Silsilah Hadits Masyhur [Bag.1]
Masalah
Talqin Mayit Setelah DiKuburkan
Mukaddimah
Permasalahan Talqin Mayit merupakan salah satu hal yang krusial dan
perlu difahami secara benar, mengingat ibadah adalah hal yang
bersifat Tawqîfiyyah (sebatas nash dan sumbernya) sehingga di dalam
melaksanakannya perlu ada nash yang pasti; shahih, sharih (jelas)
dan kuat.
Dalam hal ini perlu ada pemilahan; antara Talqin Mayit yang
disyari'atkan dan yang tidak disyari'atkan. Yang disyari'atkan
adalah Talqin Mayit sebelum meninggal alias saat menghadapi sakratul
maut karena memang didukung oleh dalil-dalil yang shahih. Yaitu,
menalqinkan orang yang sedang sekarat tersebut dengan kalimat Tauhid
"Lâ ilâha Illallâh".
Sedangkan yang tidak disyari'atkan adalah ketika sudah meniggal
dunia, apalagi sudah dikuburkan. Adalah musibah besar bilamana hal
yang serius seperti ini dilakukan berdasarkan hadits yang tidak
ketahuan juntrungannya; apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
Nah, dalam silsilah kali ini kami mengangkat hadits tentang talqin
mayit setelah dikuburkan tersebut, Bagaimanakah kualitasnya?,
silahkan simak!
Hadits Ketiga
"Menalqin Mayit adalah setelah dikuburkan"
Sumber Hadits
Redaksi seperti ini diriwayatkan di dalam Mu'jam ath-Thabaraniy
dengan SANAD DLA'IF (LEMAH)
Catatan Terhadap Kualitas Hadits
Komentar tentang kualitas hadits tersebut diatas disebutkan oleh
Imam as-Suyuthiy di dalam bukunya ad-Durar al-Muntatsirah Fil
Ahâdîts al-Musytahirah.
Penahqiq (analis) buku tersebut, Syaikh Muhammad Luthfiy as-Shabbâgh
menyatakan bahwa hadits tersebut berstatus : MAWDLU'
Hal ini berdasarkan:
- Kitab al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah
karya Imam asy-Syawkaniy, Hal.268
- Kitab Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts
ar-Râfi'iy al-Kabîr karya Ibn Hajar, Jld.II, Hal.136, sekalipun
beliau sudah berupaya untuk menguatkannya.
- Kitab Zâd al-Ma'âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.I,
Hal.145. Beliau mengomentari hadits diatas, "Tidak shahih (bila
dikatakan) Marfû' (terangkat periwayatannya hingga sampai kepada
Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam)."
- Kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm
karya ash-Sha'âniy, Jld.II, Hal.113. Beliau berkata, "Pengarang
kitab al-Manâr berkata, 'Sesungguhnya ulama yang menggeluti
hadits tidak meragukan lagi hadits talqin tersebut adalah MAWDLU'.'
"
- Kitab Fatâwa an-Nawawiy karya Imam an-Nawawiy,
Hal.37
- Kitab Majma' az-Zawâ`id karya Ibn Hajar al-Haytamiy,
Jld.III, Hal.45.
Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh selanjutnya
berkata, "Sedangkan menalqinkan mayit sebelum meninggal (saat
menghadapi sakarat) dengan kalimat Tauhid, maka hal ini memang valid
dan banyak sekali hadits-hadits Shahîh yang menegaskan hal itu. Bisa
dilihat pada komentar kami terhadap hadits no.322 pada kitab
Mukhtashar al-Maqâshid (al-Hasanah, karya as-Sakhawiy-red.,) dengan
tahqiq kami."
(Diambil dari: Kitab ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah
karya Imam as-Suyuthiy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh,
Hal.196, Hadits no.469.
Yang Sering
Diucapkan Dan Didengar
Hadits Kedua
"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling
dibenci di sisi Allah"
Sumber Hadits
Redaksi seperti ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud dan Ibn Mâjah dari
hadits 'Abdullah bin 'Umar.
Dalam redaksi Imam al-Hâkim,
"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah
tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."
