Milad Dan 40 tahun
Sebelum Kenabian Shallaahu 'alaihi wasalam
Milad Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Sayyidul Mursalin, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di
lahirkan di tengah kabilah besar, Bani Hasyim di Mekkah pada pagi
hari Senin, tanggal 9 Rabi'ul Awwal, tahun pertama tragedi pasukan
gajah atau empat puluh tahun dari berlalunya kekuasaan kisra
Anusyirwan. Juga bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun
571 M sesuai dengan analisis seorang 'Alim Besar, Muhammad Sulaiman
al-Manshur Furi dan Astrolog (Ahli Ilmu Falak), Mahmud Basya.
Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam berkata: "ketika aku melahirkannya, dari farajku keluar
cahaya yang menerangi istana-istana negeri Syam". Imam Ahmad, ad-Darimi
dan selain keduanya juga meriwayatkan versi yang hampir mirip dengan
riwayat tersebut.
Ada riwayat yang menyebutkan telah terjadi irhashaat (tanda-tanda
awal yang menunjukkan kenabian) ketika milad beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam, diantaranya; runtuhnya empat belas balkon istana
kekaisaran, padamnya api yang sekian lama disembah oleh kaum Majusi,
hancurnya gereja-gereja disekitar danau Saawah setelah airnya
menyusut. Riwayat tersebut dilansir oleh ath-Thabari, al-Baihaqi dan
selain keduanya namun tidak memiliki sanad yang valid.
Setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan, beliau
dikirim oleh ibundanya ke rumah kakeknya, 'Abdul Muththalib dan
menginformasikan kepadanya berita gembira perihal cucunya tersebut.
Kakeknya langsung datang dengan sukacita dan memboyong cucunya
tersebut masuk ke Ka'bah; berdoa kepada Allah dan bersyukur
kepadaNya. Kemudian memberinya nama Muhammad padahal nama seperti
ini tidak populer ketika itu di kalangan bangsa Arab, dan pada tujuh
hari kelahirannya dia mengkhitan beliau sebagaimana tradisi yang
berlaku di kalangan bangsa Arab.
Wanita pertama yang menyusui beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
setelah ibundanya adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan budak wanita
Abu Lahab yang saat itu juga tengah menyusui bayinya yang bernama
Masruh . Sebelumnya, dia juga telah menyusui Hamzah bin 'Abdulul
Muththalib, kemudian menyusui Abu Salamah bin 'Abdul Asad
al-Makhzumi setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.
Hidup di tengah kabilah Bani Sa'ad
Tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab yang sudah berperadaban
adalah mencari para wanita yang dapat menyusui bayi-bayi mereka
sebagai tindakan prefentif terhadap serangan penyakit-penyakit yang
biasa tersebar di alam peradaban. Hal itu mereka lakukan agar tubuh
bayi-bayi mereka tersebut kuat, otot-otot mereka kekar serta menjaga
agar lisan Arab mereka tetap orisinil sebagaimana lisan ibu mereka
dan tidak terkontaminasi. Oleh karena itu, 'Abdul Muththalib mencari
wanita-wanita yang dapat menyusui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam; dia memilih seorang wanita dari kabilah Bani Sa'ad bin
Bakr, yaitu Halimah binti Abu Dzuaib sebagai wanita penyusu beliau.
Suami dari wanita ini bernama al-Harits bin 'Abdul 'Uzza yang
berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah yang sama.
Dengan begitu, di sana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
memiliki banyak saudara sesusuan, yaitu; 'Abdullah bin al-Harits,
Anisah binti al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti al-Harits
(dialah yang berjuluk asy-Syaima' yang kemudian lebih populer
menjadi namanya dan yang juga merawat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam) serta Abu Sufyan bin al-Harits bin 'Abdul Muththalib,
saudara sepupu Rasulullah.
Paman beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, Hamzah bin 'Abdul
Muththalib juga disusui di tengah kabilah Bani Sa'ad bin Bakr.
Ibunya juga menyusui beliau selama sehari, yaitu ketika beliau
berada disisi ibu susuannya, Halimah. Dengan demikian Hamzah
merupakan saudara sesusuan Rasulullah dari dua sisi: Tsuaibah dan
(Halimah) as-Sa'diyyah.
