismillah”?

Ditinjau dari sisi sanadnya, hadits ini juga ‘penuh masalah’ seperti halnya hadits Abdullah bin Busr yang ‘penuh masalah.’

Analogi dengan kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada zhahir hadits ini bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu? Adakah ulama yang berpendapat demikian?

Bukankah mereka yang menerima keabsahan hadits ini tidak ada yang semata bersandar pada zhahir lafazh yang begitu tegas dan lugasnya selugas redaksi hadits Ibnu Busr, bahkan jauh lebih lugas dan berpendapat bahwa basmalah merupakan syarat sahanya wudhu seperti halnya wudhu merupakan syarat shanya sholat? Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini hanya mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja? Bukankah mereka yang berpendapat haramnya puasa hari sabtu dengan berpegang pada zhahir hadits pun hanya mengatakan bahwa basmalah itu wajib –dan ini juga tidak tepat-, serta tidak menghukumi sebagai syarat sah wudhu’? (periksa Tamamul Minnah hlm. 89).

Akankah kita gunakan semua argument pihak yang mengatakan haram puasa sunnah hari sabtu pada masalah pengucapan bismillah sebelum wudhu’?! Zhahir hadits ini mengharuskan posisi basmalah terhadap wudhu sama dengan posisi wudhu terhadap sholat, dengan dalil adanya wawu yang merupakan dilalah iqtiran. Falyatafadhdhol untuk mendatangkan qaul ulama mana di mana yang mengatakan bahwa basmalah merupakat syarat shah wudhu. “

 

Jawab :

Qiyas yang dihadapkan oleh al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq dalam hal ini –insya Alloh- akan menjadi hujjah lana (yang memperkuat argumen kami) dan hujjah ‘alahi  (yang melemahkan pendapat beliau). Saya katakan, dalam masalah tasmiyah (mengucapkan basmalah) ketika akan wudhu’ ini, para ulama salaf dan kholaf berbeda pendapat di dalamnya. Untuk itu mari kita telaah pandangan para ulama tentangnya. Hal ini sekaligus dalil yang akan mematahkan klaim al-Akh Abu Ishaq yang mengatakan “Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini hanya mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja”, padahal apabila kita menelaah uraian para ulama, maka akan jelaslah bahwa para ulama sedari dulu ada yang menyatakan wajibnya tasmiyah ketika akan wudhu’ bahkan menganggap wudhu’ tanpa tasmiyah tidak sah. Insya Alloh akan saya turunkan sebagian penjelasannya.

Dikarenakan al-Akh Abu Ishaq menyarankan untuk memeriksa Tamamul Minnah, maka kita telaah dulu Tamamul Minnah  dan Fiqhus Sunnah lalu kita lanjutkan dengan kitab-kitab fikih para ulama lainnya di dalam masalah ini.

Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu memasukkan tasmiyah sebagai sunnah-sunnah di dalam wudhu’, beliau berkata di dalam Fiqhus Sunnah, bab al-Wudhu’, pada pembahasan Sunanul Wudhu’ (hal. 34) sebagai berikut :

Sunanul Wudhu’ yaitu yang telah tsabat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari ucapan dan perkataan beliau yang tidak harus (dikerjakan) dan tidak diingkari orang yang meninggalkannya. Penjelasannya adalah sebagai berikut : (1) Tasmiyah (mengucap basmalah) pada permulaan wudhu’. Hadits-hadits yang datang di dalam tasmiyah ketika wudhu’ adalah hadits-hadits yang dha’if, namun penghimpunan (banyaknya hadits tentang hal ini) menambah kekuatannya yang menunjukkan bahwa hal ini memiliki asal...” [lihat Fiqhus Sunnah, hal. 34].

