Pemboikotan
Menyeluruh
Perjanjian yang zhalim dan melampaui batas
Setelah segala cara sudah ditempuh dan tidak membuahkan hasil juga,
kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi mereka
mengetahui bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muththalib berkeras
akan menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan membelanya
mati-matian apapun resikonya.
Karena itu, mereka berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang terletak
di lembah al-Mahshib dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim
dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak
berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka
hingga mereka menyerahkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut, diatas sebuah
shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “bahwa mereka
selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak
akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka
menyerahkan beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk dibunuh”.
Ibnu al-Qayyim berkata: “Ada yang mengatakan bahwa pernyataan itu
ditulis oleh Manshűr bin ‘Ikrimah bin ‘Âmir bin Hâsyim. Ada lagi
yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Nadlr bin al-Hârits.
Yang benar, bahwa yang menulisnya adalah Baghîdl bin ‘Âmir bin
Hâsyim, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berdoa atasnya
(dengan doa yang buruk) dan dia pun mengalami kelumpuhan ditangannya
sebagaimana doa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di rongga Ka’bah
namun Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semuanya, baik yang masih
kafir maupun yang sudah beriman selain Abu Lahab tetap berpihak
untuk membela Rasulullah. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu
Thalib pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi’tsah (diutusnya
beliau sebagai Rasul) sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain
tanggal tersebut.
Tiga Tahun di Kediaman Abu Thalib
Pemboikotan semakin diperketat sehingga makanan dan stock pun habis,
sementara kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk
ke Mekkah atau dijual kecuali mereka segera memborongnya. Tindakan
ini membuat kondisi Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semakin
kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan
dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis
bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman
tersebut.
Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali secara
sembunyi-sembunyi, dan merekapun tidak keluar rumah untuk membeli
keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan
yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang
datang dari luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga
barang-barang kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak
mampu membelinya.
Hakîm bin Hizâm pernah membawa gandum untuk diberikan kepada
bibinya, Khadîjah radhiallaahu 'anha namun suatu ketika dia dihadang
oleh Abu Jahal dan diinterogasi olehnya guna mencegah upayanya.
Untung saja, ada Abu al-Bukhturiy yang menengahi dan membiarkannya
lolos membawa gandum tersebut kepada bibinya.
Dilain pihak, Abu Thalib merasa khawatir atas keselamatan Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, dia biasanya memerintahkan
beliau untuk baring di tempat tidurnya bila orang-orang beranjak ke
tempat tidur mereka. Hal ini agar memudahkannya untuk mengetahui
siapa yang hendak membunuh beliau. Dan manakala orang-orang sudah
benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari putera-putera,
saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat
tidur Rasulullah sementara beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin keluar
pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka kepada Islam
sebagaimana yang telah kami singgung dalam pembahasan lalu tentang
perlakuan Abu Lahab terhadap mereka.
Pembatalan Terhadap Shahifah Perjanjian
Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh.
Barulah pada bulan Muharram tahun ke-10 dari kenabian terjadi
pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal
ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian
tersebut, diantara mereka ada yang pro dan ada yang kontra, maka
pihak yang kontra ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah
tersebut.
Diantara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyâm bin ‘Amru dari suku
Bani ‘Âmir bin Lu-ay – yang secara tersembunyi pada malam hari
mengadakan kontak dengan Bani Hâsyim dan menyuplai bahan makanan -.
Tokoh ini pergi menghadap Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzűmiy
(ibunya bernama ‘Âtikah binti ‘Abdul Muththalib), dia berkata
kepadanya:
“Wahai Zuhair! Apakah engkau tega dapat menikmati makan dan minum
sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka seperti
yang engkau ketahui saat ini?”
“celakalah engkau! Apa yang dapat aku perbuat bila hanya seorang
diri?. Sungguh, demi Allah! andaikata bersamaku seorang lagi niscaya
aku robek shahifah perjanjian tersebut”, jawabnya
“engkau sudah mendapatkannya!”, kata Hisyâm“siapa dia?”, tanyanya
“aku”, kata Hisyâm
“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”, jawabnya.
Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman al-Muth’im bin ‘Adiy. Dia
menyinggung tali rahim yang terjadi antara Bani Hâsyim dan Bani
al-Muththalib, dua orang putra ‘Abdi Manaf dan mencela
persetujuannya atas tindakan zhalim kaum Quraisy.
