Perang Dzat ar-Riqa’
(Tahun Ke-4 H)
Setelah pengusiran Bani an-Nadhir, Rasulullah
menetap di Madinah selama bulan Rabi’ul Akhir dan sebagian Jumadil
Ula. Setelah itu beliau berangkat ke Nejed untuk menyerang Bani
Muharib dan Bani Tsa’labah dan Ghathafan. Beliau menunjuk Abu Dzar
al-Ghifary sebagai imam sementara di Madinah. Rasulullah berjalan
hingga tiba di Nakhl [Nama sebuah tempat di Nejed di wilayah
Athfaan] . Di sanalah terjadi perang Dzat ar-Riqa’ [Disebut
Dzat ar-Riqa' karena mereka mengoyak bendera mereka. Ada yang
mengatakan bahwa Dzaatur Riqa' adalah nama sebuah pohon di sana. Ada
pula yang mengatakan disebut Dzat Riqa' karena batu-batuan mengoyak
tapak kaki mereka, sehingga koyak, lalu disebut dengan Dzat Riqa']
. Maka bertemulah dua pasukan besar. Kedua belah pihak saling
mendekat, namun tidak terjadi pertem-puran antara keduanya, karena
masing-masing pihak merasa takut, hingga Rasulullah mengerjakan
shalat Khauf bersama para sahabat.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA., ia berkata, “Aku keluar
bersama Rasulullah pada perang Dzat ar-Riqa’, dari Nakhl dengan
mengendarai seekor unta yang lemah. Ketika Rasulullah kembali dari
perang Dzat ar-Riqa’, teman-temanku dapat berjalan dengan lancar,
sementara aku tertinggal di belakang hingga beliau menyusulku.
Beliau bersabda kepadaku, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir.?”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan.”
Beliau bersabda, “Suruh ia duduk!” Aku mendudukkan untaku dan beliau
juga mendudukkan untanya. Setelah itu beliau bersabda, “Berikan
tongkatmu kepadaku!” Atau beliau bersabda: “Potongkan sebuah tongkat
untukku dari pohon itu.”
Lalu aku pun mengerjakan perintah Rasulullah SAW., dan beliau
mengambil tongkat yang dimintanya. Beliau menusuk lambung untaku
beberapa kali kemudian bersabda, “Naikilah untamu!” Aku segera
menaikinya. Demi Allah yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran,
untaku mampu menyalip unta beliau. Kami bercakap-cakap, kemudian
beliau bersabda, “Wahai Jabir, apakah engkau bersedia menjual untamu
kepadaku?” Aku menjawab, “Tidak wahai Rasulullah, namun aku akan
menghibahkannya kepadamu.” Beliau bersabda, “Juallah untamu ini
kepadaku!” Aku menjawab, “Kalau begitu, hargailah untaku ini.!”
Beliau bersabda, “Bagaimana kalau satu dirham.?” Aku menjawab,
“Tidak, wahai Rasulullah, kalau harganya seperti itu, engkau
merugikanku.” Beliau bersabda, “Dua dirham.?” Aku menjawab, “Aku
tidak mau seharga itu, wahai Rasulullah.”
Beliau terus menaikkan penawaran hingga harga unta itu mencapai satu
uqiyah. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ridha dengan
harga itu.?” Beliau menjawab, "Ya." Aku berkata: “Kalau begitu unta
ini menjadi milikmu.” “Ya, aku telah terima” jawab beliau lalu
bersabda, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah.?” “Sudah, wahai
Rasulullah,” Jawabku. Beliau bertanya, “Dengan gadis ataukah
janda.?” “Dengan janda,” Jawabku. Beliau bersabda, “Kenapa engkau
tidak menikahi seorang gadis hingga engkau bisa bercanda dengannya
dan ia bisa bercanda denganmu.?” Aku menjawab, “Ayahku gugur di
perang Uhud dan meninggalkan tujuh orang anak perempuan. Aku
menikahi seorang wanita yang dewasa sehingga bisa mengurus dan
mengasuh mereka.” Beliau bersabda, “Engkau benar, insya Allah.
Bagaimana jika telah tiba di Shirar [Sebuah tempat kira-kira 3
mil dari kota Madinah] nanti aku perintahkan penyiapan unta
untuk disem-belih, kemudian kita adakan jamuan daging unta pada hari
tersebut hing-ga istrimu mendengar kabar tentang kita dan ia
melepaskan bantalnya?”
“Aku tidak memiliki bantal wahai Rasulullah,” jawabku. Beliau
bersabda, “Engkau akan memilikinya insya Allah. Karena itu, jika
eng-kau telah tiba di rumahmu, maka lakukanlah perbuatan orang
cerdik.”
