Berdakwah Secara
Terang-Terangan
Perintah Pertama untuk menampakkan Dakwah
Sehubungan dengan hal ini, ayat pertama yang turun adalah firmanNya:
"dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat" (Q.S.26/asy-Syu'ara'
: 214). Terdapat jalur cerita sebelumnya yang menyinggung kisah Musa
'alaihissalaam dari permulaan kenabiannya hingga hijrahnya bersama
Bani Israil, lolosnya mereka dari kejaran Fir'aun dan kaumnya serta
tenggelamnya fir'aun bersama kaumnya. Kisah ini mengandung beberapa
tahapan yang dilalui oleh Musa 'alaihissalaam dalam dakwahnya
terhadap Fir'aun dan kaumnya agar menyembah Allah.
Seakan-akan rincian ini hanya dipaparkan seiring dengan perintah
kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam agar berdakwah kepada
Allah secara terang-terangan sehingga dihadapan beliau dan para
shahabatnya terdapat contoh dan gambaran yang akan dialami oleh
mereka nantinya;yaitu berupa pendustaan dan penindasan manakala
mereka melakukan dakwah tersebut secara terang-terangan. Demikian
pula, agar mereka mawas diri dalam melakukan hal itu dan berdasarkan
ilmu semenjak awal memulai dakwah mereka tersebut.
Disamping itu, surat tersebut (asy-Syu'ara') juga berbicara mengenai
nasib yang akan dialami oleh pendusta-pendusta para Rasul,
diantaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum nabi Nuh, kaum 'Ad
dan Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta Ashhabul Aykah (selain
yang berkaitan dengan perihal Fir'aun dan kaumnya). Hal itu semua
dimaksudkan agar mereka yang melakukan pendustaan mengetahui bahwa
mereka akan mengalami nasib yang sama seperti nasib kaum-kaum
tersebut dan mendapatkan pembalasan dari Allah bila melakukan hal
yang sama. Demikian pula, agar kaum Mukminin tahu bahwa kesudahan
yang baik dari itu semua akan berpihak kepada mereka bukan kepada
para pendusta tersebut.
Berdakwah di kalangan Kaum Kerabat
Setelah menerima perintah dalam ayat tersebut, Rasululullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang keluarga terdekatnya, Bani
Hasyim. Mereka datang memenuhi undangan itu disertai oleh beberapa
orang dari Bani al-Muththalib bin 'Abdi Manaf. Mereka semua
berjumlah sekitar 45 orang laki-laki. Namun tatkala Rasulullah ingin
berbicara, tiba-tiba Abu Lahab memotongnya sembari berkata: "mereka
itu (yang hadir) adalah paman-pamanmu, anak-anak mereka; bicaralah
dan tinggalkanlah masa kekanak-kanakan! Ketahuilah! Bahwa kaummu
tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan seluruh bangsa Arab.
Akulah orang yang berhak membimbingmu. Cukuplah bagimu suku-suku
dari pihak bapakmu. Bagi mereka, jika engkau ngotot melakukan
sebagaimana yang engkau lakukan sekarang, adalah lebih mudah
ketimbang bila seluruh suku Quraisy bersama-sama bangsa Arab
bergerak memusuhimu. Aku tidak pernah melihat seseorang yang datang
kepada suku-suku dari pihak bapaknya dengan membawa suatu yang lebih
jelek dari apa yang telah engkau bawa ini". Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam hanya diam dan tidak berbicara pada majlis itu.
Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang mereka lagi,
dan berbicara: "alhamdulillah, aku memujiNya, meminta pertolongan,
beriman serta bertawakkal kepadaNya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
melainkan Allah semata Yang tiada sekutu bagiNya". Selanjutnya
beliau berkata: "sesungguhnya seorang pemimpin tidak mungkin
membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah yang tiada Tuhan
selainNya! Sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang datang kepada
kalian secara khusus, dan kepada manusia secara umum. Demi Allah!
sungguh kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan
dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian
akan dihisab (diminta pertanggungjawabannya) terhadap apa yang
kalian lakukan. Sesungguhnya yang ada hanya surga yang abadi atau
neraka yang abadi". Kamudian Abu Thalib berkomentar: "alangkah
senangnya kami membantumu, menerima nasehatmu, dan sangat
membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan suku-suku dari pihak
bapakmu telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah salah seorang
dari mereka namun aku adalah orang yang paling cepat merespek apa
yang engkau inginkan; oleh karena itu teruskan apa yang telah
diperintahkan kepadamu. Demi Allah! aku masih akan melindungi dan
membelamu akan tetapi diriku tidak memberikan cukup keberanian
kepadaku untuk berpisah dengan agama Abdul Muththalib ". Ketika itu,
berkata Abu Lahab: "demi Allah! ini benar-benar merupakan aib besar.
Ayo cegahlah dia sebelum dia berhasil menyeret orang lain selain
kalian!. Abu Thalib menjawab: "demi Allah! sungguh selama kami masih
hidup, kami akan membelanya".
Di atas Bukit Shafa
Setelah yakin tugasnya menyampaikan wahyu Rabbnya telah mendapatkan
perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam suatu hari berdiri tegak diatas bukit Shafa sembari
berteriak: " Ya shabaahah! (seruan untuk menarik perhatian orang
agar berkumpul di waktu pagi)". Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy.
Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam mengajak mereka kepada
tauhid, beriman kepada risalah yang dibawanya dan Hari Akhir.
Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari kisah ini, yaitu
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "tatkala
turun ayat {firmanNya: 'dan berilah peringatan kepada keluargamu
yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] } Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil-manggil : 'wahai
Bani Fihr! Wahai Bani 'Adiy! Seruan ini diarahkan kepada suku-suku
Quraisy. Kemudian tak berapa lama, merekapun berkumpul. Karena maha
pentingnya panggilan itu, seseorang yang tidak bisa keluar
memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan yang
terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisypun
berkumpul juga. Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
berbicara: 'bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan
kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana
yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?.
Mereka menjawab: 'ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain
kejujuran'. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: 'Sesungguhnya
aku adalah sebagai pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab
yang amat pedih'. Abu Lahab menanggapi: 'celakalah engkau sepanjang
hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?. Maka ketika
itu turunlah ayat {firmanNya: "binasalah kedua tangan Abu Lahab…"} [Q.S.
al-Masad: 1] ".
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi yang lain dari kisah
tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia
berkata: "Tatkala ayat ini turun {firmanNya: 'dan berilah peringatan
kepada keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] }
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam
skala umum ataupun khusus. Beliau berkata: 'wahai kaum Quraisy!
Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka'b!
Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti
Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah!
sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk menyelamatkan
kalian) dari azab Allah selain kalian memiliki ikatan rahim yang
akan aku sambung karenanya".
Teriakan yang keras ini merupakan bentuk dari esensi penyampaian
dakwah yang optimal dimana Rasulullah telah menjelaskan kepada
orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa
membenarkan risalah yang dibawanya tersebut adalah bentuk dari
efektifitas hubungan antara dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa
fanatisme kekerabatan yang dibudayakan oleh orang-orang Arab akan
lumer di bawah terik panasnya peringatan yang datang dari Allah
tersebut.
Menyampaikan al-Haq secara terang-terangan dan sikap kaum
Musyrikin terhadapnya
Teriakan lantang yang dipekikkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam tersebut masih terasa gaungnya di seluruh penjuru Mekkah.
Puncaknya saat turun firmanNya Ta'ala: "Maka sampaikanlah olehmu
secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik" (Q.S. al-Hijr: 94). Lalu
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan dakwah kepada
Islam secara terang-terangan (dakwah jahriyyah) di tempat-tempat
berkumpulnya kaum musyrikin dan di club-club mereka. Beliau
membacakan Kitabullah kepada mereka dan menyampaikan ajakan yang
selalu disampaikan oleh para Rasul terdahulu kepada kaum mereka: 'wahai
kaumku! Sembahlah Allah. kalian tidak memiliki Tuhan selainNya'.
Beliau juga, mulai memamerkan cara beribadahnya kepada Allah di
depan mata kepala mereka sendiri; beliau melakukan shalat di halaman
ka'bah pada siang hari secara terang-terangan dan dihadapan khalayak
ramai.
Dakwah yang beliau lakukan tersebut semakin mendapatkan sambutan
sehingga banyak orang yang masuk ke dalam Dienullah satu per-satu.
Namun kemudian antara mereka (yang sudah memeluk Islam) dan keluarga
mereka yang belum memeluk Islam terjadi gap; saling membenci,
menjauhi dan berkeraskepala. Melihat hal ini, kaum Quraisy merasa
gerah dan pemandangan semacam ini amat menyakitkan mereka.
Sidang Majlis membahas upaya menghalangi Jemaah Haji agar tidak
mendengarkan Dakwah Muhammad
Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain yang membuat kaum Quraisy
gundah gulana; yaitu bahwa belum beberapa hari atau bulan saja
dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa) mendekati
musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi
Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat
perlunya merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat)
mereka sampaikan kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar
dakwah yang disiarkannya tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap jiwa-jiwa mereka (delegasi Arab tersebut). Maka
berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah untuk
membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama
tersebut. Lalu al-Walid berkata:" Bersepakatlah mengenai perihalnya
(Muhammad) dalam satu pendapat dan janganlah berselisih sehingga
membuat sebagian kalian mendustakan pendapat sebagian yang lain dan
sebagian lagi menolak pendapat sebagian yang lain".
Mereka berkata kepadanya: "Katakan kepada kami pendapatmu yang akan
kami jadikan acuan!".
Lalu dia berkata: "justru kalian yang harus mengemukakan pendapat
kalian biar aku dengar dulu".
Mereka berkata: "(kita katakan) dia (Muhammad) adalah seorang dukun".
Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah dia bukanlah seorang dukun. Kita
telah melihat bagaimana kondisi para dukun sedangkan yang
dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera)
para dukun".
Mereka berkata lagi: "kita katakan saja; dia seorang yang gila".
Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah! dia bukan seorang yang gila. Kita
telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang
dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun
was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut".
Mereka berkata lagi: "kalau begitu kita katakan saja; dia adalah
seorang Penya'ir' ".
Dia menjawab: "Dia bukan seorang Penya'ir. Kita telah mengenal semua
bentuk sya'ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya
sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya'ir".
Mereka berkata lagi: "Kalau begitu; dia adalah Tukang sihir".
Dia menjawab: "Dia bukanlah seorang Tukang sihir. Kita telah melihat
para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka sedangkan yang
dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun 'uqad (buhul-buhul)
mereka".
Mereka kemudian berkata: "kalau begitu, apa yang harus kita katakan?".
Dia menjawab: "Demi Allah! sesungguhnya ucapan yang dikatakannya itu
amatlah manis dan mengandung sihir (saking indahnya). Akarnya ibarat
tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah
kalian merangkai sesuatupun sepertinya melainkan akan diketahui
kebathilannya. Sesungguhnya, pendapat yang lebih dekat mengenai
dirinya adalah dengan mengatakan bahwa dia seorang Tukang sihir yang
mengarang suatu ucapan berupa sihir yang mampu memisahkan antara
seseorang dengan bapaknya, saudaranya dan isterinya. Mereka semua
menjadi terpisah lantaran hal itu".
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa tatkala al-Walid menolak semua
pendapat yang mereka kemukakan kepadanya; mereka berkata kepadanya:
"kemukakan kepada kami pendapatmu yang tidak ada celanya!". Lalu dia
berkata kepada mereka: "beri aku kesempatan barang sejenak untuk
memikirkan hal itu!". Lantas al-Walid berfikir dan menguras
fikirannya hingga dia dapat menyampaikan kepada mereka pendapatnya
tersebut sebagaimana yang disinggung diatas.
Dan mengenai al-Walid ini, Allah Ta'ala menurunkan enam belas ayat
dari surat al-Muddatstsir, yaitu dari ayat 11 hingga ayat 26;
dipertengahan ayat-ayat tersebut terdapat gambaran bagaimana dia
berfikir keras, Dia Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya dia telah
memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya) [18]. maka
celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan,[19]. kemudian celakalah
dia! Bagaimanakah dia menetapkan, [20]. kemudian dia memikirkan,
[21]. sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, [22]. kemudian dia
berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, [23]. lalu dia
berkata:"(al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari
orang-orang dahulu), [24]. ini tidak lain hanyalah perkataan manusia".
[25].
