Penaklukan Kota
Mekkah, Ramadhan, 8 H (1-2)
“Setelah pengiriman pasukan ke Mu’tah, Rasulullah
menetap di Madinah pada bulan Jumadil Akhir dan Rajab”.
“Tidak lama setelah itu, kabilah Bani Bakr bin Abdu Manat bin
Kinanah menyerang kabilah Khuza’ah ketika mereka berada di mata air
mereka di Mekkah Bawah yang bernama Al-Watir. Pemicu perang antara
kabilah Bani Bakr dengan kabilah Khuza’ah bahwa orang dari Bani Al-Hadhrami
bernama Malik bin Abbad –ketika itu Bani Al-Hadhrami ber-sekutu
dengan Bani Al-Aswad bin Razn Ad-Daili dari kabilah Bani Bakr-
keluar untuk berdagang. Ketika ia berada di tengah-tengah daerah
kabilah Khuza’ah, orang-orang kabilah Khuza’ah menyerangnya hingga
ia tewas dan mereka mengambil hartanya. Sebagai gantinya, kabilah
Bani Bakr menyerang salah seorang dari kabilah Khuza’ah hingga tewas.
Sebelum Islam datang, kabilah Khuza’ah menyerang tokoh-tokoh Bani
Al-Aswad bin Razn As-Daili, yaitu Salma, Kultsum, dan Dhuaib, serta
membunuh mereka di Araf di perbatasan tanah haram”.
“Ketika kabilah Bani Bakr dan kabilah Khuza’ah dalam keadaan seperti
itu, Islam menghalang-halangi kedua belah pihak berperang karena
masing-masing dari keduanya lebih sibuk memikirkan Islam. Ketika
perdamaian Al-Hudaibiyah terjadi antara Rasulullah dengan Quraisy
dan di dalamnya disyaratkan -seperti dikatakan kepadaku oleh
Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair dari Al-Miswar bin Makhramah,
Marwan bin Al-Hakam, dan ulama-ulama lainnya- bahwa barangsiapa
ingin masuk ke dalam perjanjian Rasulullah maka ia masuk ke dalamnya
dan barangsiapa ingin masuk ke dalam perjanjian Quraisy maka ia
masuk ke dalamnya. Oleh karena itu, kabilah Bani Bakr masuk ke dalam
perjanjian Quraisy sedang kabilah Khuza’ah masuk ke dalam perjanjian
Rasulullah”.
“Ketika gencatan senjata terjadi antara Rasulullah dan Quraisy, Bani
Ad-Dail dari kabilah Bani Bakr memanfaatkan kesempatan untuk balas
dendam atas kematian orang-orang dari Bani Al-Aswad bin Razn Ad-Daili
yang dibunuh kabilah Khuza’ah. Untuk itu, Naufal bin Muawiyah Ad-Daili,
pemimpin Bani Ad-Daili dari kabilah Bani Bakr, berangkat bersama
Bani Ad-Dail, kendati tidak semua orang-orang Bani Bakr mengikutinya,
kemudian ia menyerang kabilah Khuza’ah dengan tiba-tiba di Mata Air
Al-Watir dan membunuh satu orang dari mereka. Masing-masing orang
bergabung kepada kabilahnya dan bertempur. Bani Ad-Dail dan kabilah
Bani Bakr ini disokong senjata oleh Quraisy dan beberapa orang
Quraisy ikut perang di barisan Bani Ad-Dail dari Bani Bakr di malam
hari dengan sembunyi-sembunyi.
Perang terus berkecambuk hing-ga akhirnya Bani Ad-Dail dari kabilah
Bani Bakr memaksa kabilah Khuza’ah pergi ke tanah Haram. Ketika
kabilah Khuza’ah tiba di tanah Haram, orang-orang Bani Ad-Dail dari
kabilah Bani Bakr berkata, ‘Hai Naufal, kita telah memasuki tanah
Haram. Ingatlah engkau kepada Tuhanmu. Ingatlah engkau kepada
Tuhanmu’. Naufal bin Muawiyah Ad-Daili mengatakan kata-kata agung,
‘Saya tidak mempunyai Tuhan pada hari ini. Hai Bani Ad-Dail dari
kabilah Bani Bakr, lampiaskan dendam kalian. Aku bersumpah, kalian
telah mencuri di tanah haram, kenapa ka-lian juga tidak melampiaskan
dendam kalian di dalamnya?’