Di dalam redaksi kitab Sunan ad-Daylamiy dari Mu'adz bin Jabal
disebutkan,
"Sesungguhnya Allah membenci thalaq dan menyukai 'itâq
(memerdekakan budak)."
Dalam redaksi yang lainnya -di dalam kitab yang sama- dari jalur
Muqâtil bin Sulaiman dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari
kakeknya secara Marfu',
"Tidak ada sesuatu yang halal yang dihalalkan oleh Allah lebih
dicintai-Nya dari nikah; dan tidak ada sesuatu yang halal tetapi
paling dibenci-Nya selain thalaq."
Di dalam kitab Târîkh Ibn 'Asâkir dari jalur Ja'far bin Muhammad;
Syuja' bin Asyrasy menceritakan kepada kami, dia berkata: ar-Rabî'
bin Badr menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Abi Qilâbah,
dari Ibn 'Abbas secara Marfu' ditulis dalam redaksi berikut,
"Tidak ada dari sesuatupun yang dihalalkan oleh
Allah bagi kalian yang paling dibenci di sisi-Nya selain thalaq."
Kualitas Hadits
Kualitas hadits dalam pembahasan kita di atas (no.2) adalah DLA'IF'
(Lemah) dari sisi Sanad nya.
Tentang kelemahan hadits ini dapat dirujuk pada buku-buku berikut:
- Sunan Abî Dâwud, jld.II, hal.342,
no.2177,2178
- Sunan Ibn Mâjah, jld.I, hal.650, no.2018
- al-Mustadrak, karya Abu 'Abdillah al-Hâkim,
jld.II, hal.196 . Lafazh redaksi al-Hâkim terdapat di dalam
Sunan Abi Dâwud
- as-Sunan al-Kubra, karya al-Baihaqiy, Jld.VII,
hal 322
- Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy,
jld.IV, hal.143
- al-Kâmil, karya Ibn 'Adiy, Jld.IV, hal.1630
- al-Jâmi' al-Kabîr, karya Imam as-Suyuthiy,
Jld.I, hal.690 .
Mengenai perawi bernama Muqâtil, menurut para
ulama, dia lemah dalam periwayatan hadits. Untuk mengetahui tentang
apa saja cacat (Jarh) yang dituduhkan kepadanya, silahkan lihat:
- Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy,
jld.IV, hal.173 dan halaman setelahnya
- al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min
al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Alâ al-Alsinah, karya Imam as-Sakhâwy,
hal. 12
- Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts Fî m6a
yadûru 'alâ Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya 'Abdurrahman bin
'Aly bin ad-Dîba', hal. 5
- Kasyf al-Khafâ' wa Muzîl al-Ilbâs 'Ammâ
Isytahara Min al-Ahâdîts 'Alâ Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûny,
Jld I, hal. 29
- Dla'îf al-Jâmi' ash-Shaghîr, karya Syaikh
al-Albany, no. 44
Tema Hadits
Hadits tersebut sering dijadikan dalil di dalam menyatakan bahwa
syari'at Islam amat membenci suatu perceraian (thalaq).
Adalah merupakan hal yang disepakati bahwa syari'at amat mencela
terjadinya thalaq sebab memiliki implikasi yang negatif.
Pertanyaannya, apa landasannya?.
Sebagian ulama berhujjah dengan hadits ini dengan menyatakan bahwa
ia hadits yang Shahîh dan Muttashil (bersambung mata rantai
periwayatnya hingga kepada Rasulullah).
Sebagian ulama lagi, mengatakan bahwa ia hadits yang Dla'îf (Mursal).
(Diambil dari buku 'ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah',
karya Imam as-Suyuthy, (tahqiq/takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad
Luthfy ash-Shabbagh), hal. 57, hadits no. 1 dengan beberapa
penambahan)
Catatan :
Menurut Muhaqqiq (peneliti) buku yang kami bahas diatas, Syaikh
Muhammad Luthfiy ash-Shabbagh, kualitas hadits tersebut adalah
DLA'IF (MURSAL). Hal ini berdasarkan rujukan-rujukan yang kami
sebutkan diatas. Pendapat ini nampaknya juga diambil oleh Syaikh al-Albaniy
dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah.