Setelah majlis menyepakati keputusan tersebut, mereka mulai
melaksanakannya; duduk-duduk di jalan-jalan yang dilalui orang
hingga delegasi Arab datang pada musim haji. Setiap ada orang yang
lewat, mereka peringatkan dan singgung kepadanya perihal Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Sedangkan yang dilakukan oleh Rasululllah Shallallâhu 'alaihi
wasallam manakala sudah datang musimnya adalah mengikuti dan
membuntuti orang-orang sampai ke rumah-rumah mereka, di pasar 'Ukazh,
Majinnah dan Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka ke jalan Allah namun
Abu Lahab yang selalu membuntuti di belakang beliau memotong setiap
ajakan beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan berbalik
mengatakan kepada mereka: "jangan kalian ta'ati dia karena
sesungguhnya dia adalah seorang Shabi' (orang yang mengikuti
syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang yang menyembah bintang
atau menyembah dewa-dewa) lagi Pendusta".
Akhir yang terjadi, justru dari musim itu delegasi Arab banyak
mengetahui perihal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sehingga
namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.
Metode-Metode yang digunakan dalam menghadapi Dakwah Islamiyyah
Manakala kaum Quraisy menyelesaikan rituil haji, mereka segera
memikirkan metode-metode yang bakal digunakan dalam menghadapi
dakwah Islamiyyah di tempat bertolaknya, lalu mereka memilih
beberapa metode berikut:
Mengejek, menghina, merendahkan, mendustai dan menertawakan :
Target mereka adalah menghinakan kaum Muslimin dan melemahkan
semangat juang mereka. Mereka menuduh nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam dengan tuduhan-tuduhan yang kerdil dan celaan-celaan yang
nista; menjuluki beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai orang
gila , dalam firmanNya: "dan mereka berkata: "Hai orang yang
diturunkan kepadanya adz-Dzikr (al-Qur'an), sesungguhnya engkau
adalah orang yang benar-benar gila". (Q.S.15/ al-Hijr: 6). Mereka
juga menuduh beliau sebagai tukang sihir dan pendusta, dalam
firmanNya: "Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang
pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang
kafir berkata :"ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta".
(Q.S. 38/Shaad: 4). Mereka mengunjungi dan menyambut beliau dengan
penuh rasa dendam dan gemuruh kemarahan, {Allah berfirman} :" Dan
sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir
menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka
mendengar al-Qur'an dan mereka berkata:"Sesungguhnya ia (Muhammad)
benar-benar orang yang gila". (QS. 68/al-Qalam:51).
Bila beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang duduk-duduk dan
disekitarnya shabat-shahabat beliau yang terdiri dari al-
Mustadh'afun (kaum-kaum lemah), mereka mengejek sembari berkata:
"(semacam) mereka itulah teman-teman duduk (ngobrol) nya, {Allah
berfirman}: "orang-orang semacam itukah diantara kita yang diberi
anugerah oleh Allah kepada mereka?". (Q.S. 6/al-An'am: 53), lalu
Allah membantah ucapan mereka tersebut: "Tidakkah Allah mengetahui
tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?". (Q.S. 6/al-An'am:
53). Kondisi mereka sebenarnya persis sebagaimana yang dikisahkan
oleh Allah kepada kita, dalam firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang
yang berdusta, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) mentertawakan
orang-orang yang beriman (29). Dan apabila orangp-orang beriman lalu
di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan matanya (30). Dan
apabila ornag-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka
kembali dengan gembira (31). Dan apabila mereka melihat orang-orang
mukmin, mereka mengatakan: 'sesungguhnya mereka itu benar-benar
orang-orang yang sesat (32). Padahal orang-orang yang berdosa itu
tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin (33)". [Q.S.
83/al-Muththaffifiin: 29-33].
Memperburuk citra ajaran-ajaran yang dibawanya, menyebarkan
syubhat-syubhat, mempublikasikan dakwaan-dakwaan dusta, menyiarkan
statement-statement yang keliru seputar ajaran-ajaran, diri dan
pribadi beliau serta membesar-besarkan tentang hal itu:
Tindakan tersebut mereka maksudkan untuk tidak memberi kesempatan
kepada orang-orang awam merenungi dakwahnya: Mereka selalu berkata
tentang al-Qur'an: {Allah berfirman}: "dongengan-dongengan
orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah
dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang" (Q.S.25/al-Furqan:
5). {Dan firmanNya}: " al-Qur'an ini tidak lain hanyalah kebohongan
yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang
lain…". (Q.S. 25/al-Furqan: 4). Mereka sering berkata: {dalam
firmanNya}: "sesungguhnya al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang
manusia kepadanya (Muhammad)". (Q.S. 16/an-Nahl: 103). Mereka juga
sering mengatakan tentang Rasululullah : {dalam firmanNya}: "mengapa
Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?".
(Q.S.25/al-Furqan: 7). Di dalam al-Qur'an terdapat banyak contoh
bantahan terhadap statement-statement mereka setelah menukilnya
ataupun tanpa menukilnya.
Menghalangi orang-orang agar tidak dapat mendengarkan al-Qur'an dan
mengimbanginya dengan dongengan-dongengan orang-orang dahulu serta
membuat sibuk mereka dengan hal itu:
Mereka menyebutkan bahwa an-Nadhar bin al-Harits pergi ke Hirah.
Disana dia belajar cerita-cerita tentang raja-raja Persia,
cerita-cerita tentang Rustum dan Asvandiar. Jika Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang duduk-duduk di suatu majlis
dalam rangka berwasiat kepada Allah dan mengingatkan manusia akan
pembalasan-Nya, maka seusai beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
melakukan hal itu; an-Nadhar berbicara kepada orang-orang sembari
berkata: "Demi Allah! ucapan Muhammad tersebut tidaklah lebih baik
dari ucapanku ini". Kemudian dia mengisahkan kepada mereka tentang
cerita raja-raja Persia, Rustum dan Asvandiar. Setelah itu, dia
berceloteh: "Kalau begitu, bagaimana bisa ucapan Muhammad lebih
bagus dari ucapanku ini?".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas disebutkan bahwa
an-Nadhar membeli seorang budak perempuan. Maka, setiap dia
mendengarkan ada seseorang yang tertarik terhadap Islam, dia segera
menggandengnya menuju budak perempuannya tersebut, lalu berkata
(kepada budak perempuannya): "beri dia makan, minum dan penuhi
kebutuhannya. Ini adalah lebih baik dari apa yang diajak oleh
Muhammad kepadamu". Maka turunlah ayat mengenai dirinya, Allah
berfirman: "Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan
Allah…". (Q.S.31/Luqman: 6).
Beragam Penindasan
Kaum Musyrikun menjalankan metode-metode terdahulu sedikit-demi
sedikit untuk mengekang perkembangan dakwah Islamiyyah setelah
kemunculannya pada permulaan tahun IV kenabian. Mereka baru sebatas
melakukan metode-metode tersebut selama beberapa minggu dan bulan,
tidak bergeser ke metode yang baru. Akan tetapi, manakala mereka
melihat bahwa metode-metode tersebut tidak membuahkan hasil sama
sekali dalam upaya menggagalkan dakwah Islamiyyah; mereka mengadakan
pertemuan sekali lagi untuk memusyawarahkan hal tersebut antar
sesama mereka. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan
penyiksaan terhadap kaum Muslimin dan menguji dien mereka. Tindakan
yang diambil pertama kali adalah bergeraknya masing-masing kepala
suku untuk menginterogasi siapa saja yang masuk Islam dari kabilah
mereka, kemudian ditindaklanjuti oleh bawahan dan kroco-kroco mereka.
Maka mulailah mereka mendera kaum Muslimin dengan berbagai siksaan
yang membuat bulu kuduk merinding dan hati tersayat-sayat
mendengarnya:
Adalah Abu Jahal, bila mendengar seorang laki-laki masuk Islam,
berketurunan bangsawan serta memiliki perlindungan (suaka), maka dia
mencaci, menghina serta mengancamnya dengan mengatakan bahwa dia
akan membuatnya mengalami kerugian materil dan psikologis. Sedangkan
bila orang tersebut lemah maka dia menggebuk dan menghasutnya.
'Utsman bin 'Affan digulung oleh pamannya ke dalam tikar yang
terbuat dari daun-daun kurma, kemudian diasapi dari bawahnya.
Mush'ab bin 'Umair, manakala ibundanya mengetahui keislamannya,
membiarkan dirinya kelaparan dan mengusirnya dari rumah padahal
sebelumnya dia termasuk orang yang hidup berkecukupan. Lantaran
tindakan ibundanya tersebut, kulitnya menjadi bersisik layaknya
kulit ular.
Shuhaib bin Sinan ar-Rumy disiksa hingga kehilangan ingatan dan
tidak memahami apa yang dibicarakannya sendiri.
Bilal, maula Umayyah bin Khalaf al-Jumahi mengalami perlakuan yang
sangat kejam dari majikannya. Pundaknya diikat dengan tali lantas
tali tersebut diserahkan kepada anak-anak kecil untuk diseret dan
dibawa keliling sepanjang pegunungan Mekkah. Akibatnya, bekas tali
tersebut masih nampak di pundaknya. Umayyah, sang majikan selalu
mengikatnya kemudian menderanya dengan tongkat. Kadang ia dipaksa
duduk di bawah teriknya sengatan matahari. Ia juga pernah dipaksa
lapar. Puncak dari itu semua adalah saat dia dibawa keluar pada hari
yang suhunya sangat panas, kemudian dibuang ke Bathha' (tanah lapang
berkerikil) Mekkah. Setelah itu, ia ditindih dengan batu besar dan
ditaruh ke atas dadanya. Ketika itu, berkata Umayyah
kepadanya:"Tidak, demi Allah! engkau akan tetap mengalami seperti
ini sampai engkau mati atau engkau kafir terhadap (ajaran) Muhammad
dan menyembah al-Laata dan al-'Uzza". Meskipun dalam kondisi
demikian, ia tetap berteriak: "Ahad, Ahad". Mereka terus menyiksanya
hingga suatu hari Abu Bakar melewatinya, lalu membelinya dan
menukarkannya dengan seorang anak berkulit hitam. Ada riwayat yang
mengatakan: dengan tujuh uqiyyah (satu uqiyyah= 12 dirham atau 28
gram-red) atau lima uqiyyah dari perak, kemudian beliau
memerdekakannya.
'Ammar bin Yasir maula Bani Makhzum sekeluarga radhiallaahu 'anhum ;
dia, ayahnya dan ibunya yang masuk Islam tak luput dari penganiayaan.
mereka diseret keluar menuju al-Abthah (suatu tempat di Mekkah) oleh
kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu suhu udara
sangat panas dan menyengat. Maka dalam kondisi seperti itulah mereka
menyiksa keluarga tersebut. Ketika mereka sedang menjalani siksaan,
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melintas di hadapan mereka sembari
bersabda: "Bersabarlah wahai Ali Yasir (keluarga besar Yasir)!
Sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga".
Yasir, ayahnya meninggal dunia dalam siksaan tersebut sedangkan
ibunya, Sumayyah ditusuk oleh Abu Jahal dari arah qubulnya dengan
tombak dan meninggal dunia seketika. Dialah syahidah (wanita yang
mati syahid) pertama dalam Islam. Setelah itu, kaum Musyrikin
tersebut meningkatkan frekuensi siksaan mereka terhadap 'Ammar;
terkadang dengan menjemurnya saja, terkadang dengan meletakkan batu
besar yang memerah (saking panasnya) diatas dadanya dan terkadang
dengan menenggelamkannya alias membenamkan mukanya ke dalam air.
Kala itu, mereka berkata kepadanya: "kami tidak akan terus
menyiksamu hingga engkau mencaci Muhammad atau mengatakan sesuatu
yang baik terhadap al-Laata dan al-'Uzza. Maka, dia pun secara
terpaksa menyetujui hal itu. Setelah itu dia mendatangi Nabi sambil
menangis dan meminta ma'af atas kejadian tersebut kepada beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ketika itu, turunlah ayat: "Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…". (Q.S. 16/an-Nahl: 106).
Abu Fakihah – namanya Aflah – seorang maula Bani 'Abdi ad-Daar
mukanya dijerembabkan oleh kaum Musyrikin ke tanah yang melepuh oleh
terik matahari, kemudian diletakkan diatas punggungnya sebuah batu
besar hingga dia tak dapat bergerak lagi. Dia dibiarkan dalam
keadaan demikian hingga hilang ingatan. Suatu kali, mereka mengikat
kakinya dengan tali, lalu menyeretnya dan melemparkannya ke tanah
yang melepuh oleh terik matahari seperti yang dilakukan terhadapnya
sebelumnya, kemudian mencekiknya hingga mereka mengira dia telah
mati. Saat itu, Abu Bakar melewatinya lalu membeli dan
memerdekakannya karena Allah Ta'ala.