Pada malam hari saat bani Ad-Dail dari kabilah Bani Bakr menyerang
kabilah Khu-za’ah di Mata Air Al-Watir, mereka berhasil menangkap
orang kabilah Khuza’ah bernama Munabbih yang berhati lemah. Ia
keluar bersama salah seorang dari kaumnya bernama Tamim bin Asad.
Munabbih berkata kepada Tamim bin Asad, ‘Hai Tamim, selamatkan
dirimu. Sedang aku, maka aku akan mati. Mereka membunuhku atau
membiarkanku. Sungguh hatiku telah hancur’. Tamim bin Asad segera
pergi untuk melarikan diri. Bani Ad-Dail dari kabilah Bani Bakr
menemukan Munabbih kemudian membunuhnya. Ketika kabilah Khuza’ah
tiba di Mekkah, mereka berlindung di rumah Budail bin Warqa’ dan
mantan budak mereka bernama Rafi’.”
“Ketika kabilah Bani Bakr bersekutu dengan Quraisy untuk menyerang
kabilah Khuza’ah, menangkap salah seorang dari mereka, melanggar
perjanjian dengan Rasulullah, membunuh orang kabilah Khuza’ah
padahal kabilah Khuza’ah adalah sekutu beliau, maka Amr bin Salim
dari Khuza’ah, salah seorang warga Bani Ka’ab, pergi ke Madinah dan
tiba di tempat Rasulullah. Inilah yang mendorong terjadinya
penaklukan Mekkah. Amr bin Salim berdiri di depan Rasulullah yang
sedang duduk di masjid di tengah-tengah kaum muslimin, kemudian
berkata,
‘Ya Rabbi, sungguh aku memohon kepada Muhammad
Sekutu orang tua kami dan orang tuanya dulu
Tadinya kalian adalah anak, sedang kami adalah ayah
Kami berdamai dan membatalkannya
Tolonglah kami, semoga Allah memberimu pertolongan gilang-gemilang
Panggillah hamba-hamba Allah untuk datang sebagai bala bantuan
Dimana di dalamnya terdapat Rasulullah
Yang jika hendak dizhalimi, ia berubah karena marah
Dalam pasukan besar seperti laut yang mengalir hingga mengeluarkan
buih
Sesungguhnya Quraisy telah mengingkari perjanjiannya denganmu
Melanggar perjanjianmu yang kuat
Dan mengincar untuk membunuhku di Kada’*
Mereka mengira aku tidak mengajak siapa pun
Mereka sangat hina dan jumlah mereka sangat sedikit
Mereka menyerang kami di Al-Watir pada malam hari saat kami
mengerjakan shalat Tahajjud
Dan membunuh kami ketika kami ruku’ dan sujud’.”
“Rasulullah bersabda, ‘Hai Amr bin Salim, engkau akan dibantu’.
Mendung di langit ditampakkan kepada Rasulullah, kemudian beliau
bersabda, ‘Sesungguhnya mendung ini akan turun membawa pertolongan
bagi Bani Ka’ab –dari kabilah Khuza’ah–’.”
“Budail bin Warqa’ bersama beberapa orang dari kabilah Khuza’ah
berangkat ke Madinah untuk bertemu dengan Rasulullah. Tiba di
Madinah, mereka melaporkan kepada beliau apa yang mereka alami dan
dukungan Quraisy terhadap kabilah Bani Bakr dalam menghadapi mereka.
Setelah itu mereka pulang ke Mekkah. Sebelum itu, Rasulullah
bersabda, ‘Sepertinya Abu Sofyan bin Harb akan datang kepada kalian
untuk menguatkan perjanjian dan menambah masa berlakunya’.”
