Berhujjah
Dengan Hadits Dla'if
Salah satu fenomena yang marak dilakukan adalah
pengamalan hadits Dla’if secara serampangan tanpa pilah dan pilih
terlebih dahulu, padahal implikasinya amat berbahaya sekali.
Oleh karena itu, perlu kiranya diketahui kapan berhujjah dan
mengamalkan hadits Dla’if itu dibenarkan dan apa pula persyaratannya?.
Untuk itu, disini kita akan membahas sedikit tentang hukum berhujjah
dengannya dan persyaratannya.
Berhujjah dengan hadits Dla’if dan mengamalkannya perlu ada
perinciannya:
- Pengamalannya di dalam masalah-masalah
‘aqidah tidak boleh secara ijma’.
- Pengamalannya di dalam masalah-masalah hukum
(al-Ahkâm) tidak diperbolehkan juga menurut mayoritas Ulama.
- Sedangkan pengamalannya di dalam Fadlâ`il al-A’mâl
(amalan-amalan yang memiliki keutamaan), Tafsir, al-Maghâziy (berita-berita
seputar peperangan-peperangan) dan Sirah, mayoritas para ulama
membolehkannya dengan syarat-syarat sebagai berikut:
- Hadits yang dijadikan hujjah/diamalkan tersebut tidak Dla’if (Lemah)
sekali.
- Permasalahan yang dibicarakan di dalam hadits yang Dla’if
tersebut masih berada di dalam kawasan prinsip dasar umum. Alias
bukan terpisah dan sudah menjadi cabang tersendiri.
- Ketika mengamalkan hadits Dla’if tersebut, tidak meyakini
kevalidannya (bahwa ia adalah hadits yang shahih) bahkan harus
meyakininya sebagai sikap preventif.
Imam an-Nawawy telah menukil ijma’ para ulama
mengenai hukum mengamalkan hadits Dla’if dalam masalah Fadlâ`il al-A’mâl
padahal sebenarnya ada banyak ulama terkenal yang tidak sependapat
dengan hal itu, diantaranya Abu Hâtim, Abu Zur’ah, Ibn al-‘Araby,
asy-Syawkany dan ulama kontemporer, Syaikh al-Albany. Demikian pula
pendapat yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan
Ibn al-Qayyim serta petunjuk yang didapat di dalam dua kitab Shahih;
Shahîh al-Bukhary dan Shahîh Muslim.
Maka berdasarkan hal ini, hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara
mutlak dalam bab apapun di dalam dien ini, dan ketika diucapkan/dibicarakan
semata hal itu untuk sekedar pendekatan (bersifat preventif).
Ibn al-Qayyim mengisyaratkan dimungkinkannya untuk menggunakan
Hadits Dla’if tersebut ketika dalam kondisi akan menguatkan dua
diantara ucapan yang seimbang. Namun pendapat yang tepat adalah
bahwa hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak selama
dugaan terhadap validitasnya masih lemah dan selama ia tidak
mencapai derajat Hasan Li Ghairihi (Menjadi Hasan karena ada
penguat/pendukungnya dari sisi sanad dan matan yang lain).
(Disarikan dari Jawaban Syaikh DR.’Abdul Karim bin ‘Abdullah
al-Khudlair [Dosen pada Fakultas Ushuluddin di Jâmi’ah al-Imam
Muhammad bin Su’űd], Majallah ‘ad-Da’wah’, Vol.1890, Tgl. 29-02-1424
H ).
CATATAN:
Ada ulama yang menambahkan satu syarat lagi, yaitu, ketika berhujjah
dengan hadits Dla’if dan menyampaikannya di dalam suatu majlis, maka
harus disebutkan ke-dla’if-an haditst tersebut. Wallahu a’lam.
|