Imam al-Albani rahimahullahu di dalam Tamamul Minnah mengomentari sebagai berikut :

“Aku (Syaikh al-Albani) berkata : Lebih kuat lagi adalah hadits yang datang dari Abu Hurairoh secara marfu’ dengan lafazh لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه (yang artinya) “Tidak  ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu’ dan tidak ada wudhu’ bagi orang yang belum menyebut nama Alloh.” (Shohih Sunan Abi Dawud no. 90). Apabila penulis (yaitu Syaikh Sayyid Sabiq, pent.) mengakui bahwa hadits ini qowiy (kuat), maka seharusnya beliau berpendapat dengan apa yang ditunjukkan oleh zhahir hadits, yaitu wajibnya tasmiyah, sedangkan tidak ada dalil yang dapat menetapkan untuk keluar dari zhahir-nya dimana perintah di dalamnya dibawa kepada istihbab (sunnah) saja. Telah tsabat akan kewajibannya dan ini merupakan madzhab Zhahiriyah, Ishaq dan salah satu riwayat dari Ahmad. Shiddiq Khan dan Syaukani lebih memilih pendapat ini (yang mewajibkan tasmiyah, pent.) dan pendapat inilah yang benar insya Alloh Ta’ala. Rujuklah Sailul Jarar (I/766-77) [karya Imam Syaukani, pent.]” (Lihat Tamamul Minnah, hal. 89).

Bagi yang memperhatikan ucapan Imam al-Albani rahimahullahu di atas, jelaslah bahwa telah ada ulama dari salaf dan kholaf yang berpendapat akan wajibnya tasmiyah ketika wudhu’. Dan ini adalah konsekuensi dari zhahir hadits Abu Hurairoh di atas, dan barangsiapa yang menganggapnya shahih, maka wajib mengamalkannya dan memahami sebagaimana zhahirnya, kecuali apabila ada qorinah yang memalingkannya sedangkan qorinah ini tidak ada.

Sebenarnya satu nukilan dari Imam al-Albani ini telah cukup untuk mematahkan klaim al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq hafizhahullahu. Dan pernyataan beliau pada akhir kalimatnya sangat benar, yaitu “Zhahir hadits ini mengharuskan posisi basmalah terhadap wudhu sama dengan posisi wudhu terhadap sholat, dengan dalil adanya wawu yang merupakan dilalah iqtiran.” Dengan demikian, barangsiapa yang tidak bertasmiyah ketika wudhu’ maka wudhu’nya tidak sah. Demikian ini pembahasannya lebih jauh...

Al-‘Allamah Alu Bassam rahimahullahu berkata di dalam Taudhihul Ahkam ketika mensyarah hadits Abu Hurairoh yang terdapat di dalam Bulughul Marom (hadits no. 18 dalam bab Wudhu’ ini) :

“Derajat hadits ini adalah hadits dha’if namun ada jalan-jalan lainnya yang menguatkannya. Berkata al-Hafizh di dalam at-Talkhish : “Ahmad berkata : “tidak ada di dalamnya syariat yang tetap dan semua yang diriwayatkan di dalam bab ini (tasmiyah) tidaklah kuat.” Al-‘Uqoili berkata : “Sanad-sanad hadits di dalam bab ini di dalamnya terdapat kelemahan (layyin)”. Ahmad berkata ketika ditanya tentang tasmiyah : “Aku tidak tahu di dalam hal ini ada hadits yang shahih.” Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata : “Sesungguhnya hadits ini tidak shahih.” Kemudian Ibnu Hajar berkata : “Yang tampak, pengumpulan hadits-haditsnya dapat menguatkannya dan menunjukkan bahwa hal ini ada asalnya.” Asy-Syaukani berkata : “tidak ragu lagi, bahwa banyaknya jalan-jalan periwayatan hadits ini dapat menjadikannya untuk berhujjah, dan telah menghasankannya Ibnu Sholah dan Ibnu Katsir.” (Syaikh Alu Bassam berkata) Dan diantara yang menshahihkan hadits ini adalah : Al-Mundziri, Ibnul Qoyyim, Ash-Shon’ani, Syaukani dan Ahmad Syakir.” (lihat Taudhihul Ahkam hal. 227)

Kemudian Syaikh Alu Bassam rahimahullahu menjelaskan beberapa faidah yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut :

  1. Wajibnya mengucapkan bismillah di permulaan wudhu’.
  2. Zhahir hadits ini menafikan sahnya wudhu’ bagi yang tidak mengucapkan basmalah.
  3. Hadits ini dengan banyaknya jalannya maka shalih untuk dijadikan hujjah, oleh karena itu para fuqoha’ dari madzhab kami mewajibkan tasmiyah ketika wudhu’ apaila ia ingat dan tidak wajib (mengulang) apabila ia lupa.

