Agama Bangsa Arab
Mayoritas Bangsa Arab masih mengikuti dakwah Nabi
Ismail 'alaihissalam dan menganut agama yang dibawanya. Beliau
meneruskan dakwah ayahnya, Ibrahim 'alaihissalam, yaitu menyembah
Allah dan mentauhidkanNya. Untuk beberapa lama mereka akhirnya mulai
lupa banyak hal tentang apa yang pernah diajarkan kepada mereka.
Sekalipun begitu, tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim masih
tersisa pada mereka, hingga munculnya Amru bin Luhai, pemimpin Bani
Khuza'ah. Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal suka berbuat
kebajikan, bershadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama,
sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka
menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang
disegani.
Kemudian dia mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat
penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai
sesuatu yang baik serta benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat
para rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan
meletakkannya di dalam ka'bah. Setelah itu dia mengajak penduduk
Mekkah untuk menjadikan sekutu bagi Allah. Orang-orang Hijaz pun
banyak yang mengiktui penduduk Mekkah karena mereka dianggap sebagai
pengawas Ka'bah dan penduduk tanah suci.
Berhala yang paling dahulu mereka sembah adalah Manat, yang
ditempatkan di Musyallal di tepi laut Merah dekat Qudaid. Kemudian
mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di lembah kurma (wadi
nakhlah). Ketiga berhala tersebut merupakan yang paling besarnya.
Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang
lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa
Amru bin Luhai mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini
memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa',
Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke
sana untuk mencari keberadaannya, lalu membawanya ke Tihamah.
Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada
berbagai kabilah.
Mereka membawa pulang berhala-berhala itu ke tempat mereka
masing-masing. Sehingga di setiap kabilah dan di setiap rumah hampir
pasti ada berhalanya. Mereka juga memajang berbagai macam berhala
dan patung di al-Masjidil Haram . Tatkala Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka'bah terdapat tiga
ratus enam puluh berhala. Beliau menghancurkan berhala-berhala itu
hingga runtuh semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala
tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar.
Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala, yang
menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang Jahiliyyah, yang
menganggap dirinya masih menganut agama Ibrahim.
Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan
berhala, yang hampir semuanya dibuat oleh Amru bin Luhai. Sementara
orang-orang mengira apa yang dibuat Amru tersebut adalah sesuatu
yang baru dan baik serta tidak merubah agama Ibrahim. Diantara
upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah :
Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit di
hadapannya, meminta pertolongan tatkala menghadapi kesulitan, berdoa
untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa
berhala-berhala itu bisa memberikan syafa'at di sisi Allah dan
mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk
dan sujud di hadapannya.
Mereka bertaqarrub kepada berhala mereka dengan berbagai bentuk
taqarrub/ibadah; mereka menyembelih dan berkorban untuknya dan
dengan namanya.
Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam
firmanNya :
"…Dan apa yang disembelih untuk berhala…." (al-Maidah: 3)
"Dan jagnanlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya". (Al-An'am: 121).
Jenis taqarrub yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan
dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan
juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang
ternak mereka. Diantara hal yang amat aneh adalah perbuatan mereka
mengkhususkan bagian yang lain untuk Allah. Banyak sebab-sebab yang
mereka jadikan alasan kenapa mereka memindahkan sesembahan yang
sebenarnya mereka peruntukkan untuk Allah kepada berhala-berhala
mereka, akan tetapi mereka tidak memindahkan sama sekali sesembahan
yang sudah diperuntukkan untuk berhala mereka. Allah berfirman :
"Dan, mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman yang
diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan
mereka, ' Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami'. Maka
saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak
sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah,
maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah
ketetapan mereka itu". (Al-An'am: 136).
Diantara jenis taqarrub yang mereka lakukan ialah dengan bernazar
menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala.
Allah berfirman :
" Dan, mereka mengatakan,'inilah binatang ternak dan tanaman yang
dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami
kehendaki', menurut anggapan mereka, dan binatang ternak yang mereka
tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata
membuat-buat kedustaan terhadap Allah". (Al-An'am: 138).
