Periode Mekah
Kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan nubuwwah dan risalah
terbagi menjadi dua periode yang masing-masing memiliki keistimewaan
tersendiri secara total, yaitu:
PERIODE MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang 13 tahun
PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh
Dan masing-masing periode mengalami beberapa tahapan sedangkan
masing-masing tahapan memiliki karakteristik tersendiri yang
menonjolkannya dari yang lainnya. Hal itu akan tampak jelas setelah
kita melakukan penelitian secara seksama dan detail terhadap kondisi
yang dilalui oleh dakwah dalam kedua periode tersebut.
Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
Tahapan dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama
tiga tahun.
Tahapan dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari
permulaan tahun ke-empat kenabian hingga hijrah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam ke Madinah.
Tahapan dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya di kalangan
penduduknya; dari penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana juga
mencakup Periode Madinah- dan berlangsung hingga akhir hayat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Adapun mengenai tahapan-tahapan Periode Madinah maka rincian
pembahasannya akan diketengahkan pada tempatnya nanti.
DIBAWAH NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN
Di Gua Hira'
Setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang
pemisah antara pemikiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan
kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi untuk mengasingkan diri.
Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40 tahun; beliau
membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira' yang terletak di
jabal an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini
merupakan gua yang indah, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta
dengan ukuran zira' al-Hadid (hasta ukuran besi). Di dalam gua
tersebut, beliau berpuasa bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang
miskin yang mengunjunginya. Beliau menghabiskan waktunya dalam
beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan
adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu. Kaumnya yang masih
menganut 'aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh
membuatnya tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang
jelas, manhaj yang terprogram serta cara yang terarah yang
membuatnya tenang dan setuju dengannya.
Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang diambil oleh beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir (aturan)
Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya hubungannya dengan
kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan nestapa-nestapa
kecil yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan dalam
mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya
sehingga siap mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan
meluruskan garis sejarah. 'Uzlah yang sudah ditadbir oleh Allah ini
terjadi tiga tahun sebelum beliau ditaklif dengan risalah. Beliau
mengambil jalan 'uzlah ini selama sebulan dengan semangat wujud yang
bebas dan mentadabburi kehidupan ghaib yang tersembunyi dibalik
wujud tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan
kehidupan ghaib ini saat Allah memperkenankannya.
Jibril 'alaihissalam turun membawa wahyu
Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh tahun- yaitu usia
yang melambangkan kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa
diusia inilah para Rasul diutus – tanda-tanda nubuwwah (kenabian)
sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya sebuah batu di
Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ar-Ru'ya
–ash-Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh
yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan –masa
kenabian berlangsung selama dua puluh tiga tahun- dan ar-Ru'ya ash-Shadiqah
ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika
memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya ('uzlah) di gua Hira',
tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan
kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau,
berupa pengangkatan sebagai Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya
dengan membawa beberapa ayat al-Qur'an.
Setelah melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa
bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat menentukan persisnya
pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan
Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M.
Tepatnya usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas
hari menurut penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan;
hijriyyah) dan sekitar tiga puluh sembilan tahun tiga bulan dua
puluh hari; ini menurut penanggalan syamsiyyah (berdasarkan
peredaran matahari; masehi).
Mari kita dengar sendiri 'Aisyah ash-Shiddiqah radhiallâhu 'anha
menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan
noktah permulaan nubuwwah tersebut dan yang mulai membuka
tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan sehingga dapat mengubah
alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah; 'Aisyah radhiallâhu 'anha
berkata: "Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam adalah berupa ar-Ru'ya ash-Shalihah (mimpi
yang benar) dalam tidur dan ar-Ru'ya itu hanya berbentuk fajar
shubuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi
penyendirian dan melakukannya di gua Hira'; beribadah di dalamnya
beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya.
Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke
Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran
kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira' tersebut, seorang
malaikat datang menghampiri sembari berkata: "bacalah!", lalu aku
menjawab (ini adalah jawaban Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh
pengarang buku ini dinukil langsung dari naskah asli haditsnya-red):
"aku tidak bisa membaca!". Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
bertutur lagi: "kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku
kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata:
"bacalah!". Aku tetap menjawab: "aku tidak bisa membaca!". Lalu dia
untuk kedua kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan
bertenaga kemudian melepaskanku seraya berkata lagi: "bacalah!".
