Silsilah
Hadits-Hadits Masyhur [Bag.3]
Tidurlah Siang Hari,
Sebab Sesungguhnya Para Syetan Tidak Tidur Siang
Mukaddimah
Sering kali kita melihat ada orang yang menganjurkan agar tidur
siang sekalipun itu adalah baik, namun bilamana kemudian dibarengi
dengan hal yang menakut-nakuti bahwa orang yang tidak tidur siang
sama dengan ‘gawe’ syetan yang juga tidak tidur siang, maka
disinilah permasalahannya.
Dan karena itu, perlu ditinjau ulang benarkah ada dalilnya? Apakah
ia shahih?
NASKAH HADITS
“Tidurlah siang hari, sebab sesungguhnya
para syetan tidak tidur siang.”
Penjelasan:
Hadits dengan redaksi seperti ini sebagaimana yang dinyatakan oleh
pengarang buku panduan kita, ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts
al-Musytahirah adalah diriwayatkan oleh al-Bazzâr dari hadits
Anas RA.
CATATAN:
Menurut Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh, penahqiq buku tersebut:
“Kualitasnya DLA’IF (LEMAH). Untuk itu, silahkan merujuk ke:
1. al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah
‘Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.56
2. Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr ‘Ala Alsinah an-Nâs
Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba’, h.115
3. Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs ‘Amma isytahara Min al-Ahâdîts
‘Ala Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûniy, Jld.I, h.120
4. Shahîh al-Jâmi’, no.4431, pengarangnya, Syaikh al-Albâny
berkata (mengenai hadits di atas-red.,), “Hasan.” Dan lihat
juga, “Majma’ az-Zawâ`id,” Jld.VIII, h.112. Dan menurut saya
(Syaikh Muhammad Luthfy), di dalam sanadnya tersebut terdapat
seorang periwayat bernama Katsîr bin Marwân yang merupakan
seorang Matrûk (yang ditinggalkan/tidak digubris haditsnya)
serta Muttaham (tertuduh). Ibn Hajar menyebutkan di dalam
Fath al-Bâry, jld.XI, h.70 bahwa hadits ini dikeluarkan oleh
ath-Thabarany di dalam kitab al-Awsath dari hadits Anas RA., yang
menilainya Marfû’ (sampai kepada Rasulullah) namun dalam
sanadnya terdapat Katsîr bin Marwân yang merupakan periwayat
Matrûk. Silahkan lihat mengenai Katsîr ini pada kitab “Mîzân al-I’tidâl”
(karya adz-Dzahaby), Jld.III, h.409; “adl-Dlu’afâ’ Wa al-Matrûkîn”
karya ad-Dâruquthny dengan tahqiq kami, no.448 dan lihat tahqiq kami
terhadapnya.
(Sumber: ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah
karya Imam as-Suyûthiy, tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh,
h.151, no.318)
Aku Adalah Kota Ilmu
Sedangkan ‘Ali Adalah Pintunya)
Mukaddimah
Ada sementara kelompok agama yang sikapnya berlebihan terhadap Ahli
Bait, terutama ‘Ali, berdalil dengan hadits ini (yang akan kita
bahas) atas kebenaran pendapat mereka bahwa ‘Ali adalah pintu ilmu,
karena itu siapa saja yang ingin memasuki rumah, maka harus lewat
pintunya dan –kata mereka- satu-satunya pintu itu adalah ‘Ali,
sehingga bila bukan melaluinya, maka tidak sah.
Kalau pun kualitas hadits ini dianggap shahih (padahal tidak
demikian seperti yang akan dipaparkan nanti), maka tidaklah berarti
ia satu-satunya pintu itu, tetapi menurut para ulama, hanya
merupakan salah satu dari pintu-pintu ilmu.
Memang tidak diragukan lagi, bahwa ‘Ali merupakan ulama kalangan
para shahabat dan memiliki banyak keutamaan tetapi bukan karena itu,
lantas dilebih-lebihkan (bagi kalangan Ghulaat/ekstrem mereka
sampai di-Tuhankan, na’uudzu billaahi min dzaalik). Apalagi bila
didasari atas riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Teks seperti ini juga merupakan bagian (baca: lirik) dari salah satu
lantunan seorang penyanyi dalam salah satu serialnya yang
dikatakannya ‘islami’ di mana ia nampaknya penganut pendapat di atas.
Teks Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Turmudzy dari hadits ‘Ali seraya
berakata, “Hadits Munkar.” Hadits ini juga dingkari oleh al-Bukhary.