Halimah merasakan adanya keberkahan serta kisah-kisah yang aneh
lainnya sejak kehadiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di
tengah keluarganya. Untuk itu, baiklah kita biarkan dia
mengisahkannya sendiri secara detail:
" Ibnu Ishaq berkata: 'Halimah pernah berkisah: bahwasanya suatu
ketika dia pergi keluar bersama suami dan bayinya yang masih kecil
dan menyusui. Dia juga membawa serta beberapa wanita yang sama-sama
tengah mencari bayi-bayi susuan. Ketika itu sedang dilanda musim
paceklik sedangkan kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi, lalu aku
pergi dengan mengendarai seekor keledai betina berwarna putih
kehijauan milikku beserta seekor onta yang sudah tua. Demi Allah!
Tidak pernah hujan turun meski setetespun, kami juga tidak bisa
melewati malam dengan tidur pulas lantaran tangis bayi kami yang
mengerang kelaparan sedangkan ASI di payudaraku tidak mencukupi.
Begitu juga dengan air susu onta tua yang bersama kami tersebut
sudah tidak berisi. Akan tetapi kami selalu berharap pertolongan dan
jalan keluar. Aku kembali pergi keluar dengan mengendarai onta
betina milikku yang sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan
perjalanan sehingga hal ini membuat rombongan kami gelisah akibat
letih dan kondisi kekeringan yang melilit. Akhirnya kami sampai juga
ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi susuan akan tetapi tidak seorang
wanita pun diantara kami ketika disodorkan untuk menyusui Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam melainkan menolaknya setelah mengetahui
kondisi beliau yang yatim. Sebab, tujuan kami (rombongan wanita
penyusu bayi), hanya mengharapkan imbalan materi dari orang tua si
bayi sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bayi yang yatim,
lantas apa gerangan yang dapat diberikan oleh ibu dan kakeknya buat
kami?. Kami semua tidak menyukainya karena hal itu; akhirnya, semua
wanita penyusu yang bersamaku mendapatkan bayi susuan kecuali aku.
Tatkala kami semua sepakat akan berangkat pulang, aku berkata kepada
suamiku: 'demi Allah! Aku tidak sudi pulang bersama teman-temanku
tanpa membawa seorang bayi susuan. Demi Allah! Aku akan pergi ke
rumah bayi yatim tersebut dan akan mengambilnya menjadi bayi
susuanku. Lalu suamiku berkata: 'tidak ada salahnya bila kamu
melakukan hal itu, mudah-mudahan Allah menjadikan kehadirannya di
tengah kita suatu keberkahan. Akhirnya aku pergi ke rumah beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam dan membawanya serta. Sebenarnya,
motivasiku membawanya serta hanyalah karena belum mendapatkan bayi
susuan yang lain selain beliau. Setelah itu, aku pulang dengan
membawanya serta dan mengendarai tungganganku. Ketika dia
kubaringkan di pangkuanku dan menyodorkan puting susuku ke mulutnya
supaya menetek ASI yang ada seberapa dia suka, diapun meneteknya
hingga kenyang, dilanjutkan kemudian oleh saudara sesusuannya
(bayiku) hingga kenyang pula. Kemudian keduanya tertidur dengan
pulas padahal sebelumnya kami tak bisa memicingkan mata untuk tidur
karena tangis bayi kami tersebut. Suamiku mengontrol onta tua milik
kami dan ternyata susunya sudah berisi, lalu dia memerasnya untuk
diminum. Aku juga ikut minum hingga perut kami kenyang, dan malam
itu bagi kami adalah malam tidur yang paling indah yang pernah kami
rasakan.
Pada pagi harinya, suamiku berkata kepadaku:' demi Allah! Tahukah
kamu wahai Halimah?; kamu telah mengambil manusia yang diberkahi'.
Aku berkata: 'demi Allah! Aku berharap demikian'. Kemudian kami
pergi keluar lagi dan aku menunggangi onta betinaku dan membawa
serta beliau Shallallahu 'alaihi wasallam diatasnya.
Demi Allah! Onta betinaku tersebut sanggup menempuh perjalanan yang
tidak sanggup dilakukan oleh onta-onta mereka, sehingga teman-teman
wanitaku dengan penuh keheranan berkata kepadaku:'wahai putri Abu
Zuaib! Celaka! Kasihanilah kami bukankah onta ini yang dulu pernah
bersamamu?, aku menjawab:'demi Allah! Inilah onta yang dulu itu!'.
Mereka berkata:'demi Allah! Sesungguhnya onta ini memiliki
keistimewaan'. Kemudian kami mendatangi tempat tinggal kami di
perkampungan kabilah Bani Sa'ad. Sepanjang pengetahuanku tidak ada
bumi Allah yang lebih tandus darinya; ketika kami datang, kambingku
tampak dalam keadaan kenyang dan banyak air susunya sehingga kami
dapat memerasnya dan meminumnya padahal orang-orang tidak
mendapatkan setetes air susupun walaupun dari kambing yang gemuk.