Khabbab bin al-Aratt, maula Ummi Anmaar binti Siba' al-Khuza'iyyah
disiksa oleh kaum Musyrikin dengan aneka siksaan; rambutnya mereka
jambak dengan keras sekali, lehernya mereka betot dengan kasar lalu
melemparkannya ke dalam api yang membara kemudian –dalam kondisi
demikian- jasadnya mereka tarik sehingga api itu terpadamkan oleh
lemak yang meleleh dari punggungnya.
Dari kalangan budak Muslimah, terdapat riwayat Zunairah,
an-Nahdiyyah dan Ummu 'Ubais. Tatkala mereka masuk Islam, kaum
Musyrikinpun melakukan penyiksaan terhadap mereka sama seperti yang
telah dilakukan terhadap para shahabat sebelumnya diatas.
Seorang budak perempuan Bani Muammal – mereka adalah dari suku Bani
'Adiy – dipukul oleh 'Umar bin al-Khaththab, kala ia masih Musyrik,
dan manakala merasa jenuh, dia berkata: "sesungguhnya yang membuatku
membiarkanmu hanyalah karena kejenuhan".
Semua budak-budak wanita tersebut dibeli oleh Abu Bakar kemudian
dimerdekakannya sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap Bilal
dan 'Amir bin Fuhairah.
Kaum Musyrikin juga pernah membungkus sebagian shahabat dalam
buntalan yang terbuat dari kulit onta dan sapi, kemudian dilempar ke
bumi yang sudah melepuh oleh terik matahari. Sedangkan sebagian yang
lain, pernah mereka kenakan baju besi lantas dilemparkan ke atas
batu besar yang memanas.
Deretan para korban yang disiksa karena membela dienullah demikian
panjang dan amat histeris. Pokoknya, siapa saja yang mereka ketahui
telah memeluk Islam maka tak ayal akan dihadang geraknya dan
disakiti.
Sikap Kaum Musyrikin terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam
Adapun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam (kala itu) tidaklah
mengalami siksaan yang sedemikian. Beliau adalah seorang ksatria,
terhormat dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan sama-sama
segan dan mengagungkannya; setiap orang yang berjumpa dengannya,
pasti akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak
seorangpun yang berani melakukan perbuatan tak senonoh dan hinadina
terhadap beliau selain manusia-manusia kerdil dan picik. Disamping
itu, beliau juga mendapatkan perlindungan (suaka) dari pamannya, Abu
Thalib yang merupakan tokoh terpandang di Mekkah. Dia memang
terpandang nasabnya dan disegani orang. Oleh karena itu, amatlah
sulit bagi seseorang untuk melecehkan orang yang sudah berada dalam
perlindungannya. Kondisi ini tentu amat mencemaskan kaum Quraisy dan
membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat berbuat banyak. Hal
ini, memaksa mereka untuk memikirkan secara jernih jalan keluarnya
tanpa harus berurusan dengan wilayah larangan yang bila tersentuh
tentu akibatnya tidak diharapkan. Akhirnya, mereka mendapatkan ide
penyelesaiannya, yaitu dengan memilih jalan berunding dengan sang
penanggung jawab terbesar; Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan
lebih banyak melakukan pendekatan secara hikmah dan ekstra serius,
disisipi dengan trik menantang dan ultimatum terselubung sampai dia
mau tunduk dan mendengarkan apa yang mereka katakan.
Utusan Quraisy menghadap Abu Thalib
Ibnu Ishaq berkata: "sekelompok tokoh bangsawan kaum Quraisy
menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya: 'wahai Abu Thalib!
Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela
agama kita, membuyarkan impian kita dan menganggap sesat nenek-nenek
moyang kita. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif:
mencegahnya atau membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini.
Sesungguhnya kondisimu adalah sama seperti kami, tidak sependapat
dengannya, oleh karena itu kami berharap dapat mengandalkanmu dalam
menjinakkannya'. Abu Thalib berkata kepada mereka dengan tutur kata
yang lembut dan membalasnya dengan cara yang halus dan baik. Setelah
itu mereka pun akhirnya undur diri. Sementara itu, Rasulullah tetap
melakukan aktivitas seperti biasanya; mengkampanyekan dienullah dan
mengajak kepadanya". Akan tetapi, orang-orang Quraisy tidak dapat
berlama-lama sabar manakala melihat beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam terus melakukan aktivitasnya tersebut dan berdakwah kepada
Allah bahkan hal itu semakin membuat mereka mempersoalkannya dan
mengumpatinya. Lantaran itu pula, mereka kemudian memutuskan untuk
menghadap Abu Thalib sekali lagi namun dengan cara yang lebih kasar
dan keras daripada sebelumnya.
Kaum Quraisy mengultimatum Abu Thalib
Para tokoh kaum Quraisy kembali mendatangi Abu Thalib seraya berkata
kepadanya: "wahai Abu Thalib! Sesungguhnya kami menghargai usia,
kebangsawanan dan kedudukanmu. Dan sesungguhnya pula, kami telah
memintamu menghentikan gelagat keponakanmu itu, namun engkau tidak
melakukannya. Sesungguhnya kami, demi Allah! tidak akan mampu
bersabar atas perbuatan mencela nenek moyang kami, membuyarkan
impian kami dan mencemooh tuhan-tuhan kami hingga engkau mencegahnya
sendiri atau kami yang akan membuat perhitungan dengannya dan
denganmu sekaligus. Setelah itu, kita lihat siapa diantara dua
kelompok ini yang akan binasa".
Ancaman dan ultimatum yang keras tersebut sempat membuat nyali Abu
Thalib bergetar juga, karenanya dia menyongsong Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata kepadanya: "wahai
keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah mendatangiku dan mengatakan
begini dan begitu kepadaku. Oleh karena itu berdiamlah demi
kemaslahatanku dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku
dengan sesuatu yang tak mampu aku lakukan!". Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam mengira bahwa dengan ini pamannya telah
mengucilkannya dan tak mampu lagi melindungi dirinya, maka beliaupun
menjawab: "wahai pamanku! Demi Allah! andaikata mereka letakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku
meninggalkan agama ini -hingga Allah memenangkannya atau aku binasa
karenanya- niscaya aku tidak akan meninggalkannya". Beliau
mengungkapkannya dengan berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri
untuk berpaling namun ketika itu, pamannya memanggilnya dan
menghampirinya sembari berkata: "Pergilah wahai keponakanku!
Katakanlah apa yang engkau suka, demi Allah! aku tidak akan pernah
selamanya menyerahkanmu kepada siapapun!". Lalu dia merangkai
beberapa untai bait (artinya):
Demi Allah! mereka semua tidak akan dapat menjamahmu
Hingga aku terkubur berbantalkan tanah
Berterang-teranganlah dengan urusanmu, tiada cela bagimu
Bergembira dan bersuka citalah dengan hal itu
Kaum Quraisy kembali menghadap Abu Thalib
Tatkala kaum Quraisy melihat Rasulullah masih terus melakukan
aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib tak berkeinginan untuk
mengucilkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan telah bulat
hatinya untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai
upaya membujuk, mereka membawa 'Imarah bin al-Walid bin al-Mughirah
ke hadapannya seraya berujar:"wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini ada
seorang pemuda yang paling rupawan dan tampan di kalangan kaum
Quraisy! Ambillah dia, maka dengan begitu, engkau dapat berbuat
sesukamu; mengikatnya atau membebaskannya (membelanya). Jadikanlah
dia sebagai anakmu, maka dia jadi milikmu. Lalu serahkan kepada kami
keponakanmu yang telah menyelisihi agamamu dan agama nenek-nenek
moyangmu itu, menceraiberaikan persatuan kaummu, membuyarkan impian
mereka untuk kami bunuh. Ini adalah barter diantara kita dan menjadi
impas; seorang dengan seorang". Abu Thalib menjawab: "Demi Allah!
sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan! Apakah kalian
ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan untuk
kepentingan kalian sementara aku memberikan anakku agar kalian
bunuh?. Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi!". Al-Muth'im bin
'Adiy bin Naufal bin 'Abdu Manaf berkata:"Demi Allah, wahai Abu
Thalib! Kaummu telah berbuat adil terhadapmu dan berupaya untuk
membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa sebabnya
aku lihat engkau tidak mau menerima sesuatupun dari tawaran
mereka?". Dia menjawab: "Demi Allah! kalian bukannya berbuat adil
terhadapku, akan tetapi kalian telah bersepakat menghinakanku dan
mengkonfrontasikanku dengan kaum Quraisy. Oleh sebab itu, lakukanlah
apa yang ingin kalian lakukan!".
Ketika kaum Quraisy gagal dalam perundingan tersebut dan tidak
berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah Rasululullah Shallallâhu
'alaihi wasallam dan mengekang laju dakwahnya kepada Allah; maka
mereka pun memutuskan untuk memilih langkah yang sebelumnya telah
berupaya mereka hindari dan tidak menyerempetnya karena khawatir
akan akibat serta implikasinya, yaitu langkah memusuhi pribadi
Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bentuk-Bentuk Pelecehan mereka terhadap Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam
Kaum Quraisy membatalkan sikap pengagungan dan penghormatan yang
dulu pernah mereka tampakkan terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam semenjak munculnya dakwah Islamiyyah di lapangan. Memang,
sungguh sulit merubah sikap yang terbiasa dengan kebengisan dan
kesombongan untuk berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka mulai
mengulurkan tangan permusuhan terhadap Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam. Sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai
bentuk ejekan, hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, keusilan
dan lain sebagainya. Tentunya, sudah lumrah bila yang pertama-tama
menjadi ujung tombaknya adalah Abu Lahab sebab dia adalah seorang
kepala suku Bani Hasyim. Dia tidak pernah memikirkan pertimbangan
apapun sebagaimana yang selalu dipertimbangkan oleh tokoh-tokoh
Quraisy lainnya. Dia adalah musuh bebuyutan Islam dan para
pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam sebelum kaum Quraisy berkeinginan
melakukan hal itu. Kita telah membahas bagaimana prilaku mereka
terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam di majlis Bani Hasyim dan
di bukit Shafa. Sebelum beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam diutus,
Abu Lahab telah mengawinkan kedua anaknya; 'Utbah dan 'Utaibah
dengan kedua putri Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam; Ruqayyah
dan Ummu Kultsum. Namun tatkala beliau diutus menjadi Rasul, dia
memerintahkan kedua anaknya tersebut agar menceraikan kedua putri
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan cara yang kasar dan
keras, hingga akhirnya terjadilah perceraian itu.
Ketika 'Abdullah, putra kedua Rasulullah wafat, Abu Lahab amat
gembira dan menyampiri semua kaum Musyrikin untuk memberitakan
perihal Muhammad yang sudah menjadi Abtar (orang yang
terputus/buntung) *.
*Terhadapnya Allah Ta'ala menurunkan ayat 3, surat al-Kautsar –red.
Sebagaimana dalam bahasan terdahulu, bahwa Abu Lahab selalu
menguntit di belakang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saat
musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam
hal ini, Thariq bin 'Abdullah al-Muhariby meriwayatkan suatu berita
yang intinya bahwa yang dilakukannya tidak sekedar mendustakan
Rasulullah, akan tetapi lebih dari itu, dia juga memukul beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan batu hingga kedua tumit beliau
berdarah.
Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah saudara
perempuan Abu Sufyan, tidak kalah frekuensi permusuhannya terhadap
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dibanding sang suami. Dia pernah
membawa dedurian dan menebarkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam bahkan juga, di depan pintu rumah
beliau pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang judes.
Lisannya selalu dijulurkan untuk mencaci beliau, mengarang berita
dusta dan berbagai isu, menyulutkan api fitnah serta mengobarkan
perang membabibuta terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh
karena itulah, al-Qur'an menyifatinya dengan Hammaalatal Hathab
(wanita pembawa kayu bakar).
Ketika dia mendengar ayat al-Qur'an yang turun mengenainya dan
suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia
telah membawa segenggam batu ditangannya, namun ketika dia berdiri
di hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau
sehingga dia tidak melihat selain Abu Bakar, lantas dia berkata:
"wahai Abu Bakar! Mana shahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia
telah mengejekku. Demi Allah! andai aku menemuinya niscaya akan aku
tampar mulutnya dengan segenggam batu ini. Demi Allah! Bukankah
sesungguhnya aku ini seorang Penyair?. Kemudian dia menguntai bait
berikut (artinya):
Si tercela yang kami tentang, Urusannya yang kami tolak, Diennya
yang kami benci
Kemudian dia berlalu. Setelah kepergiannya, Abu Bakar lantas
berkata: "wahai Rasulullah! Adakah engkau melihatnya dapat
melihatmu?". Beliau menjawab: "Dia tidak dapat melihatku. Sungguh!