“Budail bin Warqa’ dan anak buahnya terus berjalan hingga berjumpa
dengan Abu Sofyan bin Harb di Usfan** yang diutus orang Quraisy
untuk menemui Rasulullah guna menguatkan perjanjian dan
memperpanjang masa berlakunya karena mereka ketakutan atas tindakan
mereka membantu kabilah Bani Bakr.
Ketika Abu Sofyan bin Harb bertemu Budail bin Warqa’, ia bertanya,
‘Engkau dari mana, wahai Budail’. Abu Sofyan bin Harb menduga bahwa
Budail bin Warqa’ barusan menemui Rasulullah. Budail bin Warqa’
menjawab, ‘Aku bersama orang-orang kabilah Khuza’ah baru saja
berjalan-jalan di pantai ini dan kabilah di lembah ini’. Abu Sofyan
bin Harb bertanya, ‘Apakah engkau barusan menemui Muhammad?’ Budail
bin Warqa’ menjawab, ‘Tidak’. Ketika Budail bin Warqa’ tiba di
Mekkah, Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Jika Budail bin Warqa’ baru
tiba dari Madinah, pasti untanya memakan biji kurma’. Usai berkata
seperti itu, Abu Sofyan bin Harb mendatangi tem-pat pemberhentian
unta Budail bin Warqa’ dan mengambil kotorannya. Ia meremukkan
kotoran unta tersebut dan melihat biji kurma di dalamnya. Ia
berkata, ‘Aku bersumpah bahwa Budail bin Warqa’ telah menemui
Muhammad’.”
“Setelah itu, Abu Sofyan bin Harb berangkat ke Madinah. Setibanya di
Madinah, ia masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah binti Abu Sofyan
bin Harb. Ketika ia hendak duduk di atas kasur Rasulullah, Ummu
Habibah melipatnya dan tidak memperkenankan Abu Sofyan bin Harb
duduk di atasnya. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Hai putriku, aku
tidak tahu apakah engkau tidak menyukaiku duduk di atas kasur ini
dan engkau lebih menyukai dia duduk di atasnya’. Ummu Habibah
menja-wab, ‘Kasur ini milik Rasulullah, sedang engkau orang musyrik
dan najis. Jadi, aku tidak suka engkau duduk di atas kasur
tersebut’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Demi Allah, engkau menjadi
jahat sesudah berpisah denganku’.”
“Setelah itu, Abu Sofyan bin Harb datang ke tempat Rasulullah. Ia
berbicara dengan beliau, namun beliau tidak menggubrisnya. Kemudian
Abu Sofyan bin Harb pergi ke tempat Abu Bakar dan menyuruhnya
berbicara dengan Rasulullah, namun Abu Bakar berkata, ‘Aku tidak
mau’. Kemudian Abu Sofyan bin Harb mendatangi Umar bin Khaththab dan
berbicara dengannya, namun malah Umar bin Khaththab berkata, ‘Aku
harus membelamu di hadapan Rasulullah?. Demi Allah, jika aku hanya
mendapatkan semut kecil, aku akan memerangimu dengannya’.
Abu Sofyan bin Harb keluar dari rumah Umar bin Khaththab dan pergi
ke rumah Ali bin Abu Thalib yang ketika itu sedang bersama istrinya,
Fathimah binti Rasulullah dan anak keduanya, Hasan bin Ali, yang
sedang merangkak. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Hai Ali, engkau
orang yang paling penyayang. Aku datang kepadamu untuk satu
keperluan, oleh karena itu, jangan biarkan aku pulang dengan tangan
kosong, mintakan untukmu keringanan kepada Rasulullah’. Ali bin Abu
Thalib berkata, ‘Celakalah engkau, hai Abu Sofyan, demi Allah,
Rasulullah telah bertekad melakukan sesuatu dan kita tidak lagi
dapat bernegoisasi dengan beliau’. Abu Sofyan bin Harb menoleh ke
arah Fathimah kemudian berkata, ‘Hai putri Muhammad, maukah engkau
menyuruh anak kecilmu ini melindungi manusia kemudian ia menjadi
pemimpin Arab sepanjang zaman?’ Fathimah menjawab, ‘Demi Allah,
anakku tidak dapat melindungi manusia dan seorang pun tidak bisa
melindungi mereka dari Rasulullah’. Abu Sofyan bin Harb berkata
kepada Ali bin Abu Thalib, ‘Hai Abu Hasan, aku lihat permasalahan
menjadi sulit bagiku, nasihatilah aku’. Ali bin Abu Thalib berkata,
‘Demi Allah, aku tidak mengetahui ada sesuatu yang bermanfaat
bagimu. Engkau pemimpin Bani Kinanah, oleh karena itu, berdirilah
dan lindungilah manusia, kemudian pulanglah ke tempat asalmu’. Abu
Sofyan bin Harb berkata, ‘Apakah hal tersebut ber-manfaat bagiku?’