Kejadian ini membuat orang-orang yang hadir dari kaumku berkata
kepada para pengembala mereka: celakalah kalian! Pergilah membuntuti
kemana saja pengembala kambing putri Abu Zuaib mengembalakannya.
Meskipun demikian, realitasnya, kambing-kambing mereka tetap
kelaparan dan tidak mengeluarkan air susu setetespun sedangkan
kambingku selalu kenyang dan banyak air susunya. Demikianlah, kami
selalu mendapatkan tambahan nikmat dan kebaikan dari Allah hingga
tak terasa dua tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk menyapihnya.
Dia tumbuh besar namun tidak seperti kebanyakan anak-anak sebayanya;
sebab belum mencapai usia dua tahun dia sudah tumbuh dengan postur
yang bongsor. Akhirnya, kami mengunjungi ibunya dan dalam hati yang
paling dalam kami sangat berharap dia masih berada di tengah
keluarga kami dikarenakan keberkahan yang kami rasakan sejak
keberadaannya dan itu semua kami ceritakan kepada ibundanya. Aku
berkata kepadanya: 'kiranya anda sudi membiarkan anak ini bersamaku
lagi hingga dia besar, sebab aku khawatir dia terserang penyakit
menular yang ada di Mekkah'. Kami terus mendesaknya hingga dia
bersedia mempercayakannya kepada kami lagi".
Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam akhirnya tetap
tinggal di lingkungan kabilah Bani Sa'ad, hingga terjadinya
peristiwa dibelahnya dada beliau ketika berusia empat atau lima
tahun. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam didatangi oleh Jibril 'alaihissalam
saat beliau tengah bermain bersama teman-teman sebayanya. Jibril
memegang beliau sehingga membuatnya pingsan lalu membelah bagian
dari hatinya, kemudian mengeluarkannya segumpal darah bersamanya.
Jibril berkata: 'ini adalah bagian syaithan yang ada pada dirimu!
Kemudian meletakkannya di dalam baskom yang terbuat dari emas dan
mencucinya dengan air zam-zam, merapikan dan mengembalikannya ke
tempat semula. Teman-teman sebayanya tersebut berlarian mencari ibu
susuannya seraya berkata:'sesungguhnya Muhammad sudah dibunuh!'.
Mereka akhirnya beramai-ramai menghampirinya dan menemukannya dalam
kondisi rona muka yang sudah berubah. Anas berkata: 'sungguh aku
telah melihat bekas jahitan itu di dada beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam '.
Kembali ke pangkuan ibunda nan amat mengasihinya
Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa cemas atas diri beliau
sehingga dikembalikan lagi kepada ibundanya. Beliau hidup bersama
ibundanya sampai berusia enam tahun.
Aminah memandang perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yatsrib
sebagai bentuk kesetiaannya terhadapnya. Akhirnya, dia keluar dari
Mekkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km bersama
anaknya yang masih yatim, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam,
pembantunya, Ummu Aiman dan mertuanya, 'Abdul Muththalib. Setelah
menginap selama sebulan disana, dia kembali pulang ke Mekkah akan
tetapi di tengah perjalanan dia diserang sakit keras sehingga
akhirnya meninggal dunia di al-Abwa' , suatu tempat yang terletak
antara Mekkah dan Madinah.
Di pangkuan sang kakek nan amat menyayanginya
Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dibawa kembali ke Mekkah oleh
kakeknya. Perasaan kasih terhadap sang cucu yang sudah yatim piatu
semakin bertambah di sanubarinya, dan hal ini ditambah lagi dengan
adanya musibah baru yang seakan menimpali luka lama yang belum
sembuh betul. Maka ibalah ia terhadapnya; sebuah perasaan yang tak
pernah ia tumpahkan terhadap seorangpun dari anak-anaknya. Dia tidak
lagi membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang
harus dialaminya bahkan dia lebih mengedepankan kepentingannya
daripada kepentingan anak-anaknya. Ibnu Hisyam berkata: " Biasanya,
'Abdul Muththalib menghamparkan permadaninya di naungan Ka'bah, lalu
anak-anaknya duduk di sekitar permadani tersebut hingga dia keluar,
dan ketika itu, tak seorangpun dari anak-anaknya tersebut yang
berani duduk-duduk disitu untuk menghormati kedudukannya. Namun
tidak demikian halnya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
; tatkala beliau masih berusia di bawah dua dengan postur tubuh yang
bongsor datang dan langsung duduk-duduk diatas permadani tersebut,
paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak mendekati tempat
itu. Melihat tindakan anak-anaknya itu, dia berkata kepada mereka:
'biarkan saja anakku ini melakukan apa saja! Demi Allah!