Diantaranya lagi adalah ritual al-bahirah, as-sa'ibah, al-washilah,
al-hami . Ibnu Ishaq berkata: "al-bahirah ialah anak as-sa'ibah
yaitu onta betina yang telah beranak sepuluh betina secara
berturut-turut dan tidak diselingi sama sekali oleh yang jantan.
Onta semacam inilah yang dilakukan terhadapnya ritual sa'ibah; ia
tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, susunya tidak
boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak
betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus
dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan juga harus mendapat
perlakuan yang sama seperti induknya. Al-Washilah adalah domba
betina yang lahir dari lima perut; jika kemudian lahir sepuluh
betina secara berturut-turut dan tidak diantarai lahirnya yang
jantan, mereka mengadakan ritual washilah. Mereka berkata: "aku
telah melakukan washilah".
Kemudian bila domba tersebut beranak lagi, maka mereka persembahkan
kepada kaum laki-laki saja kecuali ada yang mati maka dalam hal ini
kaum laki-laki dan wanita bersama-sama melahapnya. Sedangkan Al-hami
adalah onta jantan yang sudah membuahkan sepuluh anak betina secara
berturut-turut tanpa ada jantannya. Punggung onta seperti ini
dijaga, tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus
dibiarkan lepas dan tidak digunakan kecuali untuk kepentingan ritual
tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah menurunkan ayat :
"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahirah,
sa'ibah, washilah dan hami. Akan tetapi orang-orang kafir
membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak
mengerti". (al-Maidah: 103).
Allah juga menurunkan ayat :
" Dan, mereka mengatakan :'apa yang di dalam perut binatang ternak
ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami',
dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wantia
sama-sama boleh memakannya". (Al-An'am: 139).
Sa'id bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang
ternak diperuntukkan bagi taghut-taghut mereka. Di dalam hadits yang
shahih dan marfu', bahwa Amru bin Luhai adalah orang pertama yang
melakukan ritual saibah (mempersembahkan onta untuk berhala).
Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan
disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada
Allah, menghubungkan mereka kepadaNya serta meminta syafa'at
kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an :
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (Az-Zumar:3).
"Dan, mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat,
dan mereka berkata: 'mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami
disisi Allah". (Yunus: 18).
Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan sesuatu yang disebut
al-azlam atau anak panah yang tidak ada bulunya. Anak panah itu ada
tiga jenis: satu jenis ditulis dengan kata "ya", satu lagi ditulis
dengan kata "tidak" dan jenis ketiga dengan kata "dibiarkan". Mereka
mengundi nasib untuk menentukan apa yang akan dilakukan, seperti
bepergian, menikah atau lain-lainnya, dengan menggunakan anak panah
itu. Jika yang keluar tulisan "ya", mereka melaksanakannya, dan jika
yang keluar adalah tulisan "tidak" , mereka menangguhkannya pada
tahun itu hingga mereka melakukannya lagi. Dan jika yang muncul
adalah tulisan "dibiarkan" mereka mengulangi undiannya.
Ada lagi jenis lain, yaitu tulisan "air" dan "tebusan", begitu juga
tulisan "dari kalian", "bukan dari kalian" atau "disusul". Bila
mereka ragu terhadap nasab seseorang mereka membawanya ke hubal dan
membawa serta juga seratus hewan kurban lalu diserahkan kepada
pengundi. Dalam hal ini, jika yang keluar adalah tulisan "dari
kalian", maka dia diangkat sebagai penengah/pemutus perkara diantara
mereka. Jika yang keluar tulisan "bukan dari kalian" maka dia
diangkat sebagai sekutu. Sedangkan jika yang keluar adalah tulisan
"disusul" maka kedudukannya di tengah mereka adalah sebagai orang
yang tidak bernasab dan tidak diangkat sebagai sekutu.