Ali bin Abu Thalib, ‘Kukira hal tersebut tidak berman-faat bagimu,
namun aku tidak mengetahui alternatif yang lain’. Abu Sofyan bin
Harb pergi ke masjid, kemudian berkata, ‘Hai manusia, aku telah
melindungi manusia’. Usai berkata seperti itu, Abu Sofyan bin Harb
menaiki untanya dan pulang ke Mekkah. Ketika ia tiba di Mekkah,
orang-orang Quraisy berkata kepadanya, ‘Informasi apa yang engkau
bawa?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Aku datang kepada Muhammad
kemudian berbicara dengannya, namun ia tidak menyahut sedikit pun.
Kemudian aku datang kepada Abu Bakar, namun aku tidak melihat
kebaikan padanya. Kemudian aku datang kepada Umar bin Khaththab dan
menda-patinya orang yang paling keras permusuhannya. Kemudian aku
datang kepada Ali bin Abu Thalib dan mendapatinya orang yang paling
lembut. Ia menasihatiku melakukan sesuatu, namun demi Allah, aku
tidak tahu apakah sesuatu tersebut bermanfaat bagiku atau tidak’.
Orang-orang Quraisy berkata, ‘Apa yang diperintahkan Ali bin Abu
Thalib kepadamu?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ia menyuruhku
melindungi manusia dan aku pun melakukannya’. Orang-orang Quraisy
berkata, ‘Apakah Muhammad membolehkannya?’ Abu Sofyan bin Harb
berkata, ‘Tidak’. Orang-orang Quraisy berkata, ‘Celakalah engkau,
engkau dipermainkan Ali bin Abu Thalib. Apa yang engkau katakan tadi
sama sekali tidak bermanfaat bagimu’. Abu Sofyan bin Harb berkata,
‘Demi Allah, aku tidak mendapatkan alternatif lain’.”
“Rasulullah memerintahkan kaum muslimin bersiap-siap dan
meme-rintahkan keluarga beliau menyiapkan keperluan untuk beliau.
Abu Bakar masuk ke rumah putrinya, Aisyah, yang sedang menyiapkan
keperluan Rasulullah kemudian berkata, ‘Putriku, apakah Rasulullah
memerintahkanmu membuat persiapan untuk beliau?’ Aisyah menjawab,
‘Ya’. Oleh karena itu, bersiap-siaplah engkau’. Abu Bakar bertanya,
‘Engkau lihat beliau akan pergi ke mana?’ Aisyah menjawab, ‘Demi
Allah, aku tidak tahu’.
Tidak lama setelah itu, Rasulullah mengumumkan bahwa beliau hendak
berangkat ke Mekkah dan memerintahkan kaum muslimin serius dan
bersiap-siap. Beliau berdoa, ‘Ya Allah, rahasiakan informasi ini
dari orang-orang Quraisy, agar kami bisa menyerang mereka dengan
tiba-tiba di negeri mereka sendiri’. Kaum muslimin pun
bersiap-siap”.