Sesungguhnya dia nanti akan menjadi orang yang besar!'. Kemudian dia
duduk-duduk bersama beliau di permadani itu, mengelus-elus
punggungnya dengan tangan kasihnya. Dia merasa senang dengan apa
yang dilakukan oleh cucunya tersebut".
Kakek beliau Shallallahu 'alaihi wasallam meninggal di Mekkah saat
beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari. Sebelum
meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan tanggung
jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau Shallallahu
'alaihi wasallam, Abu Thalib ; saudara kandung ayahanda beliau.
Di pangkuan sang paman nan penuh perhatian terhadapnya
Abu Thalib menjalankan kewajiban yang diembankan kepadanya untuk
mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab sepertihalnya dia
mengasuh anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan
kepentingannya diatas kepentingan mereka. Dia juga,
mengistimewakannya dengan penghargaan yang begitu berlebihan.
Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam berusia diatas empat puluh tahun; pamannya masih tetap
memuliakan beliau, memberikan pengamanan terhadapnya, menjalin
persahabatan ataupun mengobar permusuhan dalam rangka membelanya.
Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti pada bagian
pembahasan tersendiri.
Meminta turunnya hujan melalui "wajah" beliau
Ibnu 'Asaakir mengeluarkan hadits dari Jalhamah bin 'Arfathah, dia
berkata: " ketika aku datang ke Mekkah, mereka sedang mengalami
musim paceklik (tidak turunnya hujan), lantas orang-orang Quraisy
berseru:'wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan
kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!'.
Kemudian Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana
matahari yang diselimuti oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan
turun, dan disekitarnya terdapat sumber mata air sumur; Abu Thalib
memegang anak tersebut, menempelkan punggungnya ke Ka'bah, serta
menggandengnya dengan jari-jemarinya. Ketika itu tidak ada sama
sekali gumpalan awan, maka tiba-tiba awan menggumpal kemudian
turunlah hujan dengan lebatnya sehingga lembah jebol dan lahan-lahan
tanah menjadi subur. Mengenai peristiwa ini, Abu Thalib
menyinggungnya dalam rangkaian baitnya :
"…putih, seorang penolong anak-anak yatim meminta turunnya hujan
melalui 'wajah'-nya demi menjaga kehormatan para janda"
Bersama sang Rahib, Buhaira
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berusia dua belas
tahun - ada riwayat yang menyatakan; dua belas tahun dua bulan
sepuluh hari - pamannya, Abu Thalib membawanya serta berdagang ke
negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang
masih termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Hauraan . Ketika
itu juga, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih
dibawah kekuasaan Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib
yang bernama Buhaira (ada yang mengatakan nama aslinya adalah
Jirjis). Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka
padahal sebelumnya tidak pernah dia lakukan hal itu, kemudian
menyampiri mereka, satu-persatu hingga sampai kepada Rasulullah lalu
memegang tangannya sembari berkata: "inilah penghulu para makhluk,
inilah Rasul Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai rahmat
bagi alam semesta ini". Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy bertanya
kepadanya: "bagaimana anda tahu hal itu?". Dia menjawab:
"sesungguhnya ketika kalian menanjak bebukitan, tidak satupun dari
bebatuan ataupun pohon melainkan bersujud terhadapnya, dan kedua
makhluk itu tidak akan bersujud kecuali terhadap Nabi. Sesungguhnya
aku dapat mengetahuinya melalui cincin kenabian yang terletak pada
bagian bawah tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel.
Sesungguhnya kami mengetahui beritanya dari kitab suci kami.
Kemudian barulah sang Rahib mempersilahkan mereka dan menjamu mereka
secara istimewa. Lalu dia meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan
keponkannya tersebut ke Mekkah dan tidak lagi membawanya serta ke
Syam sebab khawatir bila tercium oleh orang-orang Romawi dan Yahudi.
Akhirnya, pamannya mengirimnya bersama sebagian anak-anaknya ke
Mekkah.