Tak beda jauh dengan hal ini adalah perjudian dan undian. Mereka
membagi-bagikan daging unta yang mereka sembelih berdasarkan undian
tersebut.
Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, dukun (para normal)
dan ahli nujum (astrolog). Peramal adalah orang yang suka memberikan
informasi tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan,
mengaku-aku dirinya mengetahui rahasia-rahasia. Diantara para
peramal ini, ada yang mendakwa dirinya memiliki pengikut dari bangsa
jin yang memberikan informasi kepadanya. Diantara mereka juga ada
yang mendakwa mengetahui hal-hal yang ghaib berdasarkan pemahaman
yang diberikan kepadanya. Ada lagi dari mereka yang mendakwa dirinya
mengetahui banyak hal dengan mengemukan premis-premis dan
sebab-sebab yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui posisinya
berdasarkan kepada ucapan si penanya, perbuatannya atau kondisinya;
inilah yang disebut dengan 'arraf (dukun/para normal) seperti orang
yang mendakwa dirinya mengetahui barang yang dicuri, letak
terjadinya pencurian, juga orang yang tersesat, dan lain-lain.
Sedangkan ahli nujum (astrolog) adalah orang yang mengamati keadaan
bintang dan planet, lalu dia menghitung perjalanan dan waktu
peredarannya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui berbagai
keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi di
kemudian hari. Membenarkan ramalan ahli nujum/astrolog ini pada
hakikatnya merupakan bentuk kepercayaan terhadap bintang-bintang.
Diantara keyakinan mereka terhadap bintang-bintang adalah keyakinan
terhadap anwa' (simbol tertentu yang dibaca sesuai dengan posisi
bintang) ; oleh karenanya mereka selalu mengatakan ; 'hujan yang
turun ke atas kami ini lantaran posisi bintang begini dan begitu'.
Di kalangan mereka juga beredar kepercayaan ath-Thiyarah yaitu
merasa nasib sial atau meramal nasib buruk (karena melihat burung,
binatang lainnya atau apa saja) . Pada mulanya mereka mendatangi
seekor burung atau kijang, lalu mengusirnya. Jika burung atau kijang
itu mengambil arah kanan, maka mereka jadi bepergian ke tempat yang
hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika
burung atau kijang itu mengambil arah kisri, maka mereka tidak
berani bepergian dan mereka meramal hal itu sebagai tanda kesialan.
Mereka juga meramal sial jika di tengah jalan bertemu burung atau
hewan tertentu.
Tak bebeda jauh dengan hal ini adalah kebiasaan mereka yang
menggantungkan ruas tulang kelinci (dengan kepercayaan bahwa hal itu
dapat menolak bala'-penj). Mereka juga menyandarkan kesialan kepada
hari-hari, bulan-bulan, hewan-hewan, rumah-rumah atau wanita-wanita.
Begitu juga keyakinan terhadap penularan penyakit dan binatang
berbisa. Mereka percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya
tidak tenteram jika dendamnya tidak dilampiaskan. Ruhnya bisa
menjadi binatang berbisa dan burung hantu yang beterbangan di padang
sahara/tanah lapang seraya berteriak: 'Haus! haus! beri aku minum!
beri aku minum!', dan bila telah dilampiaskan dendamnya maka ruhnya
merasa tenang dan tentram kembali.
Orang-orang Jahiliyah masih dalam kondisi kehidupan demikian, tetapi
ajaran Ibrahim masih tersisa pada mereka dan belum ditinggalkan sama
sekali, seperti pengagungan terhadap baitullah (ka'bah), thawaf,
haji, umrah, wukuf di 'Arafah dan Muzdalifah, serta ritual
mempersembahkan onta sembelihan untuk ka'bah. Memang, dalam hal ini
terjadi hal-hal yang mereka ada-adakan. Diantaranya; orang-orang
Quraisy berkata, 'kami anak keturunan Ibrahim dan penduduk tanah
haram, penguasa ka'bah dan penghuni Mekkah. Tak seorangpun dari
Bangsa Arab yang mempunyai hak dan kedudukan seperti kami- dalam hal
ini, mereka menjuluki diri mereka dengan alhums (kaum pemberani)- ;
oleh karena itu tidak selayaknya kami keluar dari tanah haram menuju
tanah halal (di luar tanah haram). Mereka tidak melaksanakan wuquf
di Arafah, juga tidak ifadhah dari sana, tapi melaukan ifadhah dari
Muzdalifah. Mengenai hal ini,turun firman Allah:
"Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang
banyak" . (al-Baqarah: 199).