Setibanya di Shirar, Rasulullah SAW., memerintahkan para sahabat
untuk menyiapkan unta dan kemudian disembelih. Kami mengadakan
jamuan makan pada hari itu. Pada sore hari, beliau masuk ke rumah,
dan kami pun masuk ke rumah kami. Aku ceritakan kisah ini dan sabda
Rasulullah kepada istriku. Istriku berkata, “Lakukanlah itu, dengar
dan taatlah.” Esok paginya aku membawa untaku, menuntun dan
menduduk-kannya di depan pintu masjid Rasulullah, kemudian aku duduk
di dekat masjid. Ketika beliau keluar dan melihatnya, beliau
bersabda, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini unta yang dibawa
Jabir.” Beliau bersabda, “Di mana Jabir?” Aku pun dipanggil,
kemudian beliau bersabda, “Wahai anak saudaraku, ambillah untamu,
karena ia menjadi milikmu!” Beliau memanggil Bilal dan bersabda
kepadanya, “Pergilah bersama Jabir, dan berikan kepadanya uang satu
uqiyah!” Aku pergi bersama Bilal, dan kemudian ia memberiku uang
satu uqiyah dan memberi sedikit tambahan kepadaku. Demi Allah,
pemberian beliau tesebut terus berkembang dan bisa dilihat tempatnya
di rumahku hingga aku mendapat musibah di perang al-Harrah belum
lama ini.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, dia berkata, ‘Kami
keluar bersama Rasulullah di perang Dzât ar-Riqâ’ dari Nakhl. Salah
seorang dari sahabat nabi melukai seorang istri dari kaum musyrikin.
Ketika Rasulullah telah kembali ke Madinah, datanglah suami wanita
tersebut. Setelah dikabarkan kepadanya apa yang terjadi, ia
bersumpah tidak akan kembali hingga bisa menumpahkan darah
sahabat-sahabat nabi. Orang itu berjalan menelusuri jejak
Rasulullah. Ketika sampai di suatu tempat, Rasulullah singgah di
sana dan bersabda, “Siapa yang bersedia berjaga malam ini?” Seorang
sahabat Anshar dan seorang sahabat Muhajirin berkata, “Kami siap
melakukan penjagaan, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau bersabda
kepada keduanya, “Hendaklah kalian berdua berjaga-jaga di mulut
jalan ini!” Ketika keduanya telah berada di mulut jalan, sahabat
Anshar itu berkata kepada sahabat Muhajirin, "Kapan engkau lebih
senang berjaga, awal malam atau akhir malam?" Sahabat Muhajirin itu
menjawab, "Jagalah aku di awal malam!"
Setelah itu ia pun tidur, sementara sahabat Anshar berjaga sambil
berdiri mengerjakan shalat. Ketika itu datanglah suami wanita kaum
musyrikin tersebut. Melihat kedua orang sahabat Rasulullah, tahulah
ia bahwa mereka bertugas mengintai musuh. Ia segera melempar panah
hingga mengenai sahabat yang sedang shalat, namun sahabat tersebut
mencabutnya dan tetap berdiri tegak. Orang musyrik itu kembali
melem-par panah. Namun sahabat Anshar itu mencabutnya dan tetap
berdiri kokoh. Orang musyrik itu kembali melempar panah. Sahabat itu
menca-butnya lalu ruku', sujud dan membangunkan sahabatnya lalu
berkata: "Bangunlah, sungguh aku terluka parah!" Sahabat Muhajirin
itu segera bangun, dan ketika keduanya melihat orang musyrik itu, ia
segera sadar bahwa keberadaan dirinya telah diketahui lalu ia
melarikan diri. Melihat darah mengalir di tubuh sahabatnya, sahabat
Muhajirin itu berkata, "Subhânallâh, mengapa engkau tidak
membangunkanku saat orang musyrik itu melemparmu dengan panah?"
Sahabat Anshar itu menjawab, "Saat itu aku sedang membaca sebuah
ayat al-Qur'an, dan aku tidak ingin memotongnya hingga aku
menyelesaikan bacaannya. Ketika anak panah terus menerus mengenaiku,
aku pun ruku' dan membangunkanmu. Demi Allah, kalaulah bukan karena
khawatir melalaikan tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah yang
harus kulaksanakan, niscaya orang musyrik itu pasti membunuhku
sebelum aku menyelesaikan bacaanku."
Ibnu Ishaq berkata, "Setibanya dari perang Dzat ar-Riqa', Rasulullah
menetap di Madinah pada sisa bulan Jumadil Ula, Jumadil Akhir dan
Rajab." |