Perang "Fijar"
Perang Fijar yang terjadi antara kabilah Quraisy dan sekutu mereka
dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais dan 'Ilan meletus pada saat
beliau berusia dua puluh tahun. Harb bin Umayyah terpilih menjadi
komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinanah secara umum
karena faktor usia dan kedudukan. Perang pun meletus, pada permulaan
siang hari, kemenangan berada di pihak kabilah Qais terhadap Kinanah
namun pada pertengahan hari keadaan terbalik; justeru kemenangan
berpihak pada Kinanah. Dinamakan "Perang Fijar" karena dinodainya
kesucian asy-Syahrul Haram pada bulan tersebut. Dalam perang ini,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ikut serta dan membantu
paman-pamannya menyediakan anak panah buat mereka.
Hilful Fudhuul
Peperangan tersebut berdampak pada terjadinya suatu perjanjian
(kebulatan tekad/sumpah setia) yang disebut dengan "Hilful Fudhuul"
pada bulan Dzul Qaidah di bulan haram. Hampir seluruh kabilah
Quraisy berkumpul dan menghadirinya, mereka terdiri dari: Bani
Hasyim, Bani al-Muththalib, Asad bin 'Abdul 'Uzza, Zahrah bin Kilaab
dan Tiim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman 'Abdullah bin
Jud'an at-Tiimy karena faktor usia dan kedudukannya. Isi dari
perjanjian tersebut; mereka bersepakat dan berjanji untuk tidak
membiarkan ada orang yang dizhalimi di Mekkah baik dia penduduk asli
maupun pendatang, dan bila hal itu terjadi mereka akan bergerak
menolongnya hingga dia meraih haknya kembali. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menghadiri hilf tersebut. Setelah beliau dimuliakan
oleh Allah dengan ar-Risalah , beliau berkomentar :"aku telah
menghadiri suatu hilf (perjanjian) di kediaman 'Abdullah bin Jud'an
yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki Humrun Na'am (onta merah
yang merupakan harta yang paling termahal dan menjadi kebanggaan
bangsa Arab ketika itu-red). Andai di masa Islam aku diundang untuk
menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya".
Sebagai catatan, semangat perjanjian ini bertentangan dengan
fanatisme Jahiliyyah yang digembar-gemborkan ketika itu. Diantara
hal yang disebutkan sebagai sebab terjadinya perjanjian tersebut
adalah ada seorang dari kabilah Zabiid datang ke Mekkah membawa
barang dagangannya, kemudian barang tersebut dibeli oleh al-'Ash bin
Waa-il as-Sahmi akan tetapi dia tidak memperlakukannya sesuai dengan
haknya. Orang tersebut meminta bantuan kepada sukutu-sekutu al-'Ash
namun mereka mengacuhkannya. Akhirnya, dia menaiki gunung Abi Qubais
dan menyenandungkan sya'ir-sya'ir yang berisi kezhaliman yang tengah
dialaminya seraya mengeraskan suaranya. Rupanya, az-Zubair bin
'Abdul Muththalib mendengar hal itu dan bergerak menujunya lalu
bertanya-tanya:"kenapa orang ini diacuhkan?". Tak berapa lama
kemudian berkumpullah kabilah-kabilah yang telah menyetujui
perjanjian Hilful Fudhuul diatas, lantas mereka mendatangi al-'Ash
bin Waa-il dan mendesaknya agar mengembalikan hak orang tersebut,
mereka berhasil setelah membuat suatu perjanjian.
Menjalani kehidupan dengan kerja keras
Diawal masa mudanya, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tidak
memiliki pekerjaan tertentu, hanya saja riwayat-riwayat yang ada
menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai pengembala kambing dan
mengembalanya di perkampungan kabilah Bani Sa'ad disamping bekerja
untuk Ahli Mekkah dengan upah sebesar Qaraariith (jamak dari kata
qiiraath ; yaitu bagian dari uang dinar, ada lagi pendapat yang
menyatakan bahwa itu adalah nama suatu tempat di Mekkah akan tetapi
pendapat ini tidak kuat-[lihat; fathul Bari dalam syarahnya terhadap
hadits tentang ini]-red). Ketika berusia dua puluh lima tahun,
beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan modal yang diperoleh
dari Khadijah radhiallâhu 'anha . Ibnu Ishaq berkata: "Khadijah
binti Khuwailid adalah salah seorang wanita pedagang yang memiliki
banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak kaum lelaki untuk
memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil. Kabilah Quraisy
dikenal sebagai pedagang handal, maka tatkala sampai ke telinganya
perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlaq Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya
dan menawarkannya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri
Syam. Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang istimewa
yang tidak pernah dipercayakannya kepada pedagang-pedagang yang
lainnya. Beliau juga didampingi oleh seorang pembantunya bernama
Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan
barang-barang dagangannya bersama pembantunya tersebut hingga sampai
ke Syam.