Diantara hal-hal lain yang mereka katakana adalah : "tidak
selayaknya alhums mengkonsumsi keju, memasak dan menyaring
samin/mentega saat mereka sedang berihram, serta memasuki
rumah-rumah dengan pakaian dari bulu/wol. Juga tidak selayaknya
berteduh ketika lagi berteduh kecuali di rumah-rumah yang terbuat
dari kulit selama mereka dalam keadaan berihram".
Mereka juga berkata: "Penduduk di luar tanah haram tidak boleh
memakan makanan yang mereka bawa dari luar tanah haram ke tanah
haram, jika kedatangan mereka itu dimaksudkan untuk melakukan haji
atau umrah".
Hal-Hal lainya yang mereka buat-buat adalah mereka melarang orang
yang datang dari luar tanah haram bila mereka datang dan berthawaf
untuk pertama kalinya kecuali dengan mengenakan pakaian kebesaran
alhums dan jika mereka tidak mendapatkannya maka kaum laki-laki
harus thawaf dalam keadaan telanjang. Sementara wanita juga harus
menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali pakaian rumah yang
longgar,kemudian baru berthawaf dan melantunkan :
"Hari ini tampak sebagian atau seluruhnya apa yang nampak itu
tiadalah ia perkenankan"
Dan berkaitan dengan itu, turun firman Allah :
"Hai anak Adam! Pakailah pakaian yang indah di setiap (memasuki)
masjid". (al-A'raf: 31).
Jika salah seorang dari laki-laki dan wanita merasa lebih hormat
untuk thawaf dengan pakaian yang dikenakannya dari luar tanah haram
maka sehabis thawaf dia harus membuangnya dan ketika itu tak
seorangpun yang boleh menggunakannya lagi; baik dari mereka maupun
selain mereka.
Hal lainya lagi adalah perlakuan mereka yang tidak mau masuk rumah
dari pintu depan bila sedang berihram, tetapi mereka melubangi
bagian tengah rumah untuk tempat masuk dan keluar, dan mereka
manganggap pikiran sempit semacam ini sebagai kebaktian (birr); maka
hal semacam ini kemudian dilarang oleh Al-Qur'an dalam firmanNya :
"Dan bukanlah kebaktian itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa".
(al-Baqarah: 189).
Kepercayaan semacam ini ; kepercayaan bernuansa syirik, penyembahan
terhadap berhala, keyakinan terhadap hipotesis-hipotesis lemah dan
khurafat-khurafat adalah merupakan kepercayaan/agama mayoritas
Bangsa Arab. Disamping itu juga, ada agama lain seperti; Yahudi,
Nashrani, Majusi dan Shabi'ah. Agama-agama ini juga mendapatkan
jalan untuk memasuki pemukiman Bangsa Arab.
Ada dua periode yang sempat mewakili keberadaan orang-orang Yahudi
di jazirah Arab:
Proses hijrah yang mereka lakukan pada periode penaklukan Bangsa
Babilonia dan Assyiria di Palestina; tekanan yang dialami oleh
orang-orang Yahudi, luluh lantaknya negeri dan hancurnya rumah
ibadah mereka oleh Bukhtanashshar pada tahun 587 SM serta ditawan
dan dibawanya sebagian besar mereka ke Babilonia menyebabkan
sebagian mereka yang lain meninggalkan negeri Palestina menuju Hijaz
dan bermukim di sekitar belahan utaranya.