(Lihat Taudhihul Ahkam hal 228).

Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani adalah diantara para ulama yang tegas-tegas menyebutkan akan wajibnya tasmiyah, beliau berkata di dalam as-Daroriy al-Mudhiyyah Syarh ad-Durorul Bahiyyah (matan dan syarh oleh Imam Syaukani), Bab Ahkamil Wudhu’ (hal. 40-42) :

Matannya berbunyi :

يجب على كل مكلف أن يسمي إذا ذكر ويتمضمض ويستنشق...

“Wajib atas setiap mukallaf (ketika berwudhu’, pent.) untuk bertasmiyah apabila ia ingat, berkumur dan beristinsyaq…”

Di dalam mensyarh ini, Imam asy-Syaukani rahimahullahu berkata :

“Aku berkata: adapun wajibnya tasmiyah, maka sisi (pendalilannya) adalah hadits yang datang dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda : “Tidak  ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu’ dan tidak ada wudhu’ bagi orang yang belum menyebut nama Alloh”, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Turmudzi di dalam al-‘Ilal, Baihaqi, Ibnu Sakkan dan al-Hakim, dan tidak ada di dalam sanadnya yang dapat menjatuhkannya dari tingkatan i’tibar (diterima), hadits ini juga punya jalan-jalan lainnya dari hadits Abu Hurairoh yang dikeluarkan Daruquthni dan Baihaqi, dan dikeluarkan pula yang serupa oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Sa’id bin Zaid dan dari hadits Abu Sa’id. Yang lainnya mengeluarkan yang serupa dari hadits Aisyah, Sahl bin Sa’d, Abu Sabroh, ‘Ali dan Anas.

Tidak disangsikan dan diragukan lagi bahwa hadits ini dapat terangkat sehingga menjadi dapat berhujjah dengannya, bahkan dengan hadits pertama saja sudah cukup untuk dijadikan hujjah karena derajatnya yang hasan, lantas bagaimana lagi jika banyak hadits-hadits lainnya yang warid dalam makna yang sama? Dengan demikian tidaklah perlu lagi memperpanjang takhrijnya dan pendapat tentangnya telah ma’ruf. Hadits ini telah menerangkan dengan gamblang penafian wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah, dan dengan demikian hadits ini membuahkan faidah syarat yang mengharuskan ketiadaannya (tasmiyah) meniadakan (wudhu’) dikarenakan sifatnya yang wajib, maka sesungguhnya inilah yang paling sedikit dapat dipetik faidahnya dari hadits ini.

Adapun mentaqyid (membatasi) wajibnya tasmiyah hanya pada saat ingat adalah implikasi dari jama’ hadits ini dengan hadits “barangsiapa yang berwudhu’ dan menyebut basmalah maka ia sebagai pensuci seluruh tubuhnya, dan barangsiapa berwudhu’ dan tidak menyebut basmalah maka ia sebagai pensuci anggota tubuh yang dibasuh dengan wudhu’ saja.” Dikeluarkan oleh Daruquthni dan Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, namun di dalam sanadnya ada perawi yang matruk, dikeluarkan oleh Baihaqi dari hadits Ibnu Mas’ud dan di dalamnya juga ada perawi yang matruk, Meriwayatkan pula Daruquthni dan Baihaqi dari hadits Abu Hurairoh namun di dalamnya ada dua kelemahan... “ (Lihat as-Daroriy al-Mudhiyyah hal. 40-42).

