Silsilah Hadits-Hadits Dla’if Pilihan (2)
[Besar-besarkan Qurban...]
Karya Syaikh al-Albany
Mukaddimah
Pada menjelang hari-hari ‘Idul Qurban ini banyak kita dengar para
khatib membacakan hadits-hadits yang intinya memberikan sugesti agar
kita berkurban, tetapi kadangkala di antara hadits-hadits tersebut
banyak yang perlu ditinjau ulang lagi, apakah kualitasnya terjamin
alias dapat dijadikan hujjah atau kah tidak.?
Salah satunya adalah hadits yang kita kaji kali ini, silahkan simak
selanjutnya.!!
Teks Hadits “Besar-besarkan qurban-qurban kamu sebab ia
akan menjadi kendaraanmu di atas shirath (kelak).”
Kualitas hadits: Tidak ada asalnya dengan lafazh
semacam ini.
Ibn ash-Shalaah berkata, “Hadits ini tidak dikenal dan tidak tsabit
(valid).”
Dinukil oleh syaikh Isma’il al-‘Ajluny di dalam kitab Kasyf al-Khafaa`,
sebelumnya dinukil oleh Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulashah
(Jld.II, h.164), dia menambahkan, “Menurutku, pengarang Musnad
al-Firdaus menisbatkannya dengan lafazh “Istafrihuu”
sebagai ganti lafazh “’Azhzhimuu” (di atas). Kedua-duanya
bermakna, “Berkurbanlah dengan qurban yang mahal, kuat dan gemuk.”
Syaikh al-Albany mengomentari: “Dan sanadnya Dla’if Jiddan (lemah
sekali).
(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa
Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.I, h.173-174, no.74)
Di dalam buku yang sama, jld.III, h.411, no.1255, Syaikh al-Albany
mengetengahkan hadits lainnya yang semakna dengan hadits di atas,
hanya berbeda lafazh saja, yaitu dengan teks:
Syaik al-Albany mengomentari:
“Kualitasnya Dla’if Jiddan (Lemah Sekali). Hadits ini
diriwayatkan oleh adl-Dliyaa` di dalam kitab al-Muntaqa Min
Masmuu’aatihi Bi Marw (Jld.II, h.33), dari Yahya bin
‘Ubaidullah, dari ayahnya, dia berkata, ‘Aku mendengar Abu Hurairah
berkata, … Lalu ia menyebutkannya secara marfu’.”
Menurutku (Syaikh al-Albany):
“Sanad ini Dla’if Jiddan . Alasannya, ada cacat pada
periwayat bernama Ibn ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Mawhib al-Madany.
Ahmad berkata, ‘Ia bukan periwayat yang Tsiqah.’ Ibn Abi
Hatim dari ayahnya berkata, “Ia seorang periwayat hadits yang lemah,
bahkan hadits yang diriwayatkannya Munkar Jiddan.” (Hadits
Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang lemah
bertentangan dengan riwayat-riwayat para periwayat yang Tsiqat-red.,).
Imam Muslim dan an-Nasa`iy berkata, “Haditsnya ditinggalkan (tidak
digubris).”
Sedangkan ayahnya, ‘Ubaidullah adalah seorang periwayat yang Majhul
(anonim).
Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad berkata (lafazh ini berasal dari Ahmad),
“Ia periwayat yang tidak dikenal.”
Sedangkan Ibn Hibban memasukkannya dalam kitabnya “ats-Tsiqaat”
yang berkata, “Anaknya, Yahya meriwayatkan darinya, padahal ia
tidak ada apa-apanya sedangkan ayahnya seorang periwayat yang Tsiqah.
Terjadinya hadits-hadits Munkar pada haditsnya karena bersumber dari
anaknya, Yahya.”
Kemudian saya (Syaikh al-Albany) melihat bahwa al-Hafizh Ibn Hajar
dalam bukunya Talkhiish al-Habiir (Jld.IV, h.138) berkata,
“Dikeluarkan oleh pengarang Musnad al-Firdaus dari jalur
Yahya bin ‘Ubaidullah bin Mawhib…Dan Yahya adalah seorang periwayat
yang Dla’if Jiddan.”