“Ketika Rasulullah memutuskan berangkat ke Mekkah, Hathib bin Abu
Balta’ah mengirim surat kepada orang-orang Quraisy. Dalam surat-nya,
Hathib bin Abu Balta’ah menjelaskan tentang keputusan Rasulullah
untuk berangkat ke tempat mereka. Surat tersebut dititipkan Hathib
bin Abu Balta’ah kepada seorang wanita bernama Muzainah –menurut
Mu-hammad bin Ja’far– atau Sarah, mantan budak wanita salah seorang
dari Bani Abdul Muththalib –menurut ulama lain–. Hathib bin Abu
Balta’ah memberi hadiah kepada wanita tersebut dengan syarat ia
mengantarkan suratnya kepada orang-orang Quraisy. Wanita tersebut
meletakkan surat Hathib bin Abu Balta’ah di kepalanya, memintalnya
dengan gelungan rambut, kemudian ia berangkat ke Mekkah”.
“Rasululullah SAW menerima wahyu dari langit tentang perbuatan
Hathib bin Abu Balta’ah tersebut, kemudian beliau mengutus Ali bin
Abu Thalib dan Az-Zubair bin Al-Awwam. Beliau bersabda kepada
keduanya, ‘Kejarlah wanita yang membawa surat Hathib bin Abu
Balta’ah yang berisi penjelasan kepada orang-orang Quraisy tentang
rencana kita terha-dap mereka’.
Ali bin Abu Thalib dan Az-Zubair bin Al-Awwam berangkat dan berhasil
menyusul wanita tersebut di dataran tinggi, tepatnya dataran tinggi
Bani Abu Ahmad. Keduanya menyuruh wanita tersebut turun dari unta
dan membongkar pelananya, namun tidak menemukan apa-apa.
Ali bin Abu Thalib berkata kepada wanita tersebut, ‘Aku bersumpah
dengan nama Allah bahwa Rasulullah tidak berkata dusta dan kami
tidak mendustakannya. Serahkan surat yang engkau bawa kepada kami.
Kalau tidak, kami akan menelanjangimu’.
Demi melihat keseriusan Ali bin Abu Thalib, wanita itu berkata:
‘Berpalinglah dariku’. Ali bin Abu Thalib berpaling, kemudian wanita
tersebut membuka gelungan rambutnya, mengeluarkan surat daripadanya,
dan menyerahkan surat tersebut kepada Ali bin Abu Thalib, kemudian
Ali bin Abu Thalib membawa surat kepada Rasulullah”.BERSAMBUNG
CATATAN KAKI:
* Kadaa' adalah nama tempat di bagian atas kota Mekkah
** Usfaan adalah nama sebuah tempat berjarak dua marhalah dari kota
Mekkah
“Rasulullah memanggil Hathib bin Abu Balta’ah dan
berkata kepa-danya: ‘Hai Hathib, mengapa engkau melakukan hal ini?’
Hathib bin Abu Balta’ah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, aku
beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak berubah dan tidak
berganti agama. Hanya saja, aku orang yang tidak mempunyai asal-usul
di Quraisy, sedangkan anak dan keluargaku di tempat mereka. Oleh
karena itulah, aku me-ngambil muka terhadap mereka’. Umar bin
Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal leher
orang ini, karena ia munafik’. Rasulullah bersabda, ‘Hai Umar,
engkau tidak tahu bahwa Allah melihat mujahidin Badar di Perang
badar, kemudian berfirman, ‘Kerjakan apa saja yang kalian inginkan,
karena Aku telah mengampuni kalian’.
Kemudian Allah SWT berfirman mengenai perihal Hathib:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sa-yang; padahal
sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebe-naran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengu-sir) kamu karena kamu
beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad pada jalanKu dan mencari ke-ridhaanKu (janganlah kamu
berbuat demikian). Kamu memberita-hukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang.
Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka
menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan
melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti (mu);
dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. Karib kerabat dan
anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfa'at bagimu pada hari Kiamat.
Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan. Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka
berkata kepada kaum mereka:’Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja’.” (Al-Mumtahanah: 1-4)
Hingga akhir kisah.
“Rasulullah berangkat ke Makkah dan menunjuk Abu Rahm Al-Ghifari
sebagai amir sementara di Madinah. Itu terjadi pada tanggal sepuluh
Ramadhan, jadi, beliau berpuasa begitu juga kaum muslimin. Ketika
beliau tiba di Al-Kudaid, tempat antara Usfan dengan Amaj, beliau
membatalkan puasanya”.