Menikah dengan Khadijah
Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya
beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya begitu juga dengan
keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah didapatinya
sebelum itu, ditambah lagi informasi dari Maisarah, pembantunya
tentang budi pekerti beliau, kejeniusan, kejujuran dan
keamanahannya; maka dia seakan menemukan apa yang dicarinya selama
ini (calon pendamping idaman-red) padahal banyak kaum laki-laki
bangsawan dan pemuka yang sangat berkeinginan untuk menikahinya
namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia menceritakan keinginan
hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti Munayyah yang kemudian
bergegas menemui beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dan meminta
kesediaan beliau untuk menikahi Khadijah. Beliau pun menyetujuinya
dan menceritakan hal tersebut kepada paman-pamannya. Kemudian mereka
mendatangi paman Khadijah untuk melamar keponakannya. Maka
pernikahan pun berlangsung setelah itu dan 'aqad tersebut dihadiri
oleh Bani Hasyim dan para pemimpin Mudhar. Pernikahan tersebut
berlangsung dua bulan setelah kepulangan beliau dari negeri Syam.
Beliau memberikan mahar berupa dua puluh ekor onta muda sedangkan
Khadijah ketika itu sudah berusia empat puluh tahun. Dia adalah
wanita kabilahnya yang paling terhormat nasabnya, paling banyak
hartanya dan paling brilian otaknya. Dialah wanita pertama yang
dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dimana beliau
tidak menikah lagi dengan wanita selainnya hingga dia wafat.
Semua putra-putri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam lahir dari
rahim Khadijah kecuali putranya, Ibrahim. Putra-putri beliau
tersebut adalah:1). al-Qasim (dimana beliau dijuluki dengannya). 2).
Zainab. 3). Ruqayyah. 4). Ummu Kultsum. 5). Fathimah. 6). 'Abdullah
(julukannya adalah ath-Thayyib dan ath-Thaahir). Semua putra beliau
meninggal ketika masih kecil sedangkan putri-putri beliau semuanya
hidup pada masa Islam, menganutnya dan juga ikut berhijrah namun
semuanya meninggal dunia semasa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
masih hidup kecuali Fathimah radhiallâhu 'anha yang meninggal enam
bulan setelah beliau wafat.
Membangun Ka'bah dan Penyelesaian pertikaian
Pada saat beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berusia tiga puluh
lima tahun, kabilah Quraisy membangun Ka'bah karena kondisinya
sebelum itu hanyalah berupa tumpukan-tumpukan batu-batu berukuran
diatas tinggi badan manusia, yaitu setinggi sembilan hasta di masa
Ismail 'alaihissalam dan tidak memiliki atap. Karenanya, harta
terpendam yang ada didalamnya berhasil dicuri oleh segerombolan para
pencuri. Disamping itu, karena merupakan peninggalan sejarah, ka'bah
sering diserang oleh pasukan berkuda sehingga merapuhkan bangunannya
dan merontokkan sendi-sendinya. Lima tahun sebelum beliau diutus
menjadi Rasulullah, Mekkah dilanda banjir besar dan airnya meluap
mencapai pelataran al-Baitul Haram sehingga mengakibatkan bangunan
ka'bah hampir ambruk. Orang-orang Quraisy terpaksa merenovasi
bangunannya untuk menjaga reputasinya dan bersepakat untuk tidak
membangunnya dari sembarang sumber dana selain dari sumber usaha
yang baik; mereka tidak mau memakai dana dari mahar hasil pelacuran,
transaksi ribawi dan hasil pemerasan terhadap orang-orang. Mereka
merasa segan untuk merobohkan bangunannya, sampai akhirnya dimulai
oleh al-Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi baru kemudian diikuti oleh
yang lainnya setelah mereka melihat tidak terjadi apa-apa
terhadapnya. Mereka terus melakukan perobohan hingga sampai ke
pondasi pertama yang dulu diletakkan oleh Ibrahim 'alaihissalam .