(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa
Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.III, h.411, no.1255)
[Berbincang-bincang
Di Masjid…]
(Karya Syaikh al-Albani)
Mukaddimah
Ada sementara orang yang beranggapan bahwa memperbincangkan
masalah-masalah duniawi di dalam masjid tidak dibolehkan.
Barangkali hal itu mereka lakukan karena ghirah diniyyah (semangat
keagamaan) mereka dan rasa penghormatan yang tinggi terhadap masjid,
sekali pun ada banyak di antara mereka pula yang entah secara sadar
atau tidak juga mencemari keagungan masjid, seperti merokok di
dalamnya saat ada acara tertentu padahal bau rokok dalam banyak hal
lebih tidak sedap dari bau bawang yang Rasulullah melarang orang
yang memakannya (tidak mencuci mulutnya dengan bersih hingga hilang)
untuk mendekati masjid.
Nah, benarkah ngobrol-ngobrol tentang dunia tidak dibolehkan di
masjid? Apakah kualitas hadits mengenainya dapat
dipertanggung-jawabkan? Silahkan simak!
Naskah Hadits
“Berbincang-bincang di masjid akan memakan
kebaikan-kebaikan sebagaimana binatang-binatang ternak memakan
rerumputan.”
Kualitas Hadits
Hadits ini Tidak ada asal (dasar)-nya.
Takhrij Hadits
Hadits ini diketengahkan oleh al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyaa`
‘Uluumid Din (I/136). Kemudian, pentakhrij hadits kitab ini, al-Hafizh
al-‘Iraqi berkata, “Aku tidak menemukan akar (dasar)-nya.” Hal ini
juga dicatat al-Hafizh di dalam kitab Takhrij al-Kasysyaaf.
‘Abdul Wahhab bin Taqiyuddin as-Subki di dalam kitab Thabaqaat
asy-Syaafi’iyyah (IV/145147), “Aku tidak menemukan sanadnya.”
Sedangkan teks yang masyhur dalam perbincangan orang-orang (dari
mulut ke mulut) berbunyi, “Pembicaraan yang mubah (dibolehkan,
bukan haram) di masjid akan memakan semua kebaikan sebagaimana api
memakan kayu bakar” padahal itu itu juga.
(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa
Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I,
h.60, no.4)
Barangsiapa Yang
Tidur Setelah 'Ashar...]
(Karya Syaikh al-Albani)
Mukaddimah
Selama ini barangkali banyak di antara kita yang masih beranggapan
bahwa tidur setelah ‘Ashar tidak dibolehkan dengan berpegang kepada
hadits ini.
Nah, benarkah demikian? Apakah hadits tersebut dapat
dipertanggungjawabkan? Berikut penjelasannya!
Naskah Hadits
“Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu
akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia
mencela selain dirinya sendiri.”
Kualitas Hadits
Hadits ini DHA’IF (LEMAH).
Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitabnya
adh-Dhu’afaa’ Wa al-Majruuhiin (I:283) melalui jalur Khalid bin al-Qasim,
dari al-Layts bin Sa’d, dari ‘Uqail, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah,
dari ‘Aisyah secara Marfu’.
Ibnu al-Jawzi juga mengemukakan hadits ini di dalam kitabnya al-Mawdhuu’aat
(III:69), ia berkata, “Tidak SHAHIH, Khalid seorang pembohong.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Lahii’ah yang mengambilnya dari
Khalid lalu menisbatkannya kepada al-Layts.
Imam as-Suyuthi di dalam al-La’aali (II:150) berkata, “al-Hakim dan
periwayat lainnya mengatakan, Khalid hanya menyisipkan nama al-Layts
dari hadits Ibn Lahii’ah.”
Kemudian as-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibn Lahii’ah,
terkadang ia berkata, “Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya secara marfu’.” Terkadang ia berkata, “Dari Ibn Syihab (az-Zuhri-red),
dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Ia juga meriwayatkan
dari jalur lain: dikeluarkan oleh Ibn ‘Adi dalam al-Kaamil (I:211);
as-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari
‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan
as-Sahmi mengeluarkannya dari jalur Marwan, yang berkata, “Aku
bertanya kepada al-Layts bin Sa’d – karena au pernah melihatnya
tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, ‘Wahai Abu al-Harits!
Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibn Lahii’a telah
meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..[Marwan kemudian
menyebutkan teks hadits di atas]. Maka al-Layts menjawab, “Aku tidak
akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits
Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Ad juga meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar, ia
berkata, ‘Ibn Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amr bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.’
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di
dalam ath-Thibb an-Nabawi (II:12), dari ‘Amr bin al-Hushain, dari
Ibn ‘Ilaatsah, dari al-Awza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari
‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang
pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits
lainnya. ia periwayat hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis
makanan. Kualitas hadits ini adalah palsu. Lihat: silsilah al-Ahaadits
adh-Dha’iifah Wa al-Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, no.40, Jld.I,
hal.114-red)
Komentar Syaikh al-Albani
Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Layts tersebut di mana hal
itu menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya, tidak aneh
sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan
seorang ahli fiqih yang terkenal.
Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh saat ini yang enggan
untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu.
Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if
(lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan
dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan).!”
Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi
terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi yang datang setelah mereka
dan lebih diidentikkan dengan mereka yang pemahamannya, khususnya
dari sisi ‘Aqidah bertolak belakang dengan Salaf, wallahu a’lam-red).
(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa
Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I,
hal.113-114, no.39, dengan sedikit perubahan
Ziarah Kubur Ortu Setiap Jum'at,
Berpahala?] (Karya Syaikh al-Albani)
PENDAHULUAN
Kajian kali ini menyoroti masalah yang sering dilakukan banyak orang
dan menganggapnya sebagai bentuk ibadah yang harus melakukan, yaitu
berziarah kubur setiap hari Jum’at.
Apakah perbuatan ini ada landasannya? Apakah hadits yang berkenaan
dengan itu dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya.
HADITS PERTAMA:
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu
bapaknya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya
akan diampuni baginya dan dicatat sebagai bakti (kepada keduanya).”
Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)
Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini dikeluarkan oleh
ath-Thabarani di dalam kitabnya ‘al-Jami’ ash-Shaghir’ (hal.199) dan
di dalam ‘al-Jami’ al-Ausath’ (I:84). Al-Ashbihani juga menukil
darinya di dalam kitabnya ‘at-Targhib’ (II:228), dari jalur
Muhammad bin an-Nu’man bin Abdurrahman, dari Yahya bin
al-‘Ala’ al-Bajali, dari Abdul Karim, Abi Umayyah, dari Mujahid,
dari Abu Hurairah secara Marfu’.
‘Illat (Penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang
bernama Muhammad bin an-Nu’man dan Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali.
Imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya ‘Miiizaan al-I’tidaal’ berkata,
“Ia (Muhammad bin an-Nu’man) adalah periwayat yang Majhul (anonim),
Demikian yang dinyatakan al-‘Uqaili sedangkan Yahya adalah periwayat
yang ditinggalkan (Matruk).”
Para ulama sepakat menyatakan bahwa Yahya adalah periwayat yang
Dla’if, bahkan oleh al-Waki’ dan Imam Ahmad dinyatakan sebagai
pembohong. Imam Ahmad mengatakan, “Ia seorang pembohong, suka
memalsukan hadits.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibn ‘Adi
‘Illat lainnya -menurut Syaikh al-Albani- adalah
Idhthiraab (inkonsistensi dalam periwayatannya).
Ibnu Abi Hatim pernah menanyakan perihal hadits Mudhtharib
ini kepada ayahnya (Abu Hatim), yaitu hadits yang diriwayatkan Abu
Musa Muhammad bin al-Mutsanna, dari Muhammad bin an-Nu’man, Abi an-Nu’man
al-Bahili, dari Yahya bin al-‘Ala’, dari pamannya, Khalid bin ‘Amir,
dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW mengenai seorang laki-laki yang
mendurhakai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu
keduanya meninggal dunia, lantas ia (orang tersebut, sang anak-red)
datang ke kuburannya setiap malam. Abu Hatim mengatakan, “Sanad
hadits ini Mudhtharib, matan (teks)nya sangat Munkar,
sepertinya ia hadits MAWDHU’.”