Di dalam Subulus Salam Syarh Bulughul Marom (jilid 1, Babul Wudhu’, hadits no.18-19), Al-Imam Muhammad Isma’il al-Amir ash-Shon’ani rahimahullahu setelah menjelaskan status hadits tasmiyah dari nukilan para ulama beserta jalan-jalan hadits lainnya, beliau berkata : “Di dalam banyaknya ucapan-ucapan (pendapat dalam masalah ini), hanya saja riwayat-riwayat ini saling menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya sehingga tetap menjadikannya kuat, oleh karena itulah Ibnu Abi Syaibah mengatakan : “telah tsabat bagi kami bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam benar-benar menyabdakannya.” Apabila anda telah mengetahui hal ini, maka hadits ini menunjukkan akan disyariatkannya tasmiyah ketika berwudhu’. Zhahir sabda Nabi : “Laa Wudhu’a” berarti tidak sah dan (dianggap) tidak berwudhu’ tanpa (ucapan) basmalah karena asal di dalam nafi (peniadaan) adalah hakikatnya.” (Lihat Subulus Salam hal 52).

Syaikh Fahd bin ‘Abdurrahman asy-Syuwayib dalam Shifatu Wudhu’in Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa Salam (hal. 17-18) di dalam mensifatkan sifat wudhu’ Nabi menyebutkan tasmiyah setelah niat, beliau berkata : “Dari Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : Tidak ada wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah no 399, Turmudzi no 26, Abu Dawud no. 101 dan selainnya. Berkata Syaikh al-Albani : “Hadits Shahih” di dalam Shahihul Jami’ (no. 7444). Imam Ahmad berpendapat di dalam salah satu dari dua pendapatnya bahwasanya tasmiyah ini wajib di dalam segala hal, baik wudhu’, mandi dan tayamum. Dan ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Abu Bakr dan Madzhab Hasan serta Ishaq. Hal ini disebutkan oleh penulis al-Mughni (I/84) dan menyebutkan dalilnya hadits yang terdahulu. Ibnu Qudamah berkata : “Apabila kita berpendapat dengan wajibnya tasmiyah maka meninggalkannya secara sengaja menyebabkan thoharoh-nya tidak sah, karena meninggalkan yang wajib di dalam thoharoh serupa dengan meninggalkan niat. Namun apabila ia meninggalkannya karena lupa maka thoharohnya tetap sah (sebagaimana di dalam referensi yang telah lewat) dan inilah yang kami rajih-kan. Adapun Ibnu Taimiyah rahimahullahu, beliau berpendapat akan kewajibannya apabila haditsnya itu shahih sebagaimana yang terdapat di dalam kitabnya al-Iman, dan hadits ini adalah hadits yang shahih maka menjadilah pendapat beliau rahimahullahu mewajibkannya.

Di dalam Shahihain dari Anas Radhiyallahu ‘anhu berkara : Ada sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencari air wudhu’ maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Apakah ada salah seorang diantara kalian mempunyai air?” lalu beliau meletakkan tangannya di dalam air sembari bersabda : “Berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah” Lantas aku melihat air keluar memancar dari sela-sela jari jemari beliau sehingga mereka semua orang berwudhu sampai orang terakhir diantara mereka. Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Anas : “Berapa orang yang kamu lihat (berwudhu’)?”, Ia menjawab : “sekitar 70 orang.” Dikeluarkan oleh Bukhari (I/236), Muslim (VIII/411) dan Nasa’i (no. 78).

Adapun yang kami berpendapat dengannya di dalam hadits kedua ini adalah sabda Nabi : “beliau bersabda : berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah”. Adapun siapa yang berpendapat bahwa tasmiyah hukumnya hanya sunnah mu’akkadah saja, maka mereka telah menyandarkan kepada pendapat bahwa hadits yang warid di dalam masalah ini dha’if (yaitu hadits, tidak ada wudhu’...) sedangkan (realitanya) hadits ini shahih sebagaimana telah kami jelaskan, maka mereka ini tidak punya hujjah dan kamilah yang memiliki hujjah. Wallohu a’lam. Maka hukumnya adalah wajib sebagaimana yang kami jelaskan, adapun orang yang lupa melakukannya maka hendaklah ia bertasmiyah ketika ia ingat.” (Lihat Shifatu Wudhu’in Nabiy, hal. 17-18)

Bahkan, Syaikh ‘Abdul Azhim Badawi hafizhahullahu di dalam Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah, Kitab ath-Thoharoh, bab al-Wudhu’ (hal. 32) memasukkan tasmiyah sebagai syarat sahnya wudhu’.