Lalu aku tetap menjawab: "aku tidak bisa membaca!". Kemudian dia
melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, sembari berkata:
"bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu lah
Yang Paling Pemurah". (Q.S. al-'Alaq: 1-3). Rasulullah pulang dengan
merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan
menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap: "selimuti aku!
Selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga rasa ketakutannya
hilang.
Beliau bertanya kepada Khadijah: "apa yang terjadi terhadapku ini?".
Lantas beliau menceritakan pengalamannya, dan berkata: "aku amat
khawatir terhadap diriku!". Khadijah berkata: "sekali-kali tidak
akan! Demi Allah! Dia Ta'ala tidak akan menghinakanmu selamanya!
Sungguh engkau adalah penyambung tali rahim, pemikul beban orang
lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu
tamu serta penolong setiap upaya menegakkan kebenaran". Kemudian
Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui Waraqah bin Naufal
bin Asad bin 'Abdul 'Uzza, anak paman Khadijah (sepupunya). Dia
(anak pamannya tersebut) adalah seorang yang menganut agama Nashrani
pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan 'Ibrani dan
sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis
–sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan 'Ibrani.
Dia juga, seorang yang sudah tua renta dan buta; ketika itu Khadijah
berkata kepadanya: "wahai anak pamanku! Dengarkanlah (cerita) dari
anak saudaramu!". Waraqah berkata: "wahai anak laki-laki saudara
(laki-laki)-ku! Apa yang engkau lihat?". Lalu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya.
Waraqah berkata kepadanya: "sesungguhnya inilah sebagaimana ajaran
yang diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan
muda ketika itu nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau
diusir oleh kaummu!". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
berkata kepadanya: "benarkah mereka akan mengusirku?". Dia menjawab:
"ya! Tidak seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa
melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu
niscaya aku akan membantumu dengan sekuat tenaga". Kemudian tak
berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus
(mengalami masa stagnan).
Masa Stagnan Turunnya Wahyu
Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dari Ibnu
Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa stagnan itu berlangsung
selama beberapa hari ; pendapat inilah yang rajih/kuat bahkan
setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus
harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu
berlangsung selama tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah
shahih sama sekali, namun disini bukan pada tempatnya untuk
membantah hal itu secara detail.
Pada masa stagnan tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dirundung kesedihan yang mendalam yang diselimuti oleh rasa
kebingungan dan panik.
Dalam kitab "at-Ta'bir" , Imam Bukhari meriwayatkan naskah sebagai
berikut:" menurut berita yang sampai kepada kami, wahyupun mengalami
stagnan hingga membuat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sedih dan
berkali-kali berlarian agar dia dapat terjerembab ke ujung
jurang-jurang gunung, namun setiap beliau mencapai puncak gunung
untuk mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya
sembari berkata: "wahai Muhammad! Sesungguhnya engkau sebenar-benar
utusan Allah!". Spirit ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali
jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun manakala masa
stagnan itu masih terus berlanjut beliaupun mengulangi tindakan
sebagaimana sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung,
malaikat Jibril menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti
sebelumnya (memberi spirit kepada beliau-red)".
Jibril 'alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu
Ibnu Hajar berkata: "Masa stagnan itu sungguh telah menghilangkan
ketakutan yang telah dialami oleh beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam dan membuatnya bersemangat untuk kembali mengalaminya. Dan
ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti
datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril 'alaihissalam untuk
kedua kalinya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin 'Abdullah
bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menceritakan tentang masa stagnan itu, beliau bercerita: "Ketika aku
tengah berjalan-jalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal
dari langit, lalu aku mendongakkan pandangan ke arah langit,
ternyata malaikat yang dulu mendatangiku ketika di gua Hira' duduk
diatas kursi antara langit dan bumi. Melihat hal itu aku terkejut
hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku mendatangi keluargaku
sembari berkata: 'selimutilah aku! Selimutilah aku!'. Lantas mereka
menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat
al-Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhal muddatstsir….hingga
firmanNya: …fahjur'. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu
tetap terjaga dan datang secara teratur". Dalam hadits yang shahih:
" Aku tinggal di dekat gua Hira' selama sebulan; tatkala aku sudah
selesai melakukan itu, maka aku turun gunung. Dan ketika aku sampai
ke sebuah lembah dan aku dipanggil oleh seseorang…". Kemudian (teks
hadits selanjutnya-red) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
menyebutkan (cerita) sebagaimana yang telah dikemukakan diatas yang
intinya; bahwa ayat tersebut turun setelah sempurnanya beliau
menyertai bulan Ramadhan dan dengan begitu, artinya masa stagnan
antara dua wahyu tersebut berlangsung selama sepuluh hari sebab
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tidak sempat lagi menyertai
Ramadhan berikutnya setelah turunnya wahyu pertama.