Di samping itu, juga diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab
al-Mustadrak dari hadits Ibn ‘Abbas. Ia mengomentari, “Hadits
Shahih.” Namun Imam adz-Dzahaby berkata, “Bahkan ia hadits
Mawdlu’ (Palsu).” Abu Zur’ah berkata, “Alangkah banyaknya orang
yang menyingkap boroknya.”
Ad-Daruquthny berkata, “Tidak valid.”
Ibn Daqiq al-Ied berkata, “Mereka (ulama hadits) tidak menilainya
valid.” Bahkan Ibn al-Jawzy memuatnya di dalam kitabnya al-Mawdluu’aat
(kitab yang khusus berisi hadits-hadits Mawdlu’).
Al-Hafizh Abu Sa’id al-‘Alaa`iy berkata, “Yang benar, bahwa ia
hadits Hasan bila dilihat dari jalur-jalurnya, tidak shahih dan juga
tidak Dla’if apalagi dikatakan Mawdlu’ (palsu).”
Menurutku (Imam as-Suyuthiy, pengarang buku rujukan dalam kajian
kita ini): “Memang demikian yang dikatakan Syaikhul Islam Ibn Hajar
(al-Haitsamy-red.,) dalam fatwanya. Ucapan al-‘Alaa`iy dan Ibn Hajar
tersebut telah saya paparkan panjang lebar di dalam kitab saya
at-Ta’aqqubaat yang menyanggah statement yang terdapat di dalam
kitab al-Mawdluaa’aat tersebut.
Pendapat Syaikh Muhammad Luthfi
ash-Shabbaagh, Penahqiq (peneliti) buku:
Ini hadits MAWDLU’ (PALSU), untuk itu silahkan lihat:
- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.97
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn
ad-Dubai’, h.33
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.I, h.203
- Al-Mawdluu’aat karya Ibn al-Jawzy, Jld.I, h.439
- Al-La`aaly, Jld.I, h.329
- Tanziih asy-Syari’ah, Jld.I, h.377
- Ahaadiits al-Qushshaash, h.15
- Al-Fawaa`id karya al-Karmy, h.57
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.348-354
- Al-Asraar, h.71
- Tadzkirah al-Mawdluaa’aat, h.95
- Al-Fataawa al-Hadiitsiyyah, h.126
- Miizaan al-I’tidaal, Jld.II, h.251
- Asna al-Mathaalib, h.72
- Tuhfah al-Ahwadzy, Jld.IV, h.329
- Al-Mustadrak, Jld.III, h.126 (telah dinilai shahih oleh al-Haakim
namun kemudian ditelusuri jalurnya oleh Imam adz-Dzahaby yang
berkomentar, “Bahkan hadits Mawdlu’. Ia (al-Haakim)
mengatakan, “Abu ash-Shalt [salah seorang periwayat hadits] adalah
seorang yang Tsiqah, Ma`mun. Menurutku (ad-Dzahaby), “Demi Allah, ia
bukan Tsiqah dan bukan pula Ma`mun.”)
- Dla’if al-Jami’ ash-Shaghiir karya Syaikh al-Albany,
no.1322
- Al-Kaamil karya Ibn ‘Ady, Jld.I, h.193
- Adl-Dlu’afaa` karya al-‘Uqaily, Jld.III, h.150
- Majma’ az-Zawaa`id, Jld.IX, h.114
(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsiarah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah
karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh,
h.70, hadits no.38)
TAMBAHAN DARI REDAKSI:
Dalam teks yang kami temukan di sunan at-Turmudzy tertulis:
“Aku (Rasulullah) adalah Daar (rumah) ilmu
dan ‘Ali adalah pintunya.”
Jadi, bukan seperti teks hadits dalam buku rujukan kita di atas,
barangkali ada teks lain di selain sembilan kitab hadits induk (al-Kutub
at-Tis’ah).
Mengenai teks ini, at-Turmudzy mengatakan, “Hadits Gharib Munkar.”