Al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu di dalam Mulakhosh al-Fiqhiyyah, Kitab ath-Thoharoh, bab Ahkamul Wudhu’ (hal. 43) mengatakan : “Para ulama telah berbeda pendapat di dalam hukum tasmiyah pada permulaan wudhu’, apakah ia hukumnya sunnah ataukah wajib? Hal ini menurut mayoritas adalah suatu hal yang disyariatkan dan tidak sepatutnya meninggalkannya, maka hendaklah mengucapkan bismillah dan apabila ditambah ar-Rahman ar-Rahim maka tidaklah mengapa...”

Dari paparan para ulama di atas, telah jelas bahwa masalah tasmiyah ini adalah adalah suatu khilaf yang mu’tabar semenjak salaf dan kholaf. Bagi mereka yang menyatakan akan ketidakwajibannya, maka mereka berpandangan bahwa hadits tasmiyah ini dha’if dan tidak kuat dijadikan hujjah, sedangkan bagi mereka yang menshahihkan hadits ini, maka haruslah mengambil zhahir hadits ini, bahwa tasmiyah adalah wajib hukumnya, dan meninggalkan suatu yang wajib di dalam wudhu’ maka wudhu’-nya tidak sah.

Dengan demikian, maka masalah tasmiyah yang dicontohkan oleh al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq ini merupakan hujjah bagi kami, bahwa para ulama yang menshahihkan hadits ini maka haruslah mengambil zhahir lafazh hadits ini, kecuali apabila ada qorinah yang memalingkan dari zhahirnya sedangkan qorinah itu tidak ada.

Oleh karena itu, pertanyaan Abu Ishaq yang mengatakan “Analogi dengan kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada zhahir hadits ini bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu? Adakah ulama yang berpendapat demikian?” Maka dengan mudah dapat dijawab –sebagaimana paparan di atas, bahwa iya! Kita pegang zhahir hadits bahwa apabila tidak membaca bismillah maka tidak sah wudhu’nya. Dan ulama yang berpendapat demikian tidaklah sedikit, baik dari kalangan salaf maupun kholaf. Apabila Abu Ishaq menganalogkan hal ini dengan masalah puasa sunnah hari Sabtu yang tengah kita diskusikan di sini, maka ini menjadi hujjah yang memperkuat argumen kami, alhamdulillah.

 

Tanggapan 7 : Tidak Memalingkan Yang Zhahir dengan Mayoritas Ucapan Ulama

Al-Akh al-Habib memberikan catatan terhadap kaidah yang saya nukil dari buku Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits. Catatan beliau sungguh sangat bermanfaat dan benar sekali, dan catatan yang beliau berikan merupakan tambahan sekaligus koreksi buat saya. Saya sangat bersepakat terhadap al-Akh Abu Ishaq bahwa “Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-Salafus Shalih”, dan ini adalah perkara yang niscaya.

Adapun pendapat yang saya pegang –yaitu merajihkan tahrim dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu- sebagaimana telah berlalu penjelasannya, tidaklah menyelisihi kaidah salaf dan manhaj salaf dalam hal ini. Bahkan insya Alloh selaras dengan kaidah dan manhaj mereka, sebagaimana sebagiannya telah saya turunkan penjelasannya. Ketiadaan penyebutan nama-nama salaf bukanlah artinya tidak ada salafnya atau pendapat yang kami pegang ini adalah pendapat baru yang tidak dikenal kecuali setelah abad ke-20 ini.