Ayat-ayat tersebut merupakan permulaan dari masa kerasulan (risalah)
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam alias datang setelah masa
kenabian (nubuwwah) yang berjarak selama masa stagnan turunnya
wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis taklif (pembebanan
syara') beserta penjelasan konsekuensinya.
Jenis pertama adalah mentaklif beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
dengan penyampaian (al-Balagh) dan peringatan ( at- Tahzir) saja.
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala: "bangunlah! Lalu berilah
peringatan" (Surat al-Muddatstsir:2); makna ayat ini adalah agar
beliau memperingatkan manusia akan azab Allah atas mereka jika
mereka tidak bertaubat dari dosa, kesesatan, beribadah kepada selain
Allah Yang Maha Tinggi serta berbuat syirik kepadaNya dalam zat,
sifat-sifat, hak-hak dan perbuatan-perbuatan.
Jenis kedua adalah mentaklif beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
dengan penerapan perintah-perintah Allah Ta'ala terhadap zatNya dan
komitmen terhadapnya dalam jiwa beliau agar mendapatkan keridhaan
Allah dan menjadi suri teladan yang baik bagi orang yang beriman
kepada Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat berikutnya. FirmanNya
Ta'ala: "dan Rabb-mu agungkanlah!"(al-Muddatstsir: 3); maknanya
adalah khususkanlah Dia Ta'ala dengan pengagungan dan janganlah
menyekutukanNya dengan seseorangpun. Dan firmanNya: "dan pakaianmu
bersihkanlah!" (al-Muddatstsir:4); makna lahiriyahnya adalah
menyucikan/membersihkan pakaian dan jasad sebab tidaklah layak bagi
orang yang mengagungkan Allah dan menghadapNya dalam kondisi
dilumuri oleh najis dan kotor. Jika saja kesucian/kebersihan ini
dituntut untuk dilakukan maka kesucian/kebersihan diri dari
virus-virus syirik, pekerjaan dan akhlak yang hina tentunya lebih
utama untuk dituntut. Dan firmanNya: "dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah!" (al-Muddatstsir:5) ; maknanya adalah
jauhkanlah dari sebab-sebab turunnya kemurkaan Allah dan azabNya,
dan hal ini direalisasikan melalui komitmen untuk ta'at kepadaNya
dan meninggalkan maksiat. Sedangkan firmanNya: "dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!"
(al-Muddatstsir: 6); yakni janganlah kamu berbuat baik dengan
menginginkan upah dari manusia atasnya atau balasan yang lebih utama
di dunia ini.
Adapun makna ayat terakhir (yang diturunkan saat itu kepada
beliau-red); didalamnya terdapat peringatan akan adanya gangguan
dari kaumnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berbeda
agama dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah semata dan
memperingatkan mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam
firmanNya: "dan untuk memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!"
(al-Muddatstsir: 7).
Permulaan ayat-ayat tersebut (surat al-Muddatstsir) berbicara
tentang panggilan langit nan agung- terekam dalam suara Yang Maha
Besar dan Maha Tinggi- yang mengajurkan agar Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia ini dan
memerintahkannya agar mengenyahkan tidur, selimut dan
berhangat-hangat guna menyongsong panggilan jihad, berjuang dan
menempuh jalan penuh ranjau; ini tergambar dalam firmanNya: "Hai
orang yang berselimut! bangunlah! Lalu berilah peringatan" (Surat
al-Muddatstsir:2) . Seakan-akan dikatakan (kepada beliau Shallallahu
'alaihi wasallam ): sesungguhnya orang yang hanya hidup untuk
kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan nyaman
sedangkan engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya
tidur bagimu? Apa gunanya istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya
permadani yang hangat bagimu? Apa gunanya hidup yang tenang bagimu?
Apa gunanya kesenangan yang membuaikan bagimu? Bangunlah untuk
melakukan urusan maha penting yang menunggumu dan beban berat yang
disediakan untukmu! Bangunlah untuk berjuang, bergiat-giat, bekerja
keras dan berletih-letih! Bangunlah! Karena waktu tidur dan
istirahat sudah berlalu, dan tidak akan kembali lagi sejak hari ini;
yang ada hanyalah mata yang meronda secara kontinyu, jihad yang
panjang dan melelahkan. Bangunlah! Persiapkan diri menyambut urusan
ini dan bersiagalah!.