Sementara di dalam fatwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah
Wal-Iftâ` (lembaga resmi fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI),
disebutkan bahwa hadits tersebut SHAHIH MUTTASHIL bukan hadits
MURSAL secara Sanad dan Matan (Lihat, Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah
Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` , jld.IV, Hal.438-439, no.
fatwa.11005)
yang sering
diucapkan atau didengar
Mukaddimah
Yang dimaksud dengan HADITS MASYHUR disini bukan sebagaimana
definisinya di dalam Ilmu Mushthalah Hadits, yaitu hadits yang
merupakan bagian dari hadits Ahad dan mata rantai periwayatnya dari
jenjang pertama hingga terakhir (pengarang buku) berjumlah 3 sampai
9 orang pada setiap levelnya. Akan tetapi yang dimaksud disini
adalah Hadits-hadits yang masyhur (tersohor) karena sering diucapkan
oleh lisan atau sering didengar, terutama oleh para penceramah.
Alias sudah menjadi buah bibir dan disampaikan dari mulut ke mulut.
Dalam hal ini, para ulama banyak yang menulis buku jenis ini karena
sangat penting sekali diketahui oleh umat. Hadit-hadits yang ada di
dalamnya bervariasi baik dari aspek kualitas maupun tema dimana ia
sering dibicarakan orang dan didengar. Masalahnya, ketika seseorang
mengucapkannya atau menukilnya, dia seakan mengatasnamakan
Rasulullah alias bahwa ia adalah sabda beliau.
Tentu saja, hal ini amat berbahaya bagi umat karenanya para ulama
hadits mengantisipasinya dengan mengarang buku jenis ini hingga
dapat memudahkan umat di dalam mencari hadits-hadits yang kira-kira
sering diucapkan dan didengar tersebut, terkadang menyatakan
kualitasnya.
HADITS PERTAMA
“Dinginkanlah makanan, sebab (makanan) yang panas
itu tidak ada berkahnya”
SUMBER HADITS:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daylamy dari Ibnu ‘Umar
KUALITAS HADITS:
Ini adalah ‘HADITS DLA’ÎF’ (Lemah)
Tentang kelemahan hadits ini juga disebutkan di dalam buku-buku
berikut:
- al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min
al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Alâ al-Alsinah, karya Imam as-Sakhâwy,
hal. 11
- Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts Fî m6a
yadûru ‘alâ Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya ‘Abdurrahman bin
‘Aly bin ad-Dîba’, hal. 5
- Kasyf al-Khafâ’ wa Muzîl al-Ilbâs ‘Ammâ
Isytahara Min al-Ahâdîts ‘Alâ Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûny,
Jld I, hal. 28
- Dla’îf al-Jâmi’ wa Ziyâdatuhu, karya Syaikh
al-Albany, no. 37
TEMA HADITS:
Ada sementara orang yang memberikan nasehat agar jangan melumat
makanan yang masih panas tetapi perlu ditunggu dulu hingga adem/dingin
sehingga tidak membahayakan.
Bila sebatas alasan tersebut, maka tidak ada masalah selama tidak
menggunakan hadits diatas sebagai dalilnya trus meyakininya.
Realitasnya, ada sementara orang pula yang berdalih dengan hadits
diatas bahwa makanan yang panas itu tidak memiliki BERKAH padahal
kualitas hadits tersebut ‘DLA’IF alias LEMAH…
Para ulama sepakat bahwa HADITS DLA’IF tidak dapat dijadikan hujjah
kecuali di dalam masalah ‘Fadlâ’-il al-A’mâl’ dimana mereka masih
berselisih pendapat tentang ‘kebolehan’ menggunakan hadits DLA’IF
terhadap masalah tersebut.
Pendapat yang rajih/kuat dan berkenan di hati adalah berlaku secara
umum, artinya semua hadits DLA’IF tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah selama tidak ada pendukung lain yang menguatkan dan
mengangkat statusnya.
(Diambil dari buku ‘ad-Durar al-Muntatsirah
Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah’, karya Imam as-Suyuthy, (tahqiq/takhrij
hadits oleh Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbagh), hal. 74, hadits
no. 51 dengan beberapa penambahan) |