TAFSIR AL-MANAR
Nama Mufassir
Muhammad Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla
‘Aly Khalîfah al-Qalműny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada
al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk
seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid.
Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.
Nama Kitab
Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan
lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang
tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yűsuf, ayat
101.
‘Aqidahnya
Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini
kiranya di sini kami (redaksi) cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany
sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di
dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24),
“Sayyid Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah memiliki andil
besar terhadap Dunia Islam secara umum dan secara khusus terhadap
kaum Salafiyyin. Hal ini kembali kepada sosok beliau yang merupakan
salah seorang da’i yang langka di dalam menyuarakan manhaj Salaf di
seluruh jagad raya melalui majalahnya “al-Manar” . Di dalam
hal tersebut, beliau sungguh telah berjuang yang patut disyukuri
atasnya. Dan, semoga beliau mendapatkan pahala yang tersimpan di
sisi Rabbnya atas hal itu. Di samping dikenal sebagai da’i yang
mengajak kepada manhaj Salaf Shalih dari sisi aqidah dan pemikiran
serta tingkah laku, beliau juga memiliki upaya yang patut disyukuri
di dalam takhrij hadits shahih dan dla’if. Tidak dapat disembunyikan
oleh setiap muslim yang memiliki sedikit wawasan keislaman, bahwa
hadits-hadits shahih inilah satu-satunya jalan untuk memahami
Kitabullah secara benar sebab banyak sekali ayat-ayat yang tidak
dapat dipahami kecuali melalui penjelasan as-Sunnah an-Nabawiyyah.
Allah telah menekankan hal ini di dalam firman-Nya, “Dan telah
Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) untuk menjelaskan
kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka.”
(an-Nahl:44). Ayat ini dan nash-nash lainnya menguatkan kepada
seorang Muslimi bahwa tidak ada jalan dalam memahami al-Qur’an
selain melalui jalan Sunnah Rasulullah SAW. Dan, Sayyid Muhammad
Rasyid Ridla memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu
hadits, sampai kepada upayanya meletakkannya dalam lingkup ilmiah,
sosial dan politik. Banyak sekali beliau mengingatkan kelemahan
sebagian hadits dari sisi sanadnya melalui majalah al-Manar
yang merupakan ujung tombak yang baik dan mampu mengalihkan
perhatian kaum Muslimin untuk lebih fokus terhadap hadits-hadits
Rasulullah…Bilamana adalah sepatutnya orang yang memiliki kelebihan
mengakui kelebihan pemilikinya, maka saya mendapati diri saya pada
kesempatan yang baik ini harus mencatatkan kalimat ini agar
diketahui oleh siapa saja yang telah sampai kepadanya (membacanya)
bahwa, pertama, saya atas karunia Allah memiliki orientasi kepada
manhaj Salaf. Kedua, dapat membeda-bedakan mana hadits-hadits dla’if
dan hadits shahih. Semua itu, keutamaan (andil besar) pertamanya
kembali kepada sosok Sayyid Ridla rahimahullah melalui
beberapa volume dari majalah al-Manar-nya yang merupakan hal pertama
kali yang saya ketahui ketika mulai bergiat di dalam menuntut ilmu…”
Dalam hal ini, memang ada beberapa kritikan pula yang diarahkan
syaikh al-Albany terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridla namun tidak
mengurangi kapasitasnya sebagai seorang penyeru kepada dakwah
salafiyyah.
Sedangkan di dalam masalah Asmâ` dan Shifât, syaikh
Rasyid Ridla menetapkan sebagian besarnya berdasarkan manhaj Salaf.
Spesifikasi Umum
Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad
‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah
sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal
yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat),
hadits-hadits shahih dari Rasulullah SAW, sesuai metode Salaf,
menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas
dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka
yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa
beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir
kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu
ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir
terhadap dirinya.
Mengenai motivasinya menulis tafsir seperti itu, beliau menyinggung
tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya
tafsir menyibukkan pembacanya dari tujuan-tujuan yang agung dan
hidayah yang mulia di mana ada yang menyibukkannya dari al-Qur’an
lantaran banyaknya bahasan-bahasan tentang I’rab, kaidah-kaidah
nahwu, makna-makna dan istilah-istilah bayan. Di antaranya pula,
mengalihkannya dengan debat kusir Ahli kalam,
interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para
ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi dan fanatisme
masing-masing terhadap aliran dan madzhabnya. Ada lagi di antaranya
yang mengalihkannya dengan begitu banyaknya riwayat-riwayat yang
tercampur dengan khurafat Israiliyyat. Sementara mufassir seperti
al-Fakhrur Rozy, menurut beliau, menambah lagi hal baru dengan
memasukkan ilmu-ilmu matematika, ilmu alam (eksakta) dan ilmu-ilmu
lainnya terkait dengan beberapa aliran/faham yang ada pada masanya,
seperti falak yunani, dsb. Cara seperti ini diikuti pula oleh ulama
kontemporer (masanya syaikh Rasyid) dengan memasukkan beragam ilmu
yang ada pada masa ini dan seni-seninya, seperti menulis beberapa
pasal yang panjang dalam menafsirkan ayat, ketika membahas kata
“as-Samâ`” (langit) dan “al-Ardl” (bumi). Yaitu dari sisi ilmu falak
(astronomi), tumbuh-tumbuhan (anatomi) dan ilmu hewan (biologi)
sehingga menghalangi pembacanya dari wahyu sebenarnya yang karenanya
Allah menurunkan kitab-Nya.
Beliau menyebutkan, “Maka, adalah menjadi kebutuhan yang mendesak
terhadap penafsiran yang mengarahkan perhatian pertamanya kepada
petunjuk al-Qur’an dalam kapasitas yang sesuai dengan ayat-ayat yang
diturunkan ketika mengulasnya. Demikian juga, yang sesuai dengan
tujuan diturunkannya al-Qur’an seperti dengan peringatan, berita
gembira, hidayah dan perbaikan. Hal inilah yang anda dapatkan di
dalam rincian pembahasan pada mukaddimah yang diambil dari kajian
yang diberikan oleh syaikh kami, Ustadz Imam Muhammad ‘Abduh
rahimahullah. Kemudian, terhadap titik perhatian pada tuntutan
zaman ini dengan