Berhujjah
Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )
Mukaddimah
Pembahasan seputar Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sudah menjadi
polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak
yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar
hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki
oleh Allah.
Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah
sejauh mana keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui
argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa
Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits
Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka
mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi
pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).
Benarkah statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan
mengenai masalah yang amat prinsipil dan urgen tersebut.
Semoga bermanfa'at bagi kita semua.
A. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )
Definisi
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah
banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya).
Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya
maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada
setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd
yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai
derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu
hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur
(mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat
keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun
VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H)
Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar
al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti
(bersifat keilmuan dan yaqin)?
I. Pendapat Pertama:
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG
PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam
as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun
penisbahan ini TIDAK BENAR SAMA SEKALI.
IMAM AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus
Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau
terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan para periwayat kategori
LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang dituduhkan
kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan
berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi
informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan)
sang perawi hadits.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI
Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL,
sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal
yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita tahu
bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka
lalai.
II. Pendapat Kedua
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI
YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama
Ushul Fiqih (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini
seperti al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan
di dalam sebagian kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan
PENDAPAT KETIGA nanti.
Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih
dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih
dahulu.
SYUBHAT MEREKA
Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar al-Wâhid
atau Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya,
tidak mendapatkan pada diri kami selain persentase dominan bagi
kebenarannya atas kebohongannya namun tanpa dapat memastikan.
JAWABAN TERHADAP PENDAPAT TERSEBUT
Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa
terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami
mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya,
bukan seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang
lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan
informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri anda,
maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia
hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda
sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang
dapat menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat
oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang memang melakoninya dan
menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan mencarinya.
Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid
atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits,
antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali
kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai
tumpuan tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan,
maka ketika itu anda akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau
Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi ilmu kepada anda atau
tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya dan di dalam
mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu
kepada anda.
Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan
informasi ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya,
anda telah menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan
jatah anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga
tidak perlu melibatkan orang lain).
III. Pendapat Ketiga
Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI
(BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA BERSYARAT
Inilah pendapat YANG SHAHIH.
Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan
Qarâ`in (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal
dari Qarâ`in) bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi
terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan
kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang
demikian banyak, tak terhingga; baca: belecekan) yang pada awalnya
hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan masyhur dan
Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar
al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama
terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh
asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari
keduanya, diantaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal
(bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik
dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas
memberikan informasi ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul,
mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat.
Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan
pendapat.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA
Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat
ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
- Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid
(Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan
ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak
didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak
pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah
dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu
mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir
(dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah
sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para
shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling
membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka
membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan
sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang
berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada mereka,
"Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan
informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)
sehingga
kemudian ia bisa menjadi Mutawatir.
Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf)
terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang
lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak
Khabar Ahâd.
Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat
ekstra hati-hati di dalam menerima informasi.
Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar
al-Wâhid) memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan
yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa
Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu
secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia
sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan
terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah
mereka.
- Rasulullah pernah mengirimkan para
shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan
risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar
yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat
keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan
mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu
perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang
pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan
kesia-siaan seperti itu.
- Ketika ada seorang yang memberitakan kepada
kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat
lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah,
mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan
meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti,
lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai
pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan
kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang.
Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap
hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka
tersebut.
B. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar
Al-Wahid) Di Dalam Masalah 'Aqidah
Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar
Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat
keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan
kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah
'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya
memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts
Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan
Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya
dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak
demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil,
kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli
Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah)
seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI
Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan
sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan
Qarâ`in (dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang
bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan
pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah : Khabar Ahâd
(Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah
'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy (tidak
pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM
MASALAH INI
1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam
berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan
BID'AH (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama
terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka
menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para
shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan as-Sunnah
masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam
menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain
sebagainya.
2. Adanya khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi
Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan
para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri, demikian
juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka
mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang
disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa
Sallam kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri
Yaman:
---------------------------- Huruf
Arab ----------------------------
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum
dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau
dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah
'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang lain,
"
Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang
haq disembah- selain Allah."
3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam
berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya
berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada
kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan
hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).
Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang
diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat
kontras dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy
(praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah,
yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar
menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul,
amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada
konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa
pahala atau dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana
firman Allah Ta'ala:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah
"
Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala
berfirman :
"
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat
" (Q.s., an-Nûr
:2)
Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy
dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
(Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd ,
karya Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)
C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Imam asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai
Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan
penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar
simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi
saksi untuk itu.
Dimasa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang
mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi
tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan.
Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan
al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak
menerima selain itu alias menolak HadIts Ahâd.
Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok
pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan
as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama
hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok ketiga,
tidak kurang dari itu.
Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka
tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti
shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak
dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari
al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian
pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan
kelompok pertama.
Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka
dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut
adalah sebagai berikut:
- Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah
mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka
mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen
sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah
tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga
memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat
mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
- Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana
yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh
dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar
(hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka
mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri'
(Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu.
- Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan
orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka
dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang
(seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas
menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang
yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun
dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih
berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi
dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya).
(H.R.Abu Daud)
- Para shahabat menyampaikan hadits-hadits
Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus
diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam
menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd. (Penggalan dari materi
Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya
terhadap as-Sunnah)
D. Fatwa Ulama Kontemporer
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang
menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam
masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits
Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan
alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti)
sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang
bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab
dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini dapat
dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
- Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan
informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada
banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat
memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil
penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima
secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh
'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu :
"Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat"
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya.
Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu
Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
- Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam
mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan
permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni
dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh)
sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah
yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan
Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman
dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk
Yaman dan harus diterima.
- Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah
tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa
dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang
terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan
kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai
oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau
melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan
bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada
khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara'
yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini
harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa
masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd
harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.
- Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang
jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama)
terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting,
yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl:
43)
dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu
atau kelompok.
Kesimpulannya:
Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid,
maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan
dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah
dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum
ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan
pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat,
misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia
harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang
shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang
dijadikannya sebagai dalil. (Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân
(editor), Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin
Shâlih al-'Utsaimîn, (Riyadl: Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet.
II, hal. 31-32) |