Tidak dipungkiri, kaidah-kaidah yang saya nukil tersebut tidaklah mutlak. Kaidah tersebut saya nukil di sini karena berkorelasi dengan pembahasan dan tentunya tidak dapat dibawa kepada konteks yang tidak tepat. Dalam pembahasan ini, tampak pada saya bahwa zhahir hadits Alu Busr adalah tegas dan kuat, tidak dapat dipalingkan melainkan harus dengan qorinah yang lebih kuat, sedangkan qorinah yang digunakan tidak cukup kuat untuk memalingkan zhahir-nya. Kecuali apabila al-Akh Abu Ishaq menguatkan hadits Ummu Salamah dan Aisyah yang notabene merupakan pengkontradiksi yang kuat dalam hal ini, maka bisa dimungkinkan dilakukannya pemalingan makna dari zhahir sebagai implikasi dari jama’.

Namun, apabila al-Akh Abu Ishaq berpegang dengan pendapat bahwa hadits Ummu Salamah dan Aisyah ini tidak shahih dan tidak kuat untuk dijadikan dalil, maka mau tidak mau untuk memalingkan hadits Alu Busr dengan hadits Juwairiyah dan hadits puasa nafilah lainnya tidak cukup kuat. Oleh karena itulah Abu Ishaq harus menurunkan pembahasan masalah hadits-hadits yang dikontradiksikan ini dulu, baru menginjak ke masalah jama’ atau tarjih di dalamnya. Apabila Abu Ishaq menguatkan penshahihan hadits Aisyah dan Ummu Salamah, maka ta’qib terhadap pendhaifan Syaikh ‘Ali dan Ra’id Alu Thahir sangatlah diperlukan…

Adapun masalah puasa kafarat dan nadzar apakah termasuk bagian dari puasa fima ufturidha ‘alaikum, maka ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun, yang menjadi catatan di sini, para ulama yang memasukkan puasa nadzar, kaffarah dan qodho’ ke dalam fima ufturidha ‘alaikum tidaklah keluar dari zhahir. Karena, mereka yang memasukkan jenis dan macam puasa ini ke dalamnya memahami bahwa macam puasa tersebut termasuk bagian dari puasa faridhah. Maka, tentu saja tidak menyelisihi lafazh fima ufturidha ‘alaikum tersebut. Oleh karena itulah tidak heran apabila kita melihat pendapat Imam al-Albani yang menyatakan bahwa, barangsiapa berpuasa sunnah pada hari Jum’at dan ia lupa atau lalai belum berpuasa pada hari Kamis, maka ia wajib berpuasa pada hari Sabtu. Karena menurut Imam al-Albani rahimahullah, terlarang hukumnya berpuasa sunnah pada hari Jum’at secara bersendirian, apabila ia lupa berpuasa pada hari Kamis yang merupakan mukhoyyar (pilihan), maka ia harus berpuasa pada hari Sabtu dan puasanya pada hari Sabtu (sebagai pengiring hari Jum’at) menjadi wajib statusnya sehingga masuk ke dalam fima ufturidha ‘alaikum.

Al-Muhim (yang penting) di sini adalah, selama bisa difahami dengan dalil yang kuat bahwa puasa tersebut adalah puasa wajib, maka masuk ke dalam lafazh fima ufturidha ‘alaikum. Allohu A’lam. Adapun hadits yang dinukil oleh al-Akh Abu Ishaq tidaklah membatasi hanya puasa Ramadhan saja yang merupakan puasa wajib, namun perlulah kiranya menelaah dalil-dalil lainnya dalam masalah ini dan perlunya pembahasan tersendiri.

 

 

Tanggapan 8 : Mengamalkan Dalil Walaupun Salaf Shalih Menyelisihinya

Al-Akh Al-Karim Abu Ishaq berkata :

Ucapan beliau ini didasari kaedah:

يجب العمل بالدليل ولو خالفه من خالفه من السلف الصالح رضوان الله عليهم

“Wajib mengamalkan dalil walaupun kaum salafus shalih menyelisihinya.”

Allahumma! Kaedah ini tentu perlu pencermatan sempurna agar tidak salah dalam menerapkan dan melangkah. Kaedah ini tidak bisa diterapkan seperti zhahirnya. Jika demikian, maka benarlah mereka yang menolak mengikuti manhaj salaf dengan alasan yang penting adalah mengamalkan dalil dan ucapan salaf bukanlah hujjah.