“Rasulullah terus berjalan hingga berhenti di Marru Adz-Dzahran
bersama sepuluh ribu kaum muslimin; tujuh ratus personil dari Bani
Sulaim –ada yang mengatakan seribu personil– dan seribu personil
dari Bani Muzainah, karena pada semua kabilah itu terdapat
orang-orang yang telah masuk Islam. Seluruh kaum Muhajirin dan
Anshar ikut bersama Rasulullah. Tidak ada satu orang pun dari mereka
yang tidak ikut. Rasulullah berhenti di Marru Adz-Dzahran sedang
orang-orang Quraisy tidak mendengar informasi seputar beliau dan apa
yang akan beliau lakukan. Di sisi lain, pada malam tersebut,
keluarlah Abu Sofyan bin Harb, Hakim bin Hizam, dan Budail bin
Warqa’ guna mencari informasi dan melihat-lihat siapa tahu mereka
mendapatkan informasi atau mendengarnya. Al-Abbas bin Abdul
Muththalib bertemu Rasulullah di salah satu jalan”.
“Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib dan Abdullah bin Abu
Umaiyyah bin Al-Mughirah juga bertemu Rasulullah di Niqul Uqab,
daerah di antara Makkah dengan Madinah. Keduanya ingin masuk menemui
Rasulullah kemudian Ummu Salamah berkata kepada beliau tentang
keduanya. Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah anak paman
dan bibimu, serta keluargamu’. Rasulullah bersabda, ‘Aku tidak punya
kepentingan dengan keduanya. Adapun anak pamanku, ia telah merusak
kehormatanku. Sedang anak bibiku dan keluargaku, ia pernah
mengatakan sesuatu tentang diriku di Makkah’. Ketika sabda
Rasulullah disampaikan kepada keduanya, Abu Sofyan bin Al-Harits
–ketika itu membawa anak kecilnya– berkata, ‘Demi Allah, Muhammad
harus mengizinkan aku masuk. Jika tidak, aku akan membawa anak kecil
ini, kemudian kami berkelana ke dunia hingga kami mati karena lapar
dan haus’. Ketika Rasulullah mendengar ucapan Abu Sofyan bin
Al-Harits tersebut, beliau terketuk hatinya, kemudian mengizinkan
keduanya masuk menemui beliau. Keduanya pun masuk dan mengucapkan
salam kepada beliau”.
“Abu Sofyan bin Al-Harits menyatakan ke-Islamannya dan permohonan
maafnya akan dosa-dosa masa silamnya,
‘Aku bersumpah, ketika aku membawa bendera perang musyrik
Pasukan berkuda Lata mengalahkan pasukan berkuda Muhammad
Aku seperti orang yang berjalan di malam hari yang gelap dalam
keadaan bingung
Dan sekarang aku telah mendapatkan petunjuk dan diberi petunjuk
Aku diberi petunjuk oleh pemberi petunjuk selain diriku
Orang yang pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku
Dulu aku bersungguh-sungguh menghalang-halangi manusia dari Muhammad
Aku tetap dihormati kendati aku tidak bergabung dengan Muhammad
Bukan orang musyrik namanya bila tidak berkata dengan hawa nafsu
Kendati ia punya pikiran kotor dan berkata dusta
Aku ingin keridhaan mereka
Dan aku tidak dekat dengan kaum jika aku tidak diberi petunjuk di
semua tempat
Katakan kepada Tsaqif, aku tidak ingin menyerang kalian
Dan katakan kepada Tsaqif, silakan ancam orang selain aku
Aku tidak ikut dalam pasukan yang menangkap Amir
Itu bukan ulah lisan dan tanganku
Kabilah-kabilah datang dari tempat jauh
Mereka datang dari Saham dan Surdad (nama tempat di wilayah 'Ikk)’.”
“Para ulama mengatakan bahwa ketika Abu Sofyan bin Al-Harits
melantunkan bait syair berikut kepada Rasulullah, ‘Orang yang
pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku, beliau
menepuk dadanya, kemudian bersabda, ‘Engkaulah orang yang pernah
mengusirku?’”