Allah telah membutakan pandangannya dariku".
Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan kisah diatas. Di dalamnya
disebutkan bahwa ketika dia berdiri di hadapan Abu Bakar, dia
berkata: "wahai Abu Bakar! Shahabatmu itu telah mengejek kami". Abu
Bakar menjawab: "Tidak, demi Rabb bangunan ini (Ka'bah)! Dia tidak
pernah berbicara dengan memakai sya'ir ataupun melantunkannya". Dia
menjawab: "Sungguh! apa yang engkau ucapkan memang benar".
Demikianlah yang dilakukan oleh Abu Lahab padahal beliau adalah
paman beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sekaligus tetangganya,
rumahnya menempel dengan rumah beliau. Sama seperti
tetangga-tetangga beliau yang lain yang selalu mengganggu beliau
padahal beliau tengah berada di dalam rumah.
Ibnu Ishaq berkata: "Mereka yang selalu mengganggu Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau berada di rumah tersebut
adalah Abu Lahab, al-Hakam bin Abi al-'Ash bin Umayyah, 'Uqbah bin
Abi Mu'ith, 'Adiy bin Hamra' ats-Tsaqafy dan Ibnu al-Ashda'
al-Hazaly. Semuanya adalah tetangga-tetangga beliau namun tak
seorangpun diantara mereka yang masuk Islam kecuali al-Hakam bin Abi
al-'Ash. Salah seorang diantara mereka ada yang melempari beliau
dengan rahim kambing saat beliau tengah melakukan shalat. Yang lain
lagi, bila priuk milik beliau -yang terbuat dari batu- tengah
dipanaskan, pernah memasukkan bangkai tersebut ke dalamnya. Hal ini,
membuat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mamasang tabir agar
dapat terlindungi dari mereka manakala beliau tengah melakukan
shalat. Bila usai mereka melakukan hal itu, Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam membawanya keluar dan meletakkannya diatas sebatang
ranting, kemudian berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru:
"wahai Bani 'Abdi Manaf! Tetangga-tetangga model apa yang begini
kelakuannya?". Kemudian barang tersebut beliau lempar ke jalan.
'Uqbah bin Abi Mu'ith malah melakukan hal yang lebih buruk dan busuk
dari itu lagi. Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud
radhiallaahu 'anhu bahwa pernah suatu hari Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam melakukan shalat di sisi Baitullah sedangkan Abu Jahal dan
rekan-rekannya tengah duduk-duduk. Lalu sebagian mereka berkata
kepada sebagian yang lain: "Siapa diantara kalian yang akan membawa
kotoran onta Bani Fulan lalu menumpahkannya ke punggung Muhammad
saat dia sedang sujud?". Maka bangkitlah 'Uqbah bin Abi Mu'ith,
sosok yang paling sangar diantara mereka, membawa kotoran tersebut
sembari memperhatikan gerak-gerik Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Tatkala beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam beranjak sujud
kepada Allah, dia menumpahkan kotoran tersebut ke arah punggungnya
diantara dua bahunya. Aku (Ibnu Mas'ud-red) memandangi hal itu dan
ingin sekali melakukan sesuatu andai aku memiliki perlindungan
(suaka). Lalu mereka tertawa sambil masing-masing saling mencolek
dan memiringkan badan satu sama lainnya dengan penuh kesombongan dan
keangkuhan sedangkan Rasulullah masih sujud. Beliau tidak dapat
mengangkat kepalanya hingga Fathimah datang dan membuang kotoran
tersebut dari punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala,
kemudian berdoa: 'Ya Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum
Quraisy tersebut'. Beliau mengucapkannya tiga kali. Doa beliau ini
menyesakkan hati mereka. Dia (Ibnu Mas'ud-red) bertutur lagi:
'mereka menganggap bahwa berdoa di negeri itu (Mekkah) adalah
mustajabah. Kemudian dalam doanya tersebut, beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam menyebutkan nama mereka satu per-satu: ' Ya Allah!
binasakanlah Abu Jahal, 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah,
al-Walid bin 'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'ith –
Ibnu Mas'ud menyebutkan yang ke tujuh namun tidak mengingat namanya
- . Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya! Sungguh aku telah melihat
orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam tewas mengenaskan di al-Qalib , yaitu kuburan di Badar,
Madinah". Adapun nama orang yang ke tujuh tersebut adalah 'Imarah
bin al-Walid.
Lain lagi yang dilakukan oleh Ummayyah bin Khalaf; bila melihat
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, dia langsung mengumpat dan
mencelanya. Karenanya, turunlah terhadapnya ayat:"Kecelakaanlah bagi
setiap pengumpat (al-Humazah) lagi pencela". (Q.S. 104/al-Humazah:
1). Ibnu Hisyam berkata:"kata al-Humazah maknanya adalah orang yang
mencemooh seseorang secara terang-terangan dan tanpa tedeng
aling-aling, memain-mainkan kedua matanya sambil mengerdipkannya,
sedangkan kata al-Lumazah maknanya adalah orang yang mencela manusia
secara sembunyi dan menyakiti hati mereka".
Sama halnya dengan saudara laki-lakinya, Ubay bin Khalaf; mereka
berdua seiring dan sejalan. Suatu ketika, 'Uqbah duduk di majlis
Nabi sembari mendengarkan dakwahnya, namun manakala berita tersebut
sampai ke telinga Ubay; dia langsung mencaci dan mencemooh
saudaranya tersebut serta memintanya agar meludah ke wajah
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam , maka diapun melakukannya.
Sementara Ubay sendiri juga tidak mau kalah, dia menumbuk tulang
belulang yang ada hingga remuk redam lalu meniupkannya ke angin yang
berhembus ke arah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bentuk pelecehan lainnya adalah apa yang diperbuat oleh al-Akhnas
bin Syuraiq at-Tsaqafy yang selalu mengerjai Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam. Untuk itu, al-Qur'an menyifatinya dengan sembilan
sifat yang menyingkap perangainya, yaitu firman Allah Ta'ala: " Dan
janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina
(10). Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (11).
Yang enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa
(12). Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya
(13)". (Q.S. 68/al-Qalam: 10-13).
Demikian pula dengan Abu Jahal, terkadang dia datang kepada
Rasulullah dan mendengarkan al-Qur'an, kemudian berlalu namun hal
itu tidak membuatnya beriman, tunduk, sopan apalagi takut. Bahkan
dia menyakiti Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan
perkataannya, menghadang jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh
memproklamirkan apa yang diperbuatnya dan bangga dengan kejahatan
yang dilakukannya tersebut seakan sesuatu yang enteng saja.
Terhadapnya turunlah ayat: "Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan
al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat… dst". (QS.
75/al-Qiyaamah: 31- dst). Dia selalu mencegah Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam untuk melakukan shalat sejak pertama kali melihat
beliau melakukannya di Masjid al-Haram. Suatu kali, dia melewati
beliau yang sedang melakukan shalat di sisi Maqam (nabi Ibrahim
'alaihissalaam-red), lalu berkata: "wahai Muhammad! Bukankah sudah
aku larang engkau melakukan ini?". Dia mengancam beliau, mengasari
serta membentaknya. Dia berkata kepada beliau:"wahai Muhammad!
Dengan apa engkau akan mengancamku?Demi Allah! bukankah sesungguhnya
aku adalah orang yang paling banyak memanggil (berdoa) di lembah ini
(Mekkah)". Maka turunlah ayat: "Maka biarkanlah dia memanggil
golongannya (untuk menolongnya),[17]. kelak Kami akan memanggil
malaikat Zabaniyah,[18] ". (Q.S.96/al-'Alaq: 17-18).
Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam mencengkeram lehernya dan menggoyang-goyangkannya sembari
membacakan firman Allah: "Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan
kecelakaanlah bagimu,[34]. kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang
kafir) dan kecelakaanlah bagimu.[35]". (Q.S. 75/al-Qiyaamah: 34-35).
Lantas musuh Allah itu berkata: "Engkau hendak mengancamku, wahai
Muhammad? Demi Allah! engkau dan TuhanMu tidak akan sanggup
melakukan apapun. Sesungguhnya aku-lah seperkasa orang yang berjalan
diantara dua gunung di Mekkah ini!".
Sekalipun sudah membentak-bentak tersebut, Abu Jahal tidak pernah
kapok dari kedunguannya bahkan semakin blingsatan saja. Berkaitan
dengan ini, Imam Muslim mengeluarkan dari Abu Hurairah, dia berkata:
"Abu Jahal berkata:'Apakah Muhammad sujud dan menempelkan jidatnya
di tanah (shalat) di depan batang hidung kalian?". Salah seorang
menjawab: "ya, benar!". Dia berkata lagi:"demi al-Laata dan
al-'Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak lehernya dan membenamkan
mukanya ke tanah!". Tak berapa lama, datanglah Rasulullah lalu
melakukan shalat. Abu Jahal sebelumnya mendakwa akan menginjak-injak
lehernya, namun sebaliknya, yang terjadi sungguh mengagetkan mereka;
dia tidak jadi bergerak maju dan malah menutupi kedua tangannya
untuk berlindung. Mereka lalu bertanya: "wahai Abu Jahal! Ada apa
gerangan denganmu?". Dia menjawab: "Sesungguhnya ada parit dari api,
sesuatu yang menakutkan dan sayap-sayap yang mengantarai aku dan
dia". Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata:
"andai dia sedikit lagi mendekat kepadaku, niscaya tubuhnya akan
disambar malaikat dan terkoyak satu per-satu".
Demikianlah gambaran yang amat mini sehubungan dengan bentuk-bentuk
pelecehan dan penganiayaan yang dialami oleh Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam dan kaum Muslimin dari para Thaghut kaum Musyrikin
yang mendakwa bahwa mereka adalah Ahlullah (Kekasih Allah) dan
penduduk tanah haramNya.
Aktivitas di Darul Arqam
Diantara hikmah kenapa Rasulullah dalam menghadapi
penindasan-penindasan tersebut, melarang kaum Muslimin
memproklamirkan keislaman mereka baik dalam bentuk perkataan maupun
perbuatan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau
kecuali secara rahasia adalah karena bila mereka bertemu dengan
beliau secara terbuka maka tidak diragukan lagi kaum Musyrikin akan
membatasi gerak beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah
(menyucikan diri) kaum Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan
as-Sunnah akan terhalangi. Dan barangkali, bisa menyebabkan
berbenturnya antara kedua belah pihak bahkan (realitasnya) hal itu
benar-benar terjadi pada tahun ke empat dari kenabian, yaitu
manakala shahabat-shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka melakukan shalat
secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa orang
kafir Quraisy. mereka ini lalu mencaci maki dan memerangi mereka.
Menghadapi hal itu, Sa'ad bin Abi Waqqash yang merupakan salah
seorang dari para shahabat tersebut memukul seorang dari kaum
Musyrikin tersebut sehingga tertumpahlah darah ketika itu. Inilah,
darah pertama yang tertumpah dalam Islam.
Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa bila perbenturan ini terus
terulang dan berkepanjangan maka tentunya akan berdampak kepada
musnah dan binasanya kaum Muslimin. Oleh karena itu, adalah bijak
untuk melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Nyatanya, para shahabat
secara umum menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan
pertemuan mereka. Sedangkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
melakukannya secara terbuka dalam berdakwah dan beribadah di depan
mata kaum Musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat
menghalang-halanginya. Namun begitu, beliau tetap melakukan
pertemuan dengan kaum Muslimin secara rahasia demi kepentingan
mereka dan agama Islam. Maka adalah Daar (kediaman) al-Arqam bin Abi
al-Arqam berada diatas bukit shafa dan terpencil sehingga luput dari
intaian para Thaghut dan bahan pembicaraan persidangan-persidangan
mereka. Tempat itulah yang dijadikan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam sebagai pusat dakwah dan berkumpulnya kaum Muslimin.
Disana, beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan
hati mereka serta mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah
(as-Sunnah). Senin, 8/11/1422 H=21/1/2002 M
Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah
Penindasan yang terjadi, pada permulaannya - yakni pada pertengahan
atau akhir tahun ke-4 dari kenabian - adalah tidak seberapa, namun
kemudian dari hari demi hari bahkan bulan demi bulan berubah menjadi
lebih sadis dan mengkhawatirkan, terutama pada pertengahan tahun
ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memaksa
mereka untuk memikirkan siasat lolos dari siksaan-siksaan tersebut.
Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang
mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah
tidaklah sempit, dalam firmanNya: "…orang-orang yang berbuat baik di
dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas". (Q.S.39/az-Zumar: 10). Rasulullah telah
mengetahui bahwa Ash-himah an-Najasyi, raja Habasyah adalah
seorang yang adil, tidak seorangpun yang berada disisinya terzhalimi;
oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah
ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.
Rombongan pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan
Rajab tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang
laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan yang
ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Rasulullah menyifati keduanya sebagai "keluarga pertama yang
berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan Luth 'alaihimassalaam".
Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang
gelap-gulita –agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy- menuju laut
kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat. Ternyata, takdir mereka
sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah kapal
dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta
bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu
menelusuri jejak perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka
baru sampai di tepi pantai, kaum muslimin telah bergerak dengan aman.
Akhirnya, kaum muslimin menetap di Habasyah dan mendapatkan
sebaik-baik pelayanan.
Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya kaum muslimin yang
berhijrah
Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid
al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah berada
disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam kemudian berdiri di tengah mereka
sembari melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias
secara tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak
pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah, karena program yang
mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang telah
saling diingatkan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lain
yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya: "…janganlah kamu
mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah
hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)".
(Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat tersebut
menyergap mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian
indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata akan
keagungan dan keindah-menawanannya- mengetuk telinga mereka; mereka
seakan mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan
masing-masing terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak
ada yang terlintas di hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah
beliau pada akhir surat ini; ketukan yang membawa hati seakan
terbang melayang, beliau membaca firmanNya :"…maka bersujudlah
kepada Allah dan sembahlah Dia". (Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian
beliau sujud. Melihat pemandangan itu, tak seorangpun dari mereka
yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga merekapun
sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq telah
meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang takabbur
dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh
bersujud kepada Allah.
Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa, manakala keagungan
Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini mereka pegang
sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini justru
dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian
tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak
sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula
momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama
baik beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa
yang terjadi sebenarnya, justru beliau-lah yang berbuat demikian
terhadap berhala mereka. Mereka mengatakan bahwa kisah itu hanyalah
" itulah al-Gharaniiq yang Mulia, yang syafa'atnya selalu diminta ".
Isu bohong ini mereka gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan
sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ketika itu.
Tentunya, respons semacam ini tidak begitu mengherankan sekali sebab
sumbernya adalah dari orang yang selama ini pekerjaannya suka
mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.
Berita tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-red) sampai ke
telinga kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi
beritanya sangat kontras dengan realitas yang sebenarnya; yang
sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh
karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun
yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa
jauh dari Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya
mengetahui duduk persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi
ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah
secara diam-diam atau berlindung di bawah suaka seseorang dari suku
Quraisy.
Hijrah Kedua ke negeri Habasyah
Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi
penindasan dan penyiksaan terhadap mereka dan kaum muslimin secara
umum, tak luput suku mereka sendiri memperlakukan hal yang hampir
sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy merasa gerah dengan berita
yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi adalah seorang raja yang
memperlakukan tamunya dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga
telah memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke
negeri Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit
dari perjalanan sebelumnya mengingat kaum Quraisy sudah
mengantisipasinya dan bertekad untuk menggagalkannya. Akan tetapi,
Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin sehingga mereka bergerak
lebih cepat dan menuju kepada suaka an-Najasyi, raja Habasyah
sebelum kaum Quraisy menciumnya.
Hijrah kali ini membawa rombongan yang terdiri dari 83 orang
laki-laki - dalam hal ini, riwayat yang menyatakan keikutsertaan
'Ammar bin Yasir dalam rombongan ini masih diragukan kevalidannya -
dan 18 atau 19 orang wanita.
Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin yang berhijrah
ke Habasyah
Kaum musyrikin tidak pernah merasa senang bila kaum muhajirin
tersebut mendapatkan keamanan bagi diri dan dien mereka. Untuk
itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang
telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru bin al-'Ash dan
'Abdulullah bin Abi Rabi'ah – sebelum keduanya masuk Islam -.
Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy
untuk an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan
hadiah kepada para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka
beberapa alasan yang dengannya kaum muslimin dapat diusir dari
negerinya. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan
keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin,
keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan beberapa
buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata:
"wahai tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau kencur
memasuki negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama
kaum mereka namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa
agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami
disini, adalah sebagai utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus
kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka dari nenek
moyang, paman-paman serta suku mereka agar tuan mengembalikan para
pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak memantau
tindak tanduk para pendatang tersebut dan polah mereka mencela dan
mencaci-maki mereka".
Para uskup serta merta menimpali: "benar apa yang dikatakan oleh
keduanya wahai tuan raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar
keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri mereka".
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada
kejelasan dan mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu
dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka
untuk hadir. Merekapun menghadirinya dan telah bersepakat akan
mengatakan sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. An-Najasyi
berkata kepada mereka:"apa gerangan agama yang bisa memisahkan
kalian dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam
agamaku atau agama-agama yang lain?".
Ja'far bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum muslimin
bertutur:"wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli Jahiliyyah;
menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan
keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat
diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami
ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari
bangsa kami sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat
serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna
mentauhidkan dan menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah
batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau
memerintahkan kami agar berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan
amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan
menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan
yang keji, berbicara ngibul, memakan harta anak yatim serta menuduh
wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti.
Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak
menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan
shalat, membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan
hal-hal lainnya) … lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman
kepadanya. Kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah ; kami sembah
Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, apa yang
diharamkannya atas kami adalah haram menurut kami dan dan apa yang
dihalalkannya adalah halal menurut kami. Lantaran itu, kaum kami
malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar keluar dari agama yang
memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali
menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami melakukan
perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Nah,
manakala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak
serta menghalangi agar kami tidak dapat melakukan ritual agama, kami
akhirnya menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan. Kami
lebih memilih tuan daripada selain tuan dan lebih suka berada
dibawah suaka tuan. Ini semua dengan harapan agar kami tidak
terzhalimi disisimu, wahai tuan raja!".
An-Najasyi bertanya: "apakah ada sesuatu yang dibawanya dari Allah
bersama kalian?". Ja'far menjawab: "ya! Ada". An-Najasyi bertanya
lagi: "tolong bacakan kepadaku!". Lalu dia membacakan permulaan
surat Maryam, firmanNya: "Kâf-hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar
lantunan ayat tersebut, demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal
dari penutur kisah ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri peristiwa ini-red) sang rajapun menangis
hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para
uskupnya hingga air mata mereka membasahi mushhaf-mushhaf
(lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka. Kemudian
an-Najasyi berkata kepada mereka:"sesungguhnya ini dan apa yang
dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada
kedua utusan Quraisy dia berkata:"pergilah kalian berdua, demi
Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan
tidak akan hal itu terjadi". Keduanya pun keluar namun 'Amru bin
al-'Ash sempat berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah: "demi Allah!
sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan
perihal mereka dan akan aku habisi mereka (argumentasi kaum
muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi ladang mereka". 'Abdullah
bin Rabi'ah berkata: "jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka
itu masih memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka
menentang kita". Akan tetapi 'Amru tetap ngotot dengan tekadnya.
Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata
kepadanya:"wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu
perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin Maryam". An-Najasyi
pun mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk mempertanyakan
perihal perkataan terhadap 'Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat
kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk
berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka
datang di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang
hal itu, Ja'far berkata kepadanya:"kami mengatakan tentangnya
sebagaimana yang dibawa oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam
: 'dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang
disampaikan kepada Maryam, si perawan yang ahli ibadah".
An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah
seraya berujar:"demi Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak
melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini". Mendengar
itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu angsung
ditimpalinya:'demi Allah! sekalipun kalian mendengus".
Dia kemudian berkata kepada kaum muslimin:"pergilah! Kalian akan
aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan
celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa
saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku tidak akan
menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung emas"
(perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).
Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana: "Kembalikan
hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak
memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan
dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan
itu, aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia
patuh kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena
itu".
Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata: "kemudian keduanya
keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan
yang dikemukakan mental sama sekali. Setelah itu, kami menetap
disisinya dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling
baik".
Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan riwayat lainnya
menyebutkan bahwa perutusan 'Amru bin al-'Ash kepada an-Najasyi
terjadi setelah perang Badr. Sebagian ahli sejarah menyinkronkan
kedua versi riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu
terjadi dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan
terjadi antara an-Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang kedua
kalinya itu adalah hampir sama dengan apa yang diriwayatkan dalam
versi Ibnu Ishaq. Selain itu, materi yang termuat dalam
pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan terjadinya proses
murâfa'at (pembelaan, pendengaran di muka hakim dalam istilah
hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi. Sabtu, 9/3/2002
M = 25/12/1422 H
Meningkatnya frekuensi siksaan dan upaya
menghabisi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
Manakala kaum musyrikun gagal dalam tipu muslihat mereka untuk
memulangkan kaum Muhajirin; mereka semakin bertambah geram.
Kedongkolan mereka bervariasi antara satu dan yang lainnya. Semakin
lama semakin memuncak dan mereka timpakan juga kepada kaum muslimin
yang lainnya, bahkan mereka sudah menjangkaukan tangan mereka kepada
Rasulullah untuk menyakiti beliau. Tampak dari gerak-gerik mereka
hal yang menunjukkan adanya keinginan untuk menghabisi Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam sehingga mereka dapat menumpas habis
fitnah hingga ke akar-akarnya yang selama ini menggetarkan tempat
tidur mereka, sebagaimana yang mereka kira.
Sedangkan kaum Muslimin sendiri, sebagian mereka masih tinggal di
Mekkah meskipun dalam jumlah yang sedikit. Mereka dapat melakukan
hal itu baik lantaran ada diantara mereka yang memang termasuk
orang-orang terpandang dan memiliki gigi atau mendapatkan suaka dari
seseorang. Meskipun demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman
mereka dan menjauh dari pandangan para Thughat sedapat mungkin. Akan
tetapi, sekalipun kehati-hatian dan kewaspadaan itu dilakukan,
mereka sama sekali tidak dapat lolos begitu saja dari gangguan,
penghinaan serta penganiayaan.
Dalam pada itu, Rasulullah tetap melakukan shalat dan beribadah
kepada Allah didepan mata kepala para Thughat tersebut; beliau
leluasa berdoa baik secara pelan atau terang-terangan. Tidak ada
seorangpun yang bisa menghalangi dan memalingkannya dari hal itu
sebab semua itu dilakukan dalam rangka menyampaikan risalah Allah
semenjak beliau diperintahkan olehNya, dalam firmanNya: "Maka
sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik". (QS. 15/al-Hijr: 94).
Dengan demikian, sebenarnya sewaktu-waktu, bisa saja kaum Musyrikun
menyakiti beliau bila mereka mau sebab secara zhahirnya tidak ada
yang menghalangi antara mereka dan diri beliau selain rasa malu dan
segan serta adanya jaminan Abu Thalib dan rasa hormat terhadapnya.
Sebab lainhnya, karena kekhawatiran mereka terhadap akibat yang
fatal dari tindakan tersebut sehingga akan membuat suku Bani Hasyim
berhimpun melawan mereka. Namun, lambat laun perasaan tersebut pupus
dan tidak berpengaruh banyak terhadap physikologis mereka; karenanya
mereka mulai menganggap remeh akan hal itu semenjak mereka merasa
eksistensi berhala dan kepimpinan sprituil yang selama ini mereka
pegang sudah semakin memudar, kalah saing oleh dakwah Muhammad
Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Diantara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan oleh kitab-kitab
as-Sunnah dan Sirah kepada kita serta didukung oleh bukti-bukti
otentik bahwa memang terjadi pada masa tersebut adalah kisah
'Utaibah bin Abi Lahab yang mendatangi Rasululullah pada suatu hari
sembari berkata:"aku mengingkari firman Allah: [wan najmi idzâ hawâ:
Demi bintang ketika terbenam, (QS. 53:1)] dan yang (disebutkan
sebagai) [danâ fa tadallâ : Kemudian dia (Jibril) mendekat, lalu
bertambah dekat lagi, (QS. 53:8)] ". Selepas itu, dia menyakiti
beliau, merobek bajunya serta meludah ke arah wajahnya namun untung
saja tidak mengenainya. Ketika itu Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam
mendoakan (kebinasaan) atasnya: "Ya Allah, kirimkanlah kepadanya
seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaanMu) untuk (menerkam)-nya".
Doa beliau ini telah diijabah oleh Allah, yaitu manakala suatu hari
'Utaibah keluar bersama beberapa orang Quraisy dan singgah di suatu
tempat di Syam yang bernama az-Zarqâ'. Pada malam itu, ada banyak
singa yang berkeliaran disitu. Melihat hal itu, 'Utaibah serta merta
berseloroh: "wahai saudaraku, sungguh celaka! Inilah, demi Allah,
pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia
membunuhku padahal sedang berada di Mekkah sedangkan aku di Syam".