Salaf yang mana atau dalam kondisi bagaimana yang menyelisihi dan dianggap bukan hujjah? Apakah berlaku secara mutlak ataukah tidak? Perlu perincian tentunya sebelum kita menggunakan kaedah ini.

Bukankah kita senantiasa mendengung-dengungkan Al-Kitab was Sunnah bi Fahmi Salafil Ummah!? Maka bagaimana implementasi kaedah ini dengan apa yang kita suarakan secara lantang itu? Kembali kepada kaedah awal yang saya bawakan di atas yang diambil dari buku yang sama dan bab yang sama,

يجب فهم الدليل على ما فهمه السلف الصالح

“Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-Salafus Shalih.”

Dan bandingkan juga dengan sederet kaedah lain di bab Qaulush Shahabi, masih di buku yang sama. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.

 

Jawab :

Apa yang dipaparkan oleh Abu Ishaq adalah benar adanya, bahwa tidak mutlak kaidah ini bisa digunakan dalam segala kondisi. Saya menukil kaidah di atas tentu saja di dalam pembahasan yang sedang kita diskusikan ini maka penempatannya juga harus di dalam masalah yang kita diskusikan ini. Bukankah sering kita dengar ucapan :

لكلّ مقال مقام و لكلّ مقام مقال

Setiap ucapan itu ada tempatnya (konteksnya) dan setiap tempat (pembahasan) itu ada ucapannya (tersendiri).

Demikian pula dengan kaidah yang saya gunakan, yaitu “Wajib mengamalkan dalil walaupun salaf shalih menyelisihinya”. Kaidah ini tentu saja tidak berbenturan dengan kaidah “wajib memahami dalil dengan apa yang difahami oleh salaf shalih.” Karena kedua konteks ini berbeda. Dalam hal ini, kaidah pertama selaras dengan mendahulukan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketimbang lainnya, sedangkan kaidah kedua wajibnya mendahulukan pemahaman salaf shalih dibandingkan pemahaman selainnya. Dan kaidah ini sangat butuh perincian dan tidak mutlak sebagaimana adanya. Saya setuju dengan al-Akh Abu Ishaq bahwa perincian-perincian di dalam masalah ini sangatlah penting. Dikarenakan kaidah di atas tidak saya turunkan dengan perinciannya secara lengkap, maka bisa jadi pemahaman kaidah di atas akan bisa diselewengkan.

Telah berlalu di dalam risalah sebelumnya, nukilan dari al-Imam Ibnul Qoyyim di dalam I’lamul Muwaqqi’in akan wajibnya mengamalkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam walaupun tidak ada imam yang mengamalkannya. Bahkan hal ini merupakan manhajnya para sahabat dan tabi’in ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu juga berkata di dalam ash-Showa’iqul Mursalah (III/1063) : “Dahulu ’Abdullah bin ‘Abbas berhujjah di dalam masalah haji tamattu’ dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan beliau perintahkan para sahabatnya untuk melakukannya. Para sahabat beliau berkata kepadanya : Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar melakukan haji secara bersendirian dan tidak melakukan tamattu’, maka tatkala jumlah mereka semakin banyak Ibnu ‘Abbas berkata : “Nyaris saja turun bebatuan dari atas langit menimpa kalian, aku berkata kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, kalian malah berkata Abu Bakr dan ‘Umar berkata…” dan yang semisal pula adalah ‘Abdullah bin ‘Umar ketika haji tamattu’ beliau memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya, namun sahabatnya berkata : “Sesungguhnya bapakmu (‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu) melarangnya!” Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Aku tanya, Rasulullah kah yang lebih berhak kalian tiru ataukah ‘Umar?”