Ketika Rasulullah berhenti di Marru Adz-Dzahran, Al-Abbas bin Abdul
Muththalib berkata, “Hati-hatilah hai oarang-orang Quraisy pagi ini.
Demi Allah, jika Rasulullah memasuki Makkah dengan kekerasan dan
sebelum itu mereka (orang-orang Quraisy) tidak datang meminta
jaminan keamanan kepada beliau, maka itu adalah kehancuran mereka
sepanjang zaman”.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, ‘Setelah itu, aku duduk di
atas Baghal milik Rasulullah yang berwarna putih dan keluar
dengan menaikinya. Ketika aku tiba di pohon 'Arak, aku berkata,
‘Mudah-mudahan aku dapat bertemu salah seorang pencari kayu bakar,
atau penggembala unta, atau penggembala kambing, atau orang yang
mempunyai keperluan pergi ke Makkah, yang bisa menjelaskan kepada
mereka kebe-radaan Rasulullah, kemudian mereka datang kepada beliau
untuk memin-ta jaminan keamanan kepada beliau sebelum beliau
memasuki ke tempat mereka dengan kekerasan’.
Demi Allah, aku terus berjalan di atas baghal milik Rasulullah dan
mencari salah satu dari orang yang aku cari. Tiba-tiba aku mendengar
ucapan Abu Sofyan bin Harb dan Budail bin Warqa’ yang sedang tukar
pendapat. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Aku tidak pernah melihat api
dan markas tentara seperti pada malam ini’. Budail bin Warqa’
berkata, ‘Demi Allah, itu adalah kabilah Khuza’ah yang sedang
menyalakan api’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Api kabilah Khuza’ah
dan markasnya tidak sebesar itu’.
Aku mengenali suara Abu Sofyan bin Harb. Aku berkata, ‘Hai Abu
Handzalah’. Abu Sofyan bin Harb juga mengenali suaraku, kemudian ia
berkata, ‘Hai Abu Al-Fadhl’. Aku berkata, ‘Ya betul’. Abu Sofyan bin
Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, apakah gerangan yang
menimpamu?’ Aku berkata, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, inilah
Rasulullah sedang bersama pengikutnya. Demi Allah, hati-hatilah
orang-orang Quraisy pada pagi ini’. Abu Sofyan bin Harb berkata,
‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, bagaimana cara menghindar dari itu
semua?’ ‘Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, beliau
pasti memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah di belakang baghal
ini, hingga aku membawamu ke tempat Rasulullah, kemudian engkau
meminta jaminan keamanan untukmu kepada beliau’.
Abu Sofyan bin Harb pun naik di belakangku, sedang kedua temannya
pulang ke Makkah. Aku membawa Abu Sofyan bin Harb dan setiap kali
aku melewati api kaum muslimin, mereka bertanya, ‘Siapa orang ini?’
Ketika mereka melihat Baghal milik Rasulullah dan aku berada
di atasnya, mereka berkata, ‘Paman Rasulullah sedang mengendarai
Baghal beliau’. Aku terus berjalan hingga melewati api Umar bin
Khaththab. Ia berkata, ‘Siapa ini?’ Ia mendekatiku dan ketika ia
melihat Abu Sofyan bin Harb, ia berkata, ‘Abu Sofyan musuh Allah.
Segala puji bagi Allah yang telah menaklukkanmu tanpa perjanjian
sebelumnya.
Ketika Umar bin Khaththab berlari menuju tempat Rasulullah, sedang
aku memacu Baghal hingga mendahului Umar bin Khaththab
seper-ti halnya hewan pelan yang mendahului orang yang jalannya
pelan. Aku turun dari baghal kemudian masuk ke tempat Rasulullah dan
pada saat yang sama Umar bin Khaththab masuk ke tempat beliau. Umar
bin Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah Abu Sofyan. Allah
telah menaklukkannya tanpa perjanjian sebelumnya. Oleh karena itu,
izinkan aku memenggal lehernya’. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku
telah melindungi Abu Sofyan bin Harb’. Setelah itu, aku duduk dekat
Rasulullah dan memegang kepala beliau sambil berkata, ‘Demi Allah,
pada malam ini tidak boleh ada orang lain selian diriku yang
berbicara denganmu’. Ketika Umar bin Khaththab banyak bicara tentang
Abu Sofyan bin Harb, aku berkata, ‘Tahan dirimu hai Umar. Demi
Allah, seandainya Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Adi bin
Ka’ab, engkau tidak akan berkata seperti tadi. Engkau berkata
seperti tadi, karena engkau tahu bahwa Abu Sofyan bin Harb berasal
dari Bani Abdu Manaf’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Tahan dirimu,
hai Al-Abbas. Demi Allah, ke-Islamanmu ketika engkau masuk Islam itu
lebih aku sukai daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam.