Lalu singa itu menerkamnya di tengah kerumunan kaum tersebut,
mencengkram kepalanya dan membunuhnya.
Kisah lainnya; disebutkan bahwa 'Uqbah bin Abi Mu'ith menginjak
pundak beliau yang mulia saat beliau sedang sujud sehingga
hampir-hampir kedua biji matanya keluar.
Diantara bukti lain yang menunjukkan bahwa para Thughat tersebut
ingin membunuh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah kisah yang
diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin 'Amru bin al-'Âsh,
dia berkata:
"Aku datang saat mereka berkumpul-kumpul di hijr (yakni, Hijr
Isma'il di Ka'bah-red), mereka menyebut-nyebut perihal Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Mereka berkata: 'Kita tidak pernah
sampai menahan kesabaran seperti halnya kita sabar terhadap orang
ini (Rasulullah-red), padahal, kita telah menahan sabar terhadapnya
dalam masalah yang serius'. Manakala mereka dalam kondisi demikian,
muncullah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam menuju ke sana
dengan berjalan, lalu beliau menyalami ar-Rukn (al-Yamaniy, salah
satu sudut Ka'bah-red), kemudian beliau melewati mereka dan
mengelilingi Baitullah. Mereka menghina beliau dengan beberapa
ucapan, maka aku mengetahui hal itu dari raut wajah Rasulullah.
Ketika beliau melewati mereka untuk kedua kalinya, mereka tetap
melakukan hal yang sama terhadapnya dan aku mengetahuinya juga dari
raut wajah beliau, kemudian beliau melewati mereka untuk ketiga
kalinya dan mereka masih melakukan hal yang sama terhadapnya, lalu
beliau berhenti dan berkata kepada mereka:'maukah kalian
mendengarkan (ini) wahai kaum Quraisy! Demi Yang jiwaku ada di
tanganNya, sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian".
Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka sehingga
tidak seorangpun dari mereka melainkan seakan-akan ada burung yang
bertengger diatas kepalanya. Bahkan orang yang paling kasar diantara
mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik
ucapan yang pernah beliau dapatkan. Orang itu berkata: 'pergilah
wahai Abu al-Qâsim ! Demi Allah! engkau bukanlah orang yang bodoh'.
Pada keesokan harinya, mereka berkumpul kembali dan memperbincangkan
perihal beliau, ketika beliau muncul, mereka secara serentak
merubung dan mengitari beliau. Aku melihat salah seorang diantara
mereka memegang jubah beliau, lantas Abu Bakar dengan segera
membela, sembari menangis, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh
seseorang lantaran dia berucap:'Rabb-ku adalah Allah?'. Kemudian
mereka berlalu. Ibnu 'Amru berkata: 'sungguh pemandangan itu
merupakan perlakuan paling kasar yang pernah kulihat dilakukan oleh
kaum Quraisy terhadap beliau' ". Demikian ringkasan kisahnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari 'Urwah bin
az-Zubair, dia berkata:"aku bertanya kepada Ibnu 'Amru bin al-'Âsh:
'beritahukanlah kepadaku tentang perlakuan yang paling keras yang
dilakukan oleh kaum Musyrikun terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam !'. Dia menjawab: ' saat Nabi sedang shalat di hijr Ka'bah,
datanglah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, lalu dia melilitkan pakaiannya ke
leher beliau dan menariknya dengan kencang. Kemudian, Abu Bakar
datang dan mencangkram pundaknya lalu mengenyahkannya dari sisi Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata: 'apakah kalian akan
membunuh seseorang lantaran dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?'
".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma' disebutkan: "lantas ada
orang yang berteriak datang kepada Abu Bakar seraya berkata:
'temuilah shahabatmu! (yakni, Rasulullah-red)'. Lalu dia keluar dari
sisi kami dengan membawa empat buah jalinan rambut wanita. Saat
keluar, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran
dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?, lalu mereka membiarkannya
dan mendatangi Abu Bakar. Lalu dia pulang, dan saat itu kami tidak
berani menyentuh jalinan rambut tersebut hingga dia mengembalikannya
kepada kami".
Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu 'anhu
Di tengah suhu yang diliputi awan kezhaliman dan penindasan,
tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang menyinari jalan, yaitu masuk
islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu 'anhu . Dia masuk
Islam pada penghujung tahun ke-6 dari kenabian, lebih tepatnya pada
bulan Dzulhijjah.
Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu hari, Abu Jahal
melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan
menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikitpun
kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu dibagian
kepala sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang
menuju tempat pertemuan kaum Quraisy di sisi Ka'bah dan berbincang
dengan mereka. Kala itu, budak wanita Abdullah bin Jud'an berada di
kediamannya diatas bukit Shafa dan menyaksikan pemandangan yang
belum lama terjadi. Kebetulan, Hamzah datang dari berburu dengan
menenteng busur panah. Maka serta merta dia memberitahukan kepadanya
perihal perlakuan Abu Jahal tersebut. Menyikapi hal itu, sebagai
seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri yang tinggi di
kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung bergegas
pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia
berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu
Jahal dan akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya.
Maka, manakala dia masuk Masjid (al-Haram-red), dia langsung tegak
persis di arah kepala Abu Jahal sembari berkata: "hai si hina dina!
Engkau berani mencaci maki keponakanku padahal aku sudah memeluk
agamanya?". Kemudian dia memukulinya dengan gagang busur panah dan
membuatnya terluka dan babak belur. Melihat hal itu, sebagian
orang-orang dari Bani Makhzum –yakni, dari suku Abu Jahal-
terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari Bani
Hasyim –dari suku Hamzah-. Abu Jahal melerai dan berkata: "Biarkan
Abu 'Imarah (kun-yah/julukan Hamzah-red)! Sebab aku memang telah
mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek".
Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan rasa
percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya, namun
kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi orang yang
berpegang teguh dengan al-'Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan
kaum muslimin.
Masuk Islamnya 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu
Di tengah suhu yang sama pula, seberkas cahaya yang lebih benderang
dari yang pertama kembali menyinari jalan. Itulah, keislaman 'Umar
bin al-Khaththab. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijjah, tahun ke-6
dari kenabian, yaitu tiga hari setelah keislaman Hamzah radhiallaahu
'anhu. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam memang telah berdoa untuk
keislamannya sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmuziy
(dan dia menshahihkannya) dari Ibnu 'Umar dan hadits yang
dikeluarkan oleh ath-Thabraniy dari Ibnu Mas'ud dan Anas bahwasanya
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya Allah!
muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua
orang yang paling Engkau cintai: 'Umar bin al-Khaththab atau Abu
Jahal bin Hisyam". Ternyata, yang paling dicintai oleh Allah adalah
'Umar radhiallaahu 'anhu.
Setelah meneliti secara cermat seluruh periwayatan yang mengisahkan
keislamannya, nampak bahwa campaknya Islam ke dalam hatinya
berlangsung secara perlahan, akan tetapi sebelum kita membicarakan
ringkasannya, perlu kami singgung terlebih dahulu karakter dan watak
dari kepribadiannya.
Beliau radhiallaahu 'anhu dikenal sebagai seorang yang temperamental
dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat banyak kaum muslimin
merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya terhadap mereka.
Sebenarnya, secara lahiriyah apa yang menghinggapi perasaannya
amatlah kontras; antara keharusan menghormati tatanan adat yang
telah dibuat oleh nenek moyangnya, kekaguman terhadap mental baja
kaum muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga 'aqidah
mereka serta timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya sementara
sebagai seorang cendikiawan dia beranggapan bahwa apa yang diseru
oleh Islam bisa saja lebih agung dan suci dari selainnya; oleh
karena itu begitu memberontak langsung saja dia berteriak lantang.
Mengenai ringkasan kisah tersebut -yang sudah disinkronkan-
berkaitan dengan keislamannya; bermula dari tindakannya pada suatu
malam bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju al-Haram dan
masuk ke dalam tirai Ka'bah. Saat itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat al-
Hâqqah . Pemandangan itu dimanfaatkan oleh 'Umar untuk
mendengarkannya dengan khusyu' sehingga membuatnya terkesan dengan
susunannya. Dia berkata: "aku berkata pada diriku: 'Demi Allah! ini
(benar) adalah (ucapan) tukang sya'ir sebagaimana yang dikatakan
oleh orang-orang Quraisy!'. Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
membaca : "Innahű laqaulu rasűlin karîm. Wa mâ huwa biqauli syâ'ir.
Qalîlan mâ tu'minűn (artinya: 'sesungguhnya al-Qur'an itu adalah
benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada kepada) Rasul yang
mulia, dan al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit
sekali kalian beriman kepadanya')" . (Q.S. al-Hâqqah: 40, 41).
Lantas aku berkata pada diriku: "ini adalah (ucapan) tukang tenung".
Lalu beliau meneruskan bacaannya: "wa lâ biqauli kâhin. Qalîlan mâ
tadzakkarűn. Tanzîlun min rabbil 'âlamîn (artinya: 'Dan, bukan pula
perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran
darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam')"
hingga akhir surat tersebut. Maka, ketika itulah Islam memasuki
relung hatiku' ".
Inilah awal benih-benih Islam merangsak ke dalam relung hati 'Umar
bin al-Khaththab. Tetapi kulit luar sentimentil Jahiliyyah dan
fanatisme terhadap tradisi serta kebanggaan akan agama nenek moyang
justru mengalahkan inti hakikat yang dibisikkan oleh hatinya.
Akhirnya, dia tetap bergiat dalam upayanya melawan Islam, tanpa
menghiraukan perasaan yang bersemayam dibalik kulit luar tersebut.
Diantara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang
sudah di luar batas terhadap Rasulullah adalah saat suatu hari dia
keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam. Ketika itu, dia bertemu dengan Nu'aim bin
'Abdullah an-Nahham al-'Adawiy. (dalam riwayat yang lain disebutkan:
"seseorang dari suku Bani Zahrah" atau "seseorang dari suku Bani
Makhzum"). Orang tersebut berkata: "hendak kemana engkau, wahai
'Umar?".
Dia menjawab:"aku ingin membunuh Muhammad".
Orang tersebut berkata lagi:"kalau Muhammad engkau bunuh, bagaimana
engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim dan Bani Zahrah?".
'Umar menjawab: "menurutku, sekarang ini engkau sudah menjadi
penganut ash-Shâbiah (maksudnya: Islam-red) dan keluar dari
agamamu".
Orang itu berkata kepadanya:"maukah aku tunjukkan kepadamu yang
lebih mengagetkanmu lagi, wahai 'Umar? Sesungguhnya saudara
(perempuan) dan iparmu juga telah menjadi penganut ash-Shâbiah dan
meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!".
Mendengar hal itu, 'Umar dengan segera berangkat mencari keduanya
dan saat dia sampai di tengah-tengah mereka, disana dia menjumpai
Khabbab bin al-Aratt yang membawa shahîfah (lembaran al-Qur'an)
bertuliskan: "Thâha" dan membacakannya untuk keduanya –sebab dia
secara rutin mendatangi keduanya dan membacakan al-Qur'an terhadap
keduanya-. Tatkala Khabbab mendengar gerak-gerik 'Umar, dia
menyelinap ke bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan
'Umar menutupi shahifah tersebut. Ketika mendekati rumah, 'Umar
telah mendengar bacaan Khabbab terhadap mereka berdua, karenanya
saat dia masuk langsung bertanya:"Apa gerangan suara bisik-bisik
yang aku dengar dari kalian?".
Keduanya menjawab: "tidak, hanya sekedar perbincangan diantara
kami".
Dia berkata lagi: "nampaknya, kalian berdua sudah menjadi penganut
ash-Shâbiah".
Iparnya berkata: "wahai 'Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran
itu berada pada selain agamamu?".
Mendengar itu, 'Umar langsung melompak ke arah iparnya tersebut lalu
menginjak-injaknya dengan keras. Lantas saudara perempuannya datang
dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia justru ditampar
oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya -dalam riwayat Ibnu
Ishaq disebutkan bahwa dia memukulnya sehingga memar terluka-.
Saudaranya berkata dalam keadaan marah:"wahai 'Umar! Jika kebenaran
ada pada selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang
berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah
Rasulullah".
Manakala 'Umar merasa putus asa dan menyaksikan kondisi saudaranya
yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu berkata:"berikan
kitab yang ada ditangan kalian ini kepadaku dan bacakan untukku!".