Setelah itu mereka memulai perenovasiannya; pertama-pertama mereka
membagi bagian bangunan ka'bah yang akan dikerjakan beberapa bagian,
yaitu masing-masing kabilah mendapat satu bagian dan mengumpulkan
sejumlah batu sesuai dengan jatah masing-masing lalu dimulailah
perenovasiannya. Sedangkan yang menjadi pimpinan proyeknya adalah
seorang arsitek asal Romawi yang bernama Baqum . Tatkala pengerjaan
tersebut sampai ke al-Hajar al-Aswadi, mereka bertikai tentang siapa
yang paling berhak untuk meletakkannya ke tempat semula dan
pertikaian tersebut berlangsung selama empat atau lima malam bahkan
semakin meruncing sehingga hampir terjadi peperangan yang maha
dahsyat di tanah al-Haram . Untunglah, Umayyah bin al-Mughirah
al-Makhzumi menengahi dan menawarkan penyelesaian pertikaian
diantara mereka lewat perundingan damai, caranya; siapa yang paling
dahulu memasuki pintu masjid diantara mereka maka dialah yang berhak
meletakkannya. Tawaran ini dapat diterima oleh semua dan atas
kehendak Allah Ta'ala, Rasulullah lah yang menjadi orang pertama
yang memasukinya. Tatkala mereka melihatnya, dia disambut dengan
teriakan: "inilah al-Amiin! Kami rela! Inilah Muhammad! ". Dan
ketika beliau mendekati mereka dan diberitahu tentang hal tersebut,
beliau meminta sehelai selendang dan meletakkan al-Hajar al-Aswad
ditengahnya, lalu pemimpin-pemimpin kabilah yang bertikai tersebut
diminta agar masing-masing memegang ujung selendang dan
memerintahkan mereka untuk mengangkatnya tinggi-tinggi hingga
manakala mereka telah menggelindingkannya dan sampai ke tempatnya,
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mengambilnya dengan tangannya
dan meletakkannya di tempatnya semula. Ini merupakan solusi yang
tepat dan jitu yang diridhai oleh semua pihak.
Orang-orang Quraisy kekurangan dana dari sumber usaha yang baik
sehingga mereka harus membuang sebanyak enam hasta dari bagian
utara, yaitu yang dinamakan dengan al-Hijr (Hijr Isma'il-red) dan
al-Hathim, lalu mereka tinggikan pintunya dari permukaan bumi agar
tidak dapat dimasuki kecuali saat menginginkannya. Tatkala
pembangunan sudah mencapai lima belas hasta, mereka memasang atap
yang disangga dengan enam tiang.
Akhirnya Ka'bah yang baru diselesaikan tersebut berubah menjadi
hampir berbentuk kubus dengan ketinggian 15 m dan panjang sisi yang
berada di bagian al-Hajar al-Aswad dan bagian yang searah dengannya
adalah 10,10 m. al-Hajar al-Aswad sendiri dipasang diatas ketinggian
1,50 m dari permukaan pelataran thawaf. Adapun panjang sisi yang
berada di bagian pintu dan bagian yang searah dengannya adalah 12 m
sedangkan tinggi pintunya adalah 2 m diatas permukaan bumi. Dan dari
sebelah luarnya dikelilingi oleh tumpukan batu bangunan, tepatnya di
bagian bawahnya, tinggi rata-ratanya adalah 0,25 m dan lebar
rata-ratanya 0,30 m dan bagian ini dikenal dengan nama
asy-Syaadzirwan yang merupakan bagian dari pondasi asal Ka'bah akan
tetapi orang-orang Quraisy membuangnya.
Sirah Nabawiyyah secara global sebelum kenabian
Sesungguhnya telah terhimpun pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam sejak dari perkembangannya kelebihan-kelebihan yang
merupakan terbaik yang ada pada lapisan masyarakat kala itu. Beliau
adalah tipe manusia utama dari sisi kejernihan berpikir dan
ketajaman pandangan. Beliau memiliki porsi kecerdikan yang lebih,
orisinilitas pemikiran dan ketepatan sarana dan misi. Beliau biasa
diam berlama-lama untuk renungan yang panjang, pemusatan pikiran
serta pencapaian kebenaran. Dengan akalnya yang brilian dan
fithrahnya yang suci beliau memonitor lembaran kehidupan, urusan
manusia dan kondisi banyak kelompok. Karenanya, beliau acuh terhadap
segala bentuk khurafat dan jauh sejauh-sejauhnya dari hal itu.