Al-Muth’im berkata: “celakalah engkau! Apa yang bisa aku lakukan
padahal aku hanya seorang diri?”.
Dia berkata: “engkau sudah mendapatkan orang keduanya”.
Dia bertanya: “siapa dia?”
“aku”, jawabnya
“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”, pintanya lagi
“sudah aku dapatkan orangnya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah”, jawabnya
“kalau begitu, carikan bagi kita orang keempat”, pintanya lagi
Lalu dia pergi lagi menuju kediaman Abu al-Bukhturiy bin Hisyâm dan
mengatakan kepadanya persis seperti apa yang telah dikatakannya
kepada al-Muth’im. Dia bertanya kepada Hisyâm: “apakah ada orang
yang membantu kita dalam hal ini?”
“Ya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah, al-Muth’im bin ‘Adiy. Aku juga akan
bersamamu”, jawabnya
“kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang kelima”, pintanya.
Kemudian dia pergi lagi menuju kediaman Zam’ah bin al-Aswad bin
al-Muththalib bin Asad. Dia berbincang dengannya lalu menyinggung
perihal kekerabatan yang ada diantara mereka dan hak-hak mereka.
Zam’ah bertanya kepadanya: “apakah ada orang yang ikut serta dalam
urusan yang engkau ajak diriku ini?”
“ya”, jawabnya. Kemudian dia menyebutkan nama-nama orang yang ikut
serta tersebut. Akhirnya mereka berkumpul di pintu Hujűn dan
berjanji akan melakukan pembatalan terhadap shahifah. Zuhair
berkata: “Akulah yang akan memulai dan orang pertama yang akan
berbicara”.
Ketika paginya, mereka pergi ke tempat perkumpulan. Zuhair datang
dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu mengelilingi ka’bah tujuh
kali kemudian menghadap ke khalayak seraya berkata:
“Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa menikmati makanan dan
memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak ada yang sudi
menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka? Demi
Allah! aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan
rahim dan zhalim ini dirobek!”.
Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut: “Demi Allah! engkau
telah berbohong! Jangan lakukan itu!”.
Lalu Zam’ah bin al-Aswad memotongnya:”demi Allah! justru engkaulah
yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya ketika
ditulis waktu itu”.
Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: “Benar apa yang dikatakan
Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis
dan tidak pernah menyetujuinya”.
Berikutnya, giliran al-Muth’im yang menambahkan: “mereka berdua ini
memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang
berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah tersebut
dan apa yang ditulis didalamnya”.
Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin ‘Amru yang menimpali seperti
itu pula.
Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal:”urusan ini telah diputuskan
di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya saat itu!”.
Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut al-Masjid al-Haram. Dia
datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam yang telah diberitahu oleh Allah perihal shahifah
tersebut bahwa Dia Ta’ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan
semua tulisan yang berisi pemutusan rahim dan kezhaliman tersebut
kecuali tulisan yang ada nama Allah Ta’ala di dalamnya.
Abu Thâlib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan kepada
mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh keponakanya
kepadanya. Dia menyatakan: “ini untuk membuktikan apakah dia
berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan
urusan dengannya, demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka
kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezhaliman terhadap
kami”.
Mereka berkata kepadanya: “kalau begitu, engkau telah berlaku adil”.
Setelah terjadi pembicaraan panjang antara mereka dan Abu Jahal,
berdirilah al-Muth’im menuju shahifah untuk merobeknya. Ternyata dia
menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan “bismikallâh”
(dengan namaMu ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya
dimana rayap-rayap tersebut tidak memakannya.
Lalu dia membatalkan shahifah tersebut sehingga Rasulullah bersama
orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat leluasa keluar.
Sungguh, kaum musyrikun telah melihat tanda yang agung sebagai
bagian dari tanda-tanda kenabian beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang difirmankan oleh
Allah: “Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu
tanda (mu'jizat), mereka berpaling dan berkata:"(Ini adalah) sihir
yang terus menerus". (Q.S. 54/al-Qamar:2). Mereka telah berpaling
dari tanda ini dan bertambahlah mereka dari kekufuran ke kekufuran
yang lebih lagi. Selasa, 21-05-2002 M = 08-03-1423 H |