HADITS KEDUA:
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua
orangtuanya setiap hari Jum’at, lalu membaca (surat Yaasiin) di sisi
keduanya (di sisinya), niscaya diampuni baginya sebanyak bilangan
setiap ayat atau huruf (yang dibacanya-red)”
Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)
Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Ady
(I:286), Abu Nu’aim di dalam Akhbaar Ashbihaan (II:344-345), Abdul
Ghani al-Maqdisi di dalam as-Sunan (II:91) dari jalur Abu Mas’ud,
Yazid bin Khalid (ia berkata), telah menceritakan kepada kami
‘Amr bin Ziyad (yang berkata), telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya
(‘Urwah), dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar ash-Shiddiq secara marfu’.
Sebagian ahli hadits menulis -menurut saya (al-Albani), ia adalah
Ibn al-Muhibb atau adz-Dzahabi- di atas anotasi lembaran ‘Sunan al-Maqdisi’,
bunyinya: “Ini adalah hadits yang tidak Tsabit (Valid).”
‘Illat (penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama
‘Amr bin Ziyad. Ia dituduh suka mencuri hadits dari para
periwayat yang Tsiqat (terpercaya) dan memalsukan hadits. Di antara
ulama yang menyatakan demikian adalah Ibn ‘Ady dan ad-Daruquthni.
Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini memiliki pendukung (syahid)
sehingga ia hanya dikatakan ‘Dha’if’ saja, bukan Mawdhu’ (palsu)
tetapi Syaikh al-Albani menolak anggapan itu karena yang dijadikan
‘Syahid’ oleh as-Suyuthi itu adalah hadits pertama di atas (dalam
kajian ini) yang juga adalah hadits MAWDHU’ sehingga tidak
layak menjadi Syahid. Ada dua alasan: Pertama, karena secara makna
keduanya berbeda, kecuali dalam makna ‘ziarah’ secara mutlak. Kedua,
seperti yang disebutkan al-Munawi di dalam syarahnya terhadap a-Jami’
ash-Shaghir bahwa Ibn al-Jawzi telah menilai hadits itu Mawdhu’
namun oleh as-Suyuthi dinyatakan ada Syahidnya tetapi pendapat ini
adalah tidak tepat karena menurut Ahli hadits, adanya beberapa
syahid tidak berpengaruh pada hadits yang kualitasnya Mawdhu’,
bahkan hadits Dha’if dan semisalnya sekali pun.
Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya
membaca al-Qur’an di sisi kuburan tetapi kenyataannya di dalam
sunnah yang benar tidak terdapat dalil yang menguatkan hal itu
bahkan (sunnah yang benar) menunjukkan bahwa yang disyari’atkan
ketika berziarah kubur hanyalah memberi salam kepada Ahli kubur dan
mengingat akhirat. Itu saja.! Dan seperti inilah amalan para ulama
Salaf ash-Shalih.
Jadi, membaca al-Qur’an di sisi kuburan itu adalah Bid’ah Makruuhah.
Demikian seperti yang dinyatakan sejumlah ulama terdahulu seperti
Abu Hanifah, Imam Malik dan imam Ahmad dalam sebuah riwayat
sebagaimana yang dimuat dalam kitab Syarh al-Ihya’ karya az-Zabidi
(II:285). Di dalam bukunya ini, az-Zabidi mengatakan, “karena tidak
ada as-Sunnah yang menyatakan seperti itu…” Selanjutnya az-Zabidi
menyebutkan pendapat ulama yang lain, yang menyatakan tidak makruh
seraya berargumentasi dengan riwayat yang dinisbatkan pada Ibn ‘Umar
bahwa ia mewasiatkan agar dibacakan di atas kuburannya ketika akan
dikuburkan pembukaan surat al-Baqarah dan penutupnya.
Tetapi Syaikh al-Albani mengomentari dengan mengatakan, “Atsar ini
tidak sahih dinisbatkan kepadanya (Ibn ‘Umar). Kalau pun shahih,
maka hanya menunjukkan pembacaannya ketika akan dikuburkan, bukan
secara mutlak seperti yang nampak. Karena itu, wahai saudaraku,
sesama Muslim! Berpeganglah dengan as-Sunnah, hindarilah bid’ah
sekali pun dipandang baik oleh banyak orang sebab setiap bid’ah
adalah kesesatan sebagaimana dalam sabda Nabi SAW.”
(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah Wal Mawdhuu’ah
karya Syaikh al-Albani, Jld.I, no.49 dan 50, dengan sedikit
diringkas)
|