Beliau berinteraksi dengan manusia secara profesional baik terhadap
dirinya ataupun diri mereka; hal yang baik beliau ikut
berpartisipasi didalamnya dan jika tidak, maka beliau lebih memilih
untuk mengasingkan diri. Beliau tidak pernah minum khamar, tidak
pernah makan daging yang dipersembahkan kepada berhala, tidak pernah
menghadiri perayaan untuk berhala ataupun pesta-pestanya bahkan dari
sejak pertumbuhannya sudah menghindari dari sesembahan yang bathil.
Lebih dari itu, beliau malah amat membencinya dan tidak dapat
menahan dirinya bila mendengar sumpah serapah dengan nama laata dan
'uzza.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa berkat takdir ilahi lah beliau
dapat terjaga dari hal tersebut; manakala hawa nafsu menggebu-gebu
untuk mengintai sebagian kenikmatan duniawi dan rela mengikuti
sebagian tradisi tak terpuji, ketika itulah 'inaayah rabbaniyyah
menghalanginya dari hal-hal tersebut.
Ibnu al-Atsir meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "aku hanya dua kali pernah berkeinginan untuk melakukan
apa yang pernah dilakukan oleh Ahli Jahiliyyah namun semua itu
dihalangi oleh Allah sehingga aku tidak melakukannya, kemudian aku
berkeinginan lagi untuk melakukannya hingga Dia Ta'ala memuliakanku
dengan risalahNya. (Pertama kalinya-red);Suatu malam aku pernah
berkata kepada seorang anak yang menggembala kambing bersamaku di
puncak Mekkah; 'sudikah kamu mengawasi kambingku sementara aku akan
memasuki Mekkah dan bergadang ria seperti yang dilakukan oleh para
pemuda tersebut?'. Dia menjawab: 'ya, aku sudi! '. Lantas aku pergi
keluar hingga saat berada di sisi rumah yang posisinya paling
pertama dari Mekkah, aku mendengar suara alunan musik (tabuhan
rebana), lalu aku bertanya: apa gerangan ini?, mereka menjawab:
'prosesi pernikahan si fulan dengan si fulanah! '. Kemudian aku
duduk-duduk untuk mendengarkan, namun Allah melarangku untuk
mendengarkannya dan membuatku tertidur. Dan tidurku amat lelap
sehingga hampir tidak terjaga bila saja terik panas matahari tidak
menyadarkanku. Akhirnya, aku kembali menemui temanku yang langsung
bertanya kepadaku tentang apa yang aku alami dan akupun
memberitahukannya. Kemudian (kedua kalinya-red), aku berkata pada
suatu malam yang lain seperti itu juga; aku memasuki Mekkah namun
aku mengalami hal yang sama seperti malam sebelumnya; lantas aku
bertekad, untuk tidak akan berkeinginan jelek sedikitpun".
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin 'Abdullah, dia berkata:
"ketika Ka'bah direnovasi, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan
'Abbas bekerja mengangkut bebatuan, lalu 'Abbas berkata kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam :'tarik kainmu hingga sebatas lututmu
agar kamu tidak terluka oleh bebatuan, namun beliau tetap tersungkur
ke tanah dalam posisi terlentang sedangkan kedua mata beliau
mengarah ke langit, tak berapa lama kemudian beliau baru tersadar,
sembari berkata: 'mana kainku! mana kainku!'. Lalu beliau mengikat
kembali kain tersebut dengan kencang. Dan dalam riwayat yang
lain:'maka setelah itu, tidak pernah lagi 'aurat beliau kelihatan'.
Di kalangan kaumnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam memiliki
keistimewaan dalam tabi'at yang manis, akhlak yang mulia dan
sifat-sifat yang terpuji. Beliau merupakan orang yang paling utama
dari sisi muruu-ah (penjagaan kesucian dan kehormatan diri), paling
baik akhlaknya, paling agung dalam bertetangga, paling besar tingkat
kelemahlembutannya, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya,
paling suci jiwanya, paling dermawan dalam kebajikan, paling baik
dalam beramal, paling menepati janji serta paling amanah sehingga
beliau dijuluki oleh mereka dengan al-Amiin. Hal itu semua lantaran
bertemunya kepribadian yang shalih dan pekerti yang disenangi. Maka
pantaslah dikatakan terhadap beliau sebagaimana yang dikatakan oleh
Ummul Mukminin, Khadijah radhiallâhu 'anha ; "orang yang memikul
beban si lemah, memberi nafkah terhadap si papa (orang yang tidak
memiliki/tanpa apa-apa), menjamu tetamu dan selalu menolong dalam
upaya penegakan segala bentuk kebenaran. Rabu, 26/9/2001=9/7/1422 |