Diawali dari sejak pendudukan yang dilakukan oleh Bangsa Romawi
terhadap Palestina dibawah komando Pettis pada tahun 70 M; adanya
tekanan dari orang-orang Romawi terhadap bangsa Palestina, hancur
dan luluh lantaknya rumah ibadah mereka membuahkan berimigrasinya
banyak suku dari bangsa Yahudi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib
(Madinah sekarang-penj), Khaibar dan Taima'.
Disana mereka mendirikan perkampungan, istana-istana dan
benteng-benteng. Agama Yahudi tersebar di kalangan sebagian bangsa
Arab melalui kaum imigran Yahudi tersebut. Di kemudian harinya
mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam percaturan
politik pada periode tersebut sebelum munculnya Islam. Ketika Islam
muncul, suku-suku Yahudi yang sudah ada dan masyhur adalah Khaibar,
an-Nadhir, al-Mushthaliq, Quraizhah dan Qainuqa'. Sejarawan,
as-Samhudi menyebutkan dalam bukunya "wafâul wafa' " halaman 116
bahwa suku-suku Yahudi yang mampir di Yatsrib dan datang ke sana
dari waktu ke waktu berjumlah lebih dari dua puluh suku.
Sementara itu, masuknya agama Yahudi di Yaman adalah melalui penjual
jerami, As'ad bin Abi Karb. Ketika itu, dia pergi berperang ke
Yatsrib dan disanalah dia memeluk agama Yahudi. Dia membawa serta
dua orang ulama Yahudi dari suku Bani Quraizhah ke Yaman. Agama
Yahudi tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana, terlebih lagi
ketika anaknya, Yusuf yang bergelar Dzu Nuwas menjadi penguasa di
Yaman; dia menyerang penganut agama Nashrani dari Najran dan
mengajak mereka untuk menganut agama Yahudi, namun mereka menolak.
Karena penolakan ini, dia kemudian menggali parit dan mencampakkan
mereka ke dalamnya lalu mereka dibakar hidup-hidup.
Dalam tindakannya ini, dia tidak membedakan antara laki-laki dan
perempuan, anak-anak kecil dan orang-orang berusia lanjut. Sejarah
mencatat, bahwa jumlah korban pembunuhan massal ini berkisar antara
20.000 hingga 40.000 jiwa. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober
tahun 523 M. Al-Qur'an menceritakan sebagian dari drama tragis
tersebut dalam surat al-Buruj (tentang Ashhabul Ukhdud).
Sedangkan agama Nasrani masuk ke jazirah Arab melalui pendudukan
orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah
yang pertama kali di Yaman terjadi pada tanun 340 M dan berlangsung
hingga tahun 378 M. Pada masa itu, gerakan kristenisasi mulai
merambah pemukiman di Yaman. Tak berapa jauh dari masa ini, seorang
yang yang dikenal sebagai orang yang zuhud, doanya mustajab dan juga
dianggap mempunyai kekeramatan. Orang ini dikenal dengan sebutan
Fimiyun; dialah yang datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran
untuk memeluk agama Masehi. Mereka melihat tanda-tanda kejujuran
pada dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu mereka menerima
dakwahnya dan bersedia memeluk agama Nasrani.
Tatkala orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya
pada tahun 525 M; sebagai balasan atas perlakuan Dzu Nuwas yang dulu
pernah dilakukannya, dan tampuk pimpinan dipegang oleh Abrahah, maka
dia menyebarkan agama Nasrani dengan gencar dan target sasaran yang
luas hingga mencapai puncaknya yaitu tatkala dia membangun sebuah
gereja di Yaman, yang diberi nama "Ka'bah Yaman". Dia menginginkan
agar haji yang dilakukan oleh Bangsa Arab dialihkan ke gereja ini.
Disamping itu,dia juga berniat menghancurkan Baitullah di Mekkah,
namun Allah membinasakannya dan akan mengazabnya di dunia dan
akhirat.