Sungguh ini merupakan ucapan agung dan kharismatik yang (seakan)
melucuti beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dari kehangatan
permadani di suatu rumah yang nyaman dan pelukan yang suam untuk
kemudian melemparkannya keluar menuju samudera luas yang diselimuti
oleh deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan samudera) dimana
terjadi tarik menarik yang membuat posisinya di hati manusia dan
realitas hidup sama saja.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah bangun dan tetap
bangun setelah perintah itu selama lebih dari dua puluh tahun; tidak
pernah beristirahat dan tidak pula hanya hidup untuk kepentingan
dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas pondasi
dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat
namun beliau tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka
bumi ini, beban manusia secara keseluruhan, beban 'aqidah secara
keseluruhan, beban perjuangan dan jihad di medan-medan yang berbeda.
Beliau hidup menghadapi pertempuran yang kontinyu selama lebih dari
dua puluh tahun. Selama tenggang waktu ini, tidak satupun hal yang
dapat membuatnya lengah, yaitu sejak beliau mendengar panggilan
langit nan agung yang menyerahkan taklif yang begitu dahsyat untuk
diembannya… semoga Allah membalas jasa beliau terhadap manusia
secara keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.
Sekilas ulasan tentang urutan kronologi turunnya wahyu
Sebelum beranjak ke penjelasan detail mengenai kehidupan di bawah
naungan risalah dan nubuwwah, kami melihat perlu kita mengetahui
urutan kronologi turunnya wahyu yang merupakan sumber risalah dan
tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika menyinggung urutan
kronologi turunnya wahyu tersebut:
Pertama, berupa ar-Ru'ya ash-Shaadiqah (mimpi yang benar);
ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada beliau Shallallahu
'alaihi wasallam.
Kedua, berupa sesuatu yang ditimbulkan oleh malaikat terhadap
rau' (hati yang ketakutan, akal) dan hatinya tanpa dapat melihatnya;
hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :
"Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril 'alaihissalam)
menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan) bahwasanya
jiwa tidak akan mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena
itu, bertakwalah kalian kepada Allah, berindah-indahlah dalam
meminta serta janganlah keterlambatan rizki atas kalian mendorong
kalian untuk memintanya dengan cara melakukan perbuatan maksiat
kepadaNya, karena sesungguhnya apa yang ada disisi Allah tidak akan
didapat kecuali dengan berbuat ta'at kepadaNya".
Ketiga, berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki;
lantas dia mengajak beliau berbicara hingga mengingat dengan jelas
apa yang dikatakan kepadanya. Dalam urutan ini, terkadang para
shahabat melihat malaikat tersebut.
Keempat, berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada
beliau; peristiwa ini merupakan pengalaman yang paling berat bagi
beliau dimana malaikat memakai cara ini hingga membuat keningnya
mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang amat dingin.
Demikian pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi
bila beliau menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti
kondisi tersebut dan saat itu paha beliau ditaruh diatas paha Zaid
bin Tsabit yang seketika dirasakan olehnya (Zaid) demikian berat
sehingga hampir saja remuk.
Kelima, berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat
langsung oleh beliau, lalu diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu
yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa seperti ini dialami oleh
beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam
surat an-Najm.
Keenam, berupa wahyu yang diwahyukan kepada beliau; yaitu
saat beliau berada diatas lelangit pada malam mi'raj , diantaranya
ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.
Ketujuh, berupa Kalamullah kepada beliau (dariNya kepadanya)
tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Allah berbicara kepada Musa
bin 'Imran; peristiwa seperti ini terjadi dan diabadikan secara
qath'i berdasarkan nash al-Qur'an. Sedangkan terhadap Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara
tentang Isra' .
Sebagian para ulama menambah urutannya menjadi delapan,
yaitu; Allah berbicara kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
secara langsung tanpa hijab; ini merupakan permasalahan yang
diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian, sebagaimana
yang dituturkan oleh Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam
penjelasan tentang urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang
benar, bahwa urutan terakhir ini (kedelapan) tidak tsabit (valid dan
dipercaya keabsahan riwayatnya-red). Sabtu, 10/8/1422 H=27/10/2001 M |