Aku juga tahu kalau ke-Islamanmu itu lebih disukai Rasulullah
daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam. Rasulullah
bersabda, ‘Hai Al-Abbas, pergilah dengan Abu Sofyan bin Harb ke
tempat istirahatmu dan meng-hadaplah kepadaku esok hari’.”
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku membawa pergi Abu Sofyan
bin Harb ke tempat istirahatku dan ia menginap di tempatku. Esok
paginya, aku membawa Abu Sofyan bin Harb ke tempat Rasulullah.
Ketika beliau melihat Abu Sofyan bin Harb, beliau bersabda,
‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, apakah belum tiba waktu bagimu
untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusan
ba-gimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung hubungan
kekera-batan. Demi Allah, sungguh aku telah meyakini seandainya ada
Tuhan lain selain Allah, maka Tuhan tersebut pasti mencukupiku
dengan se-suatu’. Rasulullah bersabda, ‘Celakalah engkau hai Abu
Sofyan, apakah belum tiba bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah
utusan Allah?’ Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi
tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung
kekerabatan. Adapun hal ini, demi Allah, di hatiku masih terdapat
ganjalan hingga sekarang ini’. Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata
kepada Abu Sofyan bin Harb, ‘Celakalah engkau, hai Abu Sofyan, masuk
Islamlah. Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sebelum engkau
dipenggal lehermu’.
Abu Sofyan bin Harb pun bersaksi dengan syahadat yang benar dan
masuk Islam. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Sofyan bin Harb
ada-lah orang yang senang dengan kebanggaan, oleh karena itu,
berikan sesuatu kepadanya’. Rasulullah bersabda, ‘Ya, barangsiapa
memasuki rumah Abu Sofyan bin Harb, ia aman. Barangsiapa menutup
pintu rumah-nya, ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram,
ia aman’.”
“Ketika Abu Sofyan bin Harb telah pergi, Rasulullah bersabda, ‘Hai
Al-Abbas, tahan Abu Sofyan bin Harb di tempat sempit di depan
gunung, agar pasukan Allah melewatinya dan ia melihat mereka’. Aku
segera keluar dan menahan Abu Sofyan bin Harb di tempat yang
diperintahkan Rasulullah. Tidak lama kemudian, berbagai kabilah
berjalan melewatinya dengan membawa bendera masing-masing. Setiap
satu kabilah lewat, Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Hai Al-Abbas,
siapa ini?’. Aku berkata, ‘Ini kabilah Sulaim’. Abu Sofyan bin Harb
berkata, ‘Apa urusanku dengan kabilah Sulaim’. Kabilah lain lewat,
kemudian Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Hai Al-Abbas, ini siapa?’.
Aku berkata, ‘Ini kabilah Muzainah’. Abu Sofyan bin Harb berkata,
‘Apa urusanku dengan kabilah Muzainah’. Setiap kali kabilah lewat,
Abu Sofyan bertanya kepadaku tentang kabilah tersebut dan ketika aku
telah menjelaskan kabilah tersebut kepadanya, ia berkata, ‘Apa
urusanku dengannya’. Itulah hingga akhirnya Rasulullah lewat dengan
pasukannya yang berwarna hijau***’.”
CATATAN KAKI:
*** Ibnu Hisyam berkata: "Pasukan Rasulullah SAW dikatakan hijau
karena besinya banyak dan warna hijau lebih mendominasi pasukan
ini." |