Saudaranya itu berkata:"sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada
yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang yang suci; oleh karena
itu, berdiri dan mandilah!". Kemudian dia berdiri dan mandi, lalu
mengambil kitab tersebut dan membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm. Dia
berseloroh: "sungguh nama-nama yang baik dan suci". Kemudian dia
melanjutkan dan membaca (artinya): "Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (QS. 20/thâha: 14). Dia
berseloroh lagi: "alangkah indah dan mulianya kalam ini! Kalau
begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!".
Saat Khabbab mendengar ucapan 'Umar, dia segera keluar dari
persembunyiannya sembari berkata:"wahai 'umar, bergembiralah karena
sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa
Rasulullah pada malam Kamis "Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam
ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai:
'Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam". Sementara
Rasulullah (saat ini) ada di rumah yang terletak di kaki bukit
shafa.
'Umar mengambil pedangnya sembari menghunusnya, lalu berangkat
hingga tiba di rumah tempat beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
berada tersebut. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu
mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus
pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada
Rasulullah. Para shahabat yang berjaga bersiaga penuh
mengantisipasinya. Gelagat mereka tersebut mengundang tanda tanya
Hamzah:
"ada apa gerangan dengan kalian?".
Mereka menjawab: " 'Umar!".
Dia berkata: "oh, 'Umar! Bukakan pintu untuknya! Jika dia datang
dengan niat baik, kita akan membantunya akan tetapi jika dia datang
dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri".
Saat itu, Rasulullah masih di dalam rumah dan diberitahu perihal
'Umar, maka beliau pun keluar menyongsongnya dan menjumpainya di
bilik. Beliau memegang baju dan gagang pedangnya, lalu menariknya
dengan keras, seraya bersabda:"tidakkah engkau akan berhenti dari
tindakanmu, wahai 'Umar hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan
bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughirah?
Ya Allah! inilah 'Umar bin al-Khaththab! Ya Allah!
muliakanlah/kokohkanlah Islam dengan 'Umar bin al-Khaththab!". Umar
berkata:"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah)
selain Allah dan engkau adalah Rasulullah". Dan dia pun masuk Islam
yang disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga
terdengar oleh orang yang berada didalam al-Masjid (al-Haram-red).
'Umar radhiallaahu 'anhu merupakan sosok yang memiliki rasa harga
diri yang tinggi dan keinginan yang tidak boleh dihalang-halangi;
oleh karena itulah, keislamannya menimbulkan goncangan luar biasa di
kalangan kaum Musyrikun dan membuat mereka semakin terhina dan patah
arang sementara bagi kaum Muslimin, hal itu menambah 'izzah,
kemuliaan dan kegembiraan.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Umar, dia
berkata:"tatkala aku sudah masuk Islam, aku mengingat-ingat, sesiapa
penduduk Mekkah yang paling keras terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Aku berkata: ' pasti Abu Jahal lah orangnya". Lalu aku
datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Dia pun keluar menyambutku
sembari berkata:
"selamat datang! Ada apa denganmu?".
"aku datang untuk memberitahumu bahwa aku telah beriman kepada Allah
dan RasulNya, Muhammad, serta membenarkan apa yang telah dibawanya".
Lalu dia menggebrak pintu di hadapan wajahku sembari berkata:
"Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa yang engkau bawa".
Dalam versi Ibnu al-Jauziy disebutkan bahwa 'Umar radhiallaahu 'anhu
berkata:"Dulu, jika seseorang masuk Islam, maka orang-orang
menggelayutinya lantas memukulinya dan dia juga memukuli mereka,
namun tatkala aku telah masuk Islam, aku mendatangi pamanku,
al-'Âshiy bin Hâsyim, dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia
malah masuk rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy
-sepertinya Abu Jahal- dan memberitahukannya perihal keislamanku,
tetapi dia juga malah masuk rumah".
Ibnu Hisyam juga menyebutkan -demikian pula Ibnu al-Jauziy secara
ringkas- bahwa ketika dia ('Umar) masuk Islam, dia mendatangi Jamil
bin Ma'mar al-Jumahiy – yang merupakan penyambung lidah Quraisy yang
paling getol - dan memberitahukan kepadanya tentang keislamannya,
orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa Ibnu
al-Khaththab telah menjadi penganut ash-Shâbiah. Umar pun menimpali
–dibelakangnya- : "dia bohong, akan tetapi aku telah masuk Islam".
Merekapun menyergapnya sehingga akhirnya terjadilah pertarungan
antara 'Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru
selesai saat matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka,
tetapi 'Umar sudah nampak kepayahan. Dia hanya bisa duduk sementara
mereka berdiri dekat kepalanya. Dia berkata kepada
mereka:"lakukanlah apa yang kalian suka. Sungguh aku bersumpah atas
nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya
telah kami biarkan mereka untuk kalian atau kalian biarkan mereka
untuk kami".
Setelah kejadian itu, kaum Musyrikun berangkat dalam jumlah besar
menuju rumahnya dengan tujuan akan membunuhnya. Imam al-Bukhariy
meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata:"Saat 'Umar
berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah al-'Âsh bin Wâil
as-Sahmiy, Abu 'Amru, sembari membawa mantel dan baju yang dilipat
dan terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang
merupakan sekutu kami di masa Jahiliyyah. 'Umar berkata kepadanya:
"ada apa denganmu?".
"kaummu mengaku akan membunuhku bila aku masuk Islam", katanya.
'Umar berkata – setelah mengatakan kepadanya: 'kamu aman'-: "kalau
begitu, tidak akan ada yang bisa melakukan hal itu terhadapmu".
Asl-Âsh kemudian keluar dan mendapatkan banyak orang yang sudah
memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada mereka:" hendak
kemana kalian?"
Mereka menjawab:"menemui si Ibnu al-Khaththab yang sudah menjadi
penganut ash-Shâbiah ini!".
Dia menjawab: "kalian tidak akan bisa melakukan hal itu
terhadapnya". Orang-orang itupun pergi secara bergerilya.
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan :"demi Allah! seolah-olah mereka
itu bagaikan pakaian yang tersingkap".
Demikianlah dampak keislamannya terhadap kaum Musyrikun, sedangkan
terhadap kaum muslimin adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam Mujâhid dari Ibnu 'Abbas, dia berkata:"aku bertanya kepada
'Umar: 'kenapa kamu dijuluki al-Fârűq? '.
Dia berkata: 'Hamzah masuk Islam tiga hari lebih dahulu dariku
-selanjutnya dia menceritakan kisah keislamannya, dan diakhirnya dia
berkata- lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam):
"Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada diatas kebenaran; mati
ataupun hidup?".
Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: "tentu saja! Demi Yang
jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya kalian berada diatas
kebenaran; mati ataupun hidup".
Lalu aku berkata: "lantas untuk apa bersembunyi-sembunyi? Demi Yang
telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kita harus keluar
(menampakkan diri). Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam membagi
kami dalam dua barisan; salah satunya dipimpin oleh Hamzah dan yang
lainnya, dipimpin olehku. deru debu dan pasir tersebut yang
ditinggalkannya ibarat ceceran gandum yang dihaluskan. Akhirnya kami
memasuki al-Masjid al-Haram. Kemudian aku menoleh ke arah Quraisy
dan Hamzah; mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah
mereka rasakan seperti itu sebelumnya. Sejak saat itulah, Rasulullah
menamaiku "al-Fârűq ".
Ibnu Mas'ud sering berkata:"sebelumnya, kami tak berani melakukan
shalat di sisi Ka'bah hingga 'Umar masuk Islam".
Dari Shuhaib bin Sinan ar-Rűmiy radhiallaahu 'anhu, dia
berkata:"ketika 'Umar masuk Islam, barulah Islam menampakkan diri
dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan. Kami juga
berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah, melakukan
thawaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta
membalas sebagian yang diperbuatnya".
Dari 'Abdullah bin Mas'ud, dia berkata:"kami senantiasa merasakan
'izzah sejak 'Umar masuk Islam"
Utusan Quraisy menemui Rasulullah
Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan yang agung, Hamzah bin
‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhuma,
awan kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikun dan barulah tersadar
dari mabuk mereka yang selama ini digunakan untuk menyiksa kaum
Muslimin. Kali ini, mereka berupaya untuk mencari jalan lain, yaitu
mengajukan negosiasi dimana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang
diinginkan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam asalkan mau
menghentikan dakwahnya. Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak
mengetahui bahwa setiap apa saja yang dapat disinari oleh matahari
tidak memiliki nilai sama sekali walau sebesar nyamuk sekalipun
dibandingkan dakwah yang beliau emban. Akhirnya, mereka mengalami
kegagalan lagi.
Ibnu Ishâq berkata: “Yazîd bin Ziyâd berkata kepadaku, dari Muhammad
bin Ka’ab al-Qurazhiy, dia berkata: ‘suatu hari ‘Utbah bin Rabî’ah
-yang merupakan seorang kepala suku- berbicara di perkumpulan
Quraisy saat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam duduk-duduk
seorang diri di masjid:
‘wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kamu bila aku menyongsong
Muhammad dan berbicara dengannya lalu menawarkan kepadanya beberapa
hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima lalu
setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia
tidak lagi mengganggu kita?.
Hal itu dikatakannya ketika Hamzah radhiallaahu 'anhu masuk Islam
dan melihat bahwa para shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka
berkata kepadanya:
“Tentu saja bagus, wahai Abu al-Walid! Pergilah menyongsongnya dan
berbicaralah dengannya!”.
‘Utbah segera menyongsong beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan
duduk disampingnya seraya berkata:
“wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah datang kepada
orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga membuat
mereka bercerai berai, angan-angan mereka engkau kerdilkan,
tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang
mereka engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal
kepadamu lantas bagaimana pendapatmu tentangnya?. Semoga saja
sebagiannya dapat engkau terima”.
“wahai Abu al-Walîd! katakanlah, aku akan mendengarkannya!”, jawab
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam .
“wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya
menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu
sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya diantara
kami; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan
kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi tuan kami hingga kami
tidak akan melakukan sesuatupun sebelum engkau perintahkan; jika apa
yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami
akan mengangkatmu menjadi raja; dan jika apa yang datang kepadamu
adalah jin yang engkau lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari
dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu serta akan kami
infakkan harta kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena
oleh jin sehingga perlu diobati”, katanya - atau sebagaimana yang
dia katakan- hingga akhirnya ‘Utbah selesai dan Rasulullah
mendengarkannya.
Lalu beliau berkata: “wahai ‘Utbah! Sudah selesaikah engkau?”.
Dia menjawab: “ya”.
Beliau berkata: “ Nah, sekarang dengarkanlah dariku!”.
Dia menjawab: “ya, akan aku dengar”.
Beliau membacakan firmanNya (surat Fushshilat dari ayat 1-5) artinya
:” Hâ mîm [1]. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan
dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa
berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka
berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan [4].
Mereka berkata: ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa
yang kamu seru kami kepadanya..[5]”.
Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melanjutkan
bacaannya.
Tatkala ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam serta khusyu’
mendengarkan sambil bertumpu diatas kedua tangannya yang diletakkan
dibelakang punggungnya hingga beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah
itu, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “wahai Abu
al-Walîd, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar
tadi. Sekarang terserah padamu”.
‘Utbah bangkit dan menemui para shahabatnya. Melihat kedatangannya,
sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:
“kami bersumpah atas nama Allah! sungguh Abu al-Walid telah datang
kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan sewaktu dia pergi
tadi”.
Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka berkata kepadanya:
“apa yang engkau bawa wahai Abu al-Walîd?”.
“yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang -demi
Allah- belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah!
ia bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai kaum
Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta
biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari
urusannya! Demi Allah! sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu
akan menjadi berita besar; jika orang-orang Arab dapat
mengalahkannya maka kalian telah terlebih dahulu membereskannya
tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia mengalahkan mereka maka
kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah
keagungan kalian juga; maka dengan begitu kalian akan menjadi orang
yang paling bahagia”.
Mereka berkata: “demi Allah! dia telah menyihirmu dengan lisannya,
wahai Abu al-Walîd”.
“inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian
lakukan”, jawabnya.
Dalam versi riwayat yang lain bahwa ‘Utbah mendengar dengan khusyu’
hingga bacaan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sampai kepada
firmanNya (surat Fushshilat, ayat 13): “jika mereka berpaling maka
katakanlah: ‘aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti
petir yang menimpa kaum ‘Âd dan kaum Tsaműd”. ketika itu, dia
berdiri karena terperanjat dan cepat-cepat menutup mulut Rasulullah
dengan tangannya sembari berkata:
“aku minta kepadamu atas nama Allah agar mengingat rahim (hubungan
kekeluargaan) diantara kita”.
