Yang Perlu Anda
Ketahui Dari Hadits
Mukaddimah
Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan
ilmu hadits, yang kirannya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan
dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk
dipahami.
(1)-
TANYA:
Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits?
JAWAB:
1. Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia
2. Karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera
kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari
mereka (selain Abu Hanifah) dikenal sebagai ahli hadits.
Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak
hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak
berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya,
demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah
seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang
diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam
kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama
Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan.
Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits
dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam
masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga
terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis
sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan
mereka menulis hadits.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin
‘Abdullah al-Humaid, hal.5)
(2)-
TANYA:
Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” ([Fulan] telah
menceritakan kepada kami) dan “Akhbarana” ([Fulan] telah
memberitahukan kepada kami)?
JAWAB:
Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits,
para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung
dari Syaikh (Guru) dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh
menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari
kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para murid sementara
mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka
ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan
kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang
penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini,
maka ia harus menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu
“Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama
peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi (sendirian)
dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani”
yakni secara sendirian.
Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode
Qiraa`ah), seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya
“al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia (si murid)
membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia
menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia
terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan
metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala
asy-Syaikh” (membaca kepada Syaikh). Mereka (para ulama hadits)
mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala
seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan) hadits, maka ia harus
mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani”
. Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut
bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang
membacakannya kepada Syaikh tersebut.
Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh
“Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits
mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh
atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan
tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama
saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak
haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu
mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, ‘Akhbarana” ([Si
fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan,
‘telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya.
TANYA:
Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau
kah Sunan an-Nasa`iy?
JAWAB:
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia
adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih
shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy
di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan
kembali pendapat tadi.
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas
bagi kita bahwa ia (Sunan an-Nasa`iy) yang dinamakan dengan
al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah
karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny
yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy.
Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah
as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi,
menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits
Mawdlu’ (palsu) dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang
disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra
sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia
merupakan karangan Imam an-Nasa`iy.
Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba
(artinya, ringkasan, intisari-red.,) dari sisi hadits-haditsnya
memang lebih bagus (mengesankan) daripada as-Sunan al-Kubra
akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya
dari hadits-hadits tersebut (sehingga dinamai al-Mujtaba-red.,)
atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi,
insya Allah.
Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba
dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya-
butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang
langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul.
Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap
orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan
mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada
yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat
ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang
ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan
an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud.
Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang
yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan
yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara
melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang
bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits
yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang
dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara
keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan
persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi
Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy.
Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi
lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if (masih
fity-fifty). Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya.
Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab
menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut
atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari
sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar
yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap
hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita
dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang
seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus (mengesankan)
atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini.
TANYA:
Apa makna ‘Thariiq’ (Sanad)? Dan apa pula makna matan? Tolong
berikan contohnya
JAWAB:
Makna Thariiq (Sanad) adalah mata rantai (jalur) para
periwayat yang menghubungkan matan.
Sedangkan Matan adalah ucapan (teks) setelah sanad.
Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud (lafaznya
diambil dari Abu Daud);
Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, (ia berkata), Hammad
menceritakan kepada kami, (ia berkata), dari Ayyub, dari Nafi’ dari
Ibn ‘Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu
larang para wanita hamba Allah untuk (memasuki) masjid-masjid
Allah.”
(Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman
hingga Ibn ‘Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah
SAW setelah itu dinamakan ‘matan’.-red)
(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya
Syaikh Mushthafa al-‘Adawy, hal.7)
|