Dan contoh dalam hal ini sangatlah banyak. Hal ini menunjukkan bahwa ucapan Rasulullah haruslah lebih didahulukan daripada siapapun setinggi apapun derajatnya. Karena hujjah itu berada di lisan Rasulullah bukan di lisan orang-orang selain beliau. Hal ini bukanlah artinya kita memahami bahwa, ucapan sahabat bukanlah hujjah sama sekali. Tidak! Sekali-kali bukan demikian maksudnya! Ucapan sahabat dapat menjadi hujjah, berikut ini adalah penjelasan singkatnya :

1.    Ucapan sahabat yang tidak ada nash-nya (dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) –walaupun tidak masyhur- dianggap sebagai hujjah apabila tidak ada sahabat lainnya yang menyelisihinya.

2.    Ucapan sahabat apabila masyhur tersebar luas dan tidak ada seorang sahabatpun yang menyelisinya maka dianggap sebagai ijma’ dan hujjah.

3.    Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah yang tidak ada asal di dalamnya, maka tidaklah dikedepankan ucapan sebagian dari sebagian lainnya.

4.    Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah kepada dua pendapat, maka pendapat yang di dalamnya ada salah seorang dari Khulafa`ur Rasyidin adalah lebih rajih dibandingkan selainnya.

5.    Para sahabat lebih mengetahui tentang suatu riwayat dibandingkan selainnya.

6.    Apabila seorang sahabat menyelisihi apa yang ia riwayatkan, maka yang dianggap (dijadikan dalil) adalah apa yang ia riwayatkan bukan yang ia fahami.

(Lihat pembahasan ini secara detailnya di Ushulul Fiqhi ‘ala Manhaj Ahlil Hadits bab Qoulu ash-Shohabiy).

 

Apabila ucapan para sahabat saja memiliki persyaratan tertentu untuk bisa dijadikan dalil, terlebih lagi ucapan selain sahabat. Namun, bagaimanapun tidak diingkari bahwa para salaf shalih adalah mereka yang lebih ‘alim tentang suatu dalil, pendapat mereka lebih a’lam, aslam dan ahkam dibandingkan selainnya. Namun, hal ini tidaklah seratus persen demikian, karena mereka juga sama dengan manusia lainnya, terkadang salah dan terkadang benar, walaupun kesalahan mereka jauh lebih sedikit dibandingkan lainnya.

Yang harus digarisbawahi di sini adalah, pembahasan kita di sini bukanlah berbicara tentang ijma’us salaf yang tidak syak lagi merupakan hujjah. Namun yang kita bicarakan di sini adalah pendapat orang perorang dari salaf. Tentu saja ucapan orang perorang dari salaf bukanlah hujjah. Dan yang menjadi hujjah itu adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Dengan demikian, mendahulukan Sunnah Rasulullah Shallalallahu ‘alaihi wa Salam adalah suatu kewajiban sedangkan mengikuti ucapan (orang perorang) dari salaf shalih tidak wajib, dan ini sendiri merupakan bagian dari manhaj salaf. Tidak menerima ucapan salaf shalih bukan artinya tidak menerima manhaj salaf, bahkan menolak ucapan salaf shalih yang menyelisihi hujjah termasuk bagian dari manhaj salaf, yang salaf sendiri mengamalkannya.

Dengan demikian mudah-mudahan menjadi jelas apa saya paparkan sebelumnya dari kaidah yang saya nukil di atas. ‘Ala kulli hal, suatu ucapan itu ada tempat pembahasannya tersendiri dan suatu pembahasan tentulah ada ucapannya tersendiri.

Jangan sampai ada yang kembali berfikir, bahwa pendapat yang merajihkan tahrim di dalam puasa sunnah hari Sabtu adalah pendapat yang la salafa lahu (tidak ada salafnya), pendapat yang baru (muhdats), yang baru muncul pada abad XX Masehi atau XIV Hijriah!!! Sehingga, untuk menguatkan pendapat yang tidak ada salafnya ini maka kaidah di atas digunakan. Sekali-kali tidak demikian!! Ini adalah suatu fikiran yang tidak benar, berangkat dari minimnya penelaahan dan kurangnya pemahaman. Masalah ini telah dijawab pada risalah sebelumnya dan mudah-mudahan telah mencukupi.

 

ISLAMIC MEDIA
ISLAMIC.XTGEM.COM
HOME