Ath-Thiby mengatakan, “Sepertinya orang-orang Syi’ah berpegang pada
permisalan ini bahwa mengambil ilmu dan hikmah dari beliau SAW
adalah khusus buat ‘Ali, tidak seorang pun boleh melakukannya
kecuali melalui perantaraannya sebab rumah hanya bisa dimasuki dari
pintunya di mana Allah berfirman, ‘Dan masukilah rumah-rumah
tersebut dari pintu-pintunya.’ Padahal sebenarnya itu sama
sekali tidak dapat menjadi hujjah bagi mereka sebab Daar al-Jannah (Rumah
surga) sendiri tidak seluas Daar (rumah) hikmah, sekali pun begitu,
ia memiliki 8 pintu.” (Artinya, dari arah mana saja dari ke-delapan
pintu itu bisa masuk, tidak mesti satu pintu sebagaimana klaim
Syi’ah tersebut-red.,)
Al-Qaary mengatakan, “Ali adalah salah satu dari pintu-pintunya (pintu
hikmah). Akan tetapi adanya pengkhususan itu mengandung semacam
pengagungan (penghormatan) di mana ia memang demikian bila dibanding
dengan sebagian shahabat dari sisi keagungan dan ilmu. Di antara hal
yang menunjukkan bahwa posisi para shahabat semuanya sebagai
pintu-pintu adalah hadits Nabi SAW, ‘Para shahabatku adalah
seperti bintang-gemintang; siapa pun yang kalian ikuti, pasti kalian
mendapat petunjuk.’ Yaitu sebagai isyarat perbedaan tingkatan
cahayanya di dalam mendapatkan petunjuk itu. Indikatornya, para
Tabi’in mengambil semua ilmu syari’at seperti bacaan, tafsir, hadits,
fiqih dari para shahabat lain selain ‘Ali juga. Dengan begitu, dapat
diketahui bahwa pintu itu tidak khusus miliknya semata, kecuali
dalam satu pintu, yaitu masalah qadla’ sebab memang ada hadits
mengenai dirinya seperti itu, yang berbunyi, ‘Ia (‘Ali) adalah
orang yang paling mengerti qadla di antara kamu.’ Sama seperti
yang dikatakan kepada Ubay bahwa ia adalah ‘orang yang paling
bagus bacaannya di antara kamu’ , Zaid bin Tsabit sebagai yang
‘paling mengerti masalah fara’idh di antara kamu’ dan Mu’adz
bin Jabal sebagai yang ‘paling mengerti masalah halal dan haram
di antara kamu.’ ”
Tapi sayang, berdalil dengan hadits “Para shahabatku adalah
seperti bintang-gemintang…” juga tidak tepat, sebab menurut
pensyarah sunan at-Turmudzy, al-Mubarakfury yang menukil dari Ibn
Hajar bahwa hadits tentang ‘para shahabatku adalah seperti
bintang-gemintang…’ itu tidak shahih, sangat lemah bahkan Ibn
Hazm menilainya sebagai hadits Mawdlu’. Al-Baihaqy
mengetengahkan hadits Dla’if lainnya yang senada dengan itu lalu
mengatakan bahwa bisa saja dijadikan perumpamaan dalam hal mereka
itu (para shahabat) adalah seperti bintang tetapi tidak dalam
memberi petunjuk. Dan hal ini sesuai dengan makna hadits shahih yang
diriwayatkan Muslim, isinya, ‘Bintang-gemintang adalah amanah
langit, bila bintang-gemintang itu hilang maka akan datanglah apa
yang dijanjikan kepada ahli langit.’ Pendapat al-Baihaqy ini
didukung oleh Ibn Hajar sekali pun beliau menegaskan bahwa makna
zhahir hadits yang ada di shahih Muslim itu (hanya) berbicara
tentang fitnah yang akan terjadi setelah berakhirnya masa shahabat,
yaitu dengan munculnya berbagai bid’ah dan perbuatan-perbuatan keji
di seluruh muka bumi.” (alias tidak terkait dengan makna kedua
hadits lemah di atas-red.,)
(Lihat, Tuhfah al-Ahwadzy Syarh Sunan at-Turmudzy karya al-Mubaarakfuury,
terkait dengan syarah hadits di atas)
Kesimpulan:
- Bahwa kualitas hadits tersebut adalah MAWDLU’ sebagaimana
yang dianalisis oleh Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbaagh.
- Bahwa ‘Ali memang memiliki kedudukan lebih dari sebagian para
shahabat dari sisi keagungan dan ilmu, tetapi tidak bisa dikatakan
bahwa karena itu, ia lah satu-satunya pintu ilmu, apalagi dengan
klaim karena hal itu telah dikhususkan Nabi SAW kepadanya. Terlebih
lagi, bila dalilnya hadits di atas, Wallahu a’lam.
Aku Adalah Nabi
Paling Pertama Diciptakan Dan…
Mukaddimah
Sering mereka yang dinobatkan sebagai Du’aat (Para Da’i),
dalam memperingati momen tertentu seperti kelahiran Nabi SAW (padahal
acara seperti ini tentu tidak ada landasannya dalam agama-red)
menyampaikan hadits seperti yang akan kita kaji kali ini atau dengan
redaksi yang lain. Intinya, ingin menyanjung terlalu tinggi
Rasulullah SAW hingga mencapai taraf ‘berlebih-lebihan’ (Ghuluw).