Agama Nashrani dianut oleh kaum Arab Ghassan, suku-suku Taghlib dan
Thayyi' dan selain kedua suku terakhir ini. Hal itu disebabkan
mereka bertetangga dengan orang-orang Romawi. Bukan itu saja, bahkan
sebagian raja-raja Hirah juga telah memeluknya.
Sedangkan agama Majusi lebih banyak berkembang di kalangan
orang-orang Arab yang bertetangga dengan orang-orang Persia yaitu
orang-orang Arab di Iraq, Bahrain (tepatnya di Ahsa'), Hajar dan
kawasan tepi pantai teluk Arab yang bertetangga dengannya.
Elite-Elite politik Yaman juga ada yang memeluk agama Majusi pada
masa pendudukan Bangsa Persia terhadap Yaman.
Adapun agama Shabi'ah; menurut penemuan yang dilakukan melalui
penggalian dan penelusuran peninggalan-peninggalan mereka di negeri
Iraq dan lain-lainnya menunjukkan bahwa agama tersebut dianut oleh
kaum Ibrahim Chaldeans. Begitu juga, agama tersebut dianut oleh
mayoritas penduduk Syam dan Yaman pada zaman purbakala. Setelah
beruntunnya kedatangan beberapa agama baru seperti agama Yahudi dan
Nasrani, agama ini mulai kehilangan identitasnya dan aktivutasnya
mulai redup. Tetapi masih ada sisa-sisa para pemeluknya yang membaur
dengan para pemeluk Majusi atau hidup berdampingan dengan mereka,
yaitu di masyarakat Arab di Iraq dan di kawasan tepi pantai teluk
Arab.
Kondisi Kehidupan Agama
Agama-agama tersebut merupakan agama yang sempat eksis sebelum
kedatangan Islam. Namun dalam agama-agama tersebut, sudah terjadi
penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang Musyrik yang
mendakwa diri mereka adalah penganut agama Ibrahim, justeru
keadaannya teramat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim.
Ajaran-ajaran tentang akhlaq mulia mereka sudah abaikan sehingga
maksiat tersebar dimana-mana. Seiring dengan peralihan zaman secara
bertahap terjadi perkembang yang sama seperti ajpa yang dilakukan
oleh para penyembah berhala (paganis). Adat istiadat dan
tradisi-tradisi yang berlaku telah berubah menjadi khurafat-khurafat
dalam agama dan ini memiliki dampak negatif yang amat parah terhadap
kehidupan sosio politik dan religi masyarakat.
Lain lagi perubahan yang terjadi terhadap orang-orang Yahudi; mereka
telah menjadi manusia yang dijangkiti penyakit riya' dan menghakimi
sendiri. Para pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah;
menghakimi masyarakat seenaknya dan bahkan menvonis mereka seakan
mereka mengetahui apa yang terbetik dihati dan dibibir mereka.
Ambisi utama mereka hanyalah bagaimana mendapatkan kekayaan dan
kedudukan, sekalipun berakibat lenyapnya agama dan menyebarnya
kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah
diperintahkan oleh Allah dan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap
orang.
Berbeda dengan agama Nashrani, ia berubah menjadi agama berhala
(paganisme) yang sulit dipahami dan mengalami pencampuradukan yang
amat janggal antara pemahaman terhadap Allah dan manusia. Agama
semacam ini tidak berpengaruh banyak dan secara signifikan terhadap
bangsa Arab karena ajaran-ajarannya jauh dari gaya hidup yang mereka
kenal dan lakoni. Karenanya, tidak mungkin pula mereka jauh dari
gaya hidup tersebut.
Sementara kondisi semua agama bangsa Arab, tak ubahnya seperti
kondisi orang-orang Musyrik; perasaan hati yang sama, kepercayaan
yang beragam, tradisi dan kebiasaan yang saling sinkron. (Rabu,
11/6/2001=19/4/1422) |