Hal ini dilakukannya karena takut peringatan tersebut menimpanya.
Setelah itu, dia bangkit menemui para shahabatnya dan mengatakan apa
yang dia telah katakan (seperti diatas-red).
Para Petinggi Quraisy ingin berunding dengan Rasulullah sementara
Abu Jahal ingin menghabisinya
Harapan Quraisy untuk berunding tidak terhenti dengan jawaban dari
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam karena jawaban tersebut tidak
secara terus terang menolak atau menerima. Untuk itu, mereka berurun
rembug lalu berkumpul di depan ka’bah setelah terbenamnya matahari.
Mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah dan mengajaknya
bertemu disana. Tatkala beliau datang ke sana, mereka kembali
mengajukan tuntutan yang sama seperti yang diajukan oleh ‘Utbah.
Disini beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa dirinya
tidak bisa melakukan hal itu sebab beliau sebagai Rasul, hanyalah
menyampaikan risalah Rabbnya; jika mereka menerima maka mereka akan
beruntung dunia dan akhirat dan jika tidak, beliau akan bersabar
hingga Allah Yang akan memutuskannya.
Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan beberapa tanda,
diantaranya; agar beliau memohon kepada Rabbnya membuat
gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat
mereka, mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan orang-orang
yang telah mati hingga mereka mau mempercayainya. Namun beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawabnya seperti jawaban sebelumnya.
Mereka juga meminta beliau agar memohon kepada Rabbnya untuk
mengutus seorang raja yang mereka percayai dan menyediakan
taman-taman, harta terpendam serta istana yang terbuat dari emas dan
perak untuknya namun beliau tetap menjawab seperti jawaban
sebelumnya.
Bahkan mereka meminta beliau agar Rabb mendatangkan azab, yaitu
menjatuhkan langit atas mereka menjadi berkeping-keping. Beliau
menjawab:
“hal itu semua merupakan kehendak Allah; jika Dia berkehendak maka
Dia akan menjatuhkannya”.
Menanggapi jawaban itu mereka malah menantang dan mengancam beliau.
Akhirnya beliau pulang dengan hati yang teriris sedih.
Tatkala Rasulullah berlalu, Abu Jahal dengan sombongnya berkata
kepada kaum Quraisy:
“wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah
kalian saksikan, hanya ingin mencela agama dan nenek moyang kita,
membuyarkan angan-angan serta mencaci tuhan-tuhan kita. Sungguh aku
berjanji atas nama Allah untuk duduk didekatnya dengan membawa batu
besar yang mampu aku angkat dan akan aku hempaskan ke kepalanya saat
dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka saat itu, kalian hanya
memiliki dua pilihan; membiarkanku atau mencegahku. Dan setelah hal
itu terjadi, maka Banu ‘Abdi Muththalib bisa berbuat apa saja yang
mereka mau”.
Mereka menjawab: “demi Allah! kami tidak akan pernah membiarkanmu
untuk melakukan sesuatupun. Pergilah kemana yang engkau mau”.
Ketika paginya, Abu Jahal rupanya benar-benar mengambil batu besar
sebagaimana yang dia katakan, kemudian duduk sambil menunggu
kedatangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah pun
datang dan melakukan seperti yang biasa beliau lakukan. Beliau
berdiri lalu melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah
datang dan duduk di perkumpulan mereka sembari menunggu apa yang
akan dilakukan oleh Abu Jahal. Manakala Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam sedang sujud, Abu Jahal pun mengangkat batu
tersebut kemudian berjalan menuju ke arah beliau hingga jaraknya
sangat dekat sekali akan tetapi anehnya dia justru berbalik mundur,
merasa ciut, wajahnya pasi dan dirundung ketakutan. Kedua tangannya
sudah tidak mampu lagi menahan beratnya batu hingga dia melemparnya.
Menyaksikan kejadian itu, para pemuka Quraisy segera menyongsongnya
sembari bertanya:
“ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?”.
“aku sudah berdiri menuju ke arahnya untuk melakukan apa yang telah
kukatakan semalam, namun ketika aku mendekatinya seakan ada onta
jantan yang menghalangiku. Demi Allah! aku tidak pernah sama sekali
melihat sesuatu yang menakutkan seperti rupanya, juga seperti punuk
ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Katanya.
Ibnu Ishaq berkata: “disebutkan kepadaku bahwa Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘itu adalah Jibril
'alaihissalaam ; andai dia (Abu Jahal-red) mendekat pasti akan
disambarnya”.
Negosiasi dan Kompromi
Manakala kaum Quraisy gagal berunding dengan cara merayu,
mengiming-iming serta mengultimatum, demikian juga, Abu Jahal gagal
melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau;
mereka seakan tersadar untuk merealisasikan keinginan lainnya dengan
cara mencapai jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka.
Mereka sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam berjalan diatas kebathilan akan tetapi
kondisi mereka hanyalah –sebagaimana disifatkan dalam firmanNya-
“sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) dalam keraguan yang
menggelisahkan terhadap al-Qur’an” (Q.S.11/Hűd: 110). Karenanya
mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan beliau dalam
masalah agama. Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan beliau
dengan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan sebagian urusan
agama yang pernah mereka lakukan, lalu mereka juga menuntut Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal yang sama. Mereka mengira
bahwa dengan cara kali ini mereka akan melakukan hal yang benar,
jika memang apa yang diajak oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam
itu adalah benar.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata: “al-Aswad bin
al-Muththalib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, al-Walîd bin al-Mughîrah,
Umayyah bin Khalaf serta al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy (mereka ini
merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka) menghadang
Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah sembari berkata:
“wahai Muhammad! mari kami menyembah apa yang engkau sembah dan
engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami dan engkau
dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang engkau
sembah itu lebih baik dari apa yang kami sembah, maka berarti kami
telah mengambil bagian kami darinya, demikian pula jika apa yang
kami sembah lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka berarti
engkau telah mendapatkan bagianmu darinya”. Lalu Allah menurunkan
tentang mereka surat al-Kâfirűn semuanya.
‘Abd bin Humaid dan selainnya dari Ibnu ‘Abbâs bahwasanya
orang-orang Quraisy berkata:”andaikata engkau usap tuhan-tuhan kami,
niscaya kami akan menyembah tuhanmu”. Lalu turunlah surat al-Kâfirűn
semuanya.
Ibnu Jarîr dan selainnya mengeluarkan darinya juga (Ibnu ‘Abbâs-red)
bahwasanya orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam : “engkau menyembah tuhan kami selama setahun dan
kami menyembah tuhanmu selama setahun juga”. Lalu Allah Ta’ala
menurunkan firmanNya: “Katakanlah: ‘maka apakah kamu menyuruh aku
menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’
“. (Q.S.39/az-Zumar: 64)
Manakala Allah Ta’ala telah memberikan putusan final terhadap
perundingan yang menggelikan tersebut dengan pembandingan yang
tegas, orang-orang Quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga
disitu bahkan semakin mengendurkan daya kompromi mereka asalkan Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam mau mengadakan beberapa evaluasi
terhadap petunjuk-petunjuk yang dibawanya dari Allah, mereka berkata
(dalam firmanNya) : “datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau
gantilah dia”. (Q.S.10/Yunus: 15). Lantas Allah Ta’ala juga memotong
cara seperti ini dengan menurunkan ayat berikutnya sebagai bantahan
Nabi terhadap mereka, beliau berkata (dalam firmanNya):”katakanlah:
‘tidaklah tidak patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya
aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar
(kiamat)”. (Q.S.10/Yunus: 15).
Allah Ta’ala juga mengingatkan akan besarnya bahaya melakukan hal
tersebut, dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya mereka hampir
mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar
kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah
begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.[73].
Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir
condong sedikit kepada mereka.[74]. kalau terjadi demikian,
benar-benarlah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda
di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati,
dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami[75]”.
(Q.S. 17/al-Isra’: 73-75).
Kaum Quraisy bingung dan berpikir keras serta upaya mereka
menghubungi orang-orang Yahudi
Setelah semua perundingan, negosiasi dan kompromi yang diajukan oleh
kaum Musyrikun mengalami kegagalan, jalan-jalan yang ada dihadapan
mereka seakan gelap gulita. Mereka bingung apa yang harus dilakukan
hingga salah seorang dari syaithan mereka berdiri tegak, yaitu
an-Nadlar bin al-Hârits sembari menasehati mereka: “wahai kaum
Quraisy! Demi Allah! sungguh urusan yang kalian hadapi saat ini
tidak ada lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecilnya, Muhammad
adalah orang yang paling kalian ridlai, paling kalian benarkan
ucapannya, paling kalian agungkan amanatnya hingga akhirnya sekarang
kalian melihat uban tumbuh di kedua alisnya dan membawa apa yang
dibawanya kepada kalian. Kalian pernah mengatakan bahwa dia adalah
tukang sihir. Demi Allah! “Dia bukanlah seorang Tukang sihir. Kita
telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka
sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun
‘uqad (buhul-buhul) mereka. Lalu kalian katakan dia adalah seorang
dukun. Demi Allah! dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat
bagaimana kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan
seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun. Lalu
kalian katakan lagi bahwa dia adalah seorang penyair. Demi Allah!
“Dia bukan seorang Penya’ir. Kita telah mengenal semua bentuk
sya’ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya sedangkan yang
dikatakannya bukanlah sya’ir. Lalu kalian katakan bahwa dia adalah
seorang yang gila. Demi Allah! dia bukan seorang yang gila. Kita
telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang
dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun
was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut. wahai kaum Quraisy!
Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah! sesungguhnya kalian telah
menghadapi masalah yang besar”.
Ketika itulah kaum Quraisy memutuskan untuk menghubungi orang-orang
Yahudi sambil memastikan kelanjutan dari perihal Muhammad
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka mereka tunjuklah an-Nadlar bin
al-Hârits untuk pergi menemui orang-orang Yahudi di Madinah bersama
dua orang lainnya. Ketika mereka tiba di tempat mereka, para pemuka
agama Yahudi (Ahbâr) berkata kepada mereka:
“Tanyakan kepadanya (Muhammad-red) tiga hal, jika dia
memberitahukannya maka dialah Nabi yang diutus itu, dan jika tidak
maka dia hanyalah orang yang ngelantur bicaranya. Yaitu, tanyakan
kepadanya tentang sekolompok pemuda yang sudah meninggal pada masa
lampau pertama, bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita
tentang mereka amatlah mengagumkan. Juga tanyakan kepadanya tentang
seorang laki-laki pengelana yang menjelajahi dunia hingga ke belahan
timur bumi dan belahan baratnya, bagaimana kisahnya?. Terakhir,
tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh?”.
Setibanya di Mekkah, an-Nadlar bin al-Hârits berkata: “kami datang
kepada kalian berkat apa yang terjadi antara kami dan Muhammad”.
Lalu dia memberitahukan mereka perihal apa yang dikatakan oleh
orang-orang Yahudi. Setelah itu, orang-orang Quraisy bertanya kepada
Rasulullah tentang tiga hal tersebut, maka setelah beberapa hari
turunlah surat al-Kahfi yang didalamnya terdapat kisah sekelompok
pemuda tersebut, yakni Ashhâbul Kahfi dan kisah seorang laki-laki
pengelana, yakni Dzul Qarnain. Demikian pula, turunlah jawaban
tentang ruh dalam surat al-Isra’. Ketika itu, jelaslah bagi kaum
Quraisy bahwa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berada dalam
kebenaran namun orang-orang yang zhalim tidak berkenan selain
terhadap kekufuran.
Sikap Abu Thalib dan Keluarganya
Demikianlah tindakan kaum Musyrikun secara umum, sedangkan Abu
Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar
menyerahkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada mereka untuk
dibunuh. Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan ` kasak-kusuk mereka
dan mencium keinginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan oleh
‘Uqbah bin Abi Mu’ith, ‘Umar bin al-Khaththab (sebelum Islam-red)
dan Abu Jahal. Akhirnya, dia mengumpulkan seluruh keluarga Bani
Hasyim dan Bani al-Muththalib dan menghimbau mereka agar menjaga
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam . Mereka semua memenuhi imbauan
itu, baik yang sudah masuk Islam maupun yang masih kafir sebagai
bentuk fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat janji di Ka’bah
selain saudaranya, Abu Lahab yang memilih untuk menentang mereka dan
berada di pihak kaum Quraisy. Rabu, 11-02-1423 H = 23-04-2002 M |