Sayangnya lagi, kebanyakan mereka tidak pernah mau mempertanyakan
kembali ‘keshahihan’ hadits tersebut; apakah kualitasnya dapat
dipertanggungjawabkan ataukah tidak.?
Termasuk dari pengembangan pembahasan hadits tersebut, pembiciraan
seputar apa yang mereka sebut sebagai ‘nur Muhammad’ (yang juga
dilandasi dengan hadits yang Mawdhu’ [palsu] dan cerita-cerita
bohong).
Untuk itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam berdalil dengan
hadits yang tidak jelas juntrungan dan kualitasnya. Sebab di samping,
kualitas hadits tersebut itu sendiri lemah atau pun mawdhu’,
menyampaikannya kepada umat –tanpa memberitahukan kualitas
sesungguhnya hadits tersebut- dapat menyeret mereka kepada kesesatan,
bid’ah bahkan kesyirikan.
Semoga kita terhindar dari kebodohan dan selalu berdalil dengan
dalil yang benar-benar shahih dari Rasulullah SAW.
Teks Hadits
“Aku (Rasulullah) adalah Nabi Paling Pertama
Diciptakan Dan Paling Akhir Dibangkitkan (diutus).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitab tafsirnya
dan Abu Nu’aim di dalam kitab Dalaail an-Nubuwwah dari hadits
Abu Hurairah.
KUALITAS HADITS
Ini hadits DHA’IF (LEMAH), untuk itu silahkan lihat:
- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.327
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn
ad-Dubai’, h.122
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.II, h.129
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.326
- Al-Asraar, h.352
- Miizaan al-I’tidaal, Jld.I, h.331 dan Jld.II, h.128. Di
dalam sanadnya terdapat periwayat bernama Baqiyyah dan Sa’id bin
Basyir. Kedua-duanya adalah periwayat yang lemah haditsnya. Lihat,
Dalaa’il an-Nubuwwah karya Abu Nua’im
(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah
karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh,
h.156, hadits no.337)
Syahwat Wanita Berlipat Ganda Atas
Syahwat Laki-Laki?
MUKADDIMAH
Kita sering mendengar ucapan banyak orang bahwa syahwat (seksualitas)
kaum wanita melebihi berlipat-lipat dari syahwat kaum laki-laki.
Sepintas, ucapan itu terkesan benar, namun benarkah demikian? Adakah
dasarnya?
Silahkan baca selanjutnya!!
TEKS HADITS
Sesungguhnya syahwat (seksualitas) kaum wanita
berlipat ganda melebihi syahwat kaum laki-laki
Imam as-Suyuthi (pengarang kitab rujukan kajian ini) mengatakan, Di
dalam kitab al-Awsath dari hadits Ibn ‘Umar terdapat lafazh:
Wanita dilebihkan atas laki-laki sebanyak
sembilan puluh sembilan kenikmatan (seksualitas) akan tetapi Allah
Ta’ala melemparkan sifat malu pada mereka
KUALITAS HADITS
Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh (penahqiq kitab rujukan kajian
ini) mengatakan:
Kualitas hadits di atas adalah MAWDHU’ (PALSU), untuk
itu silahkan lihat:
- Dha’iif al-Jaami’, no.3981 karya al-Albani. Beliau (Syaikh
al-Albani) berkata, “Lemah sekali.”
- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.255. Di dalam
sanadnya terdapat Daud, Mawla Abi Mukammil yang merupakan Munkar
al-Hadiits (periwayat hadits munkar)
- Faydh al-Qadiir karya al-Manawi. Beliau (al-Manawi) berkata,
“al-Bukhari berkata, ‘Munkar al-Hadiits.’ “
Syaikh Lutfhi mengomentari, “Menurutku, juga terdapat periwayat
bernama Ibn Lahii’ah dan Usamah bin Zaid al-Laitsy yang dimasukkan
oleh Imam adz-Dzahabi dalam bukunya adh-Dhu’afaa’ (para
periwayat yang lemah), yang berkata, ‘Ia (Usamah) seorang periwayat
yang Layyin (ungkapan lain untuk kualitas periwayat yang
lemah).”
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn
ad-Dubai’, h.92
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.II, h.15
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.136
(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsiarah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah
karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh,
h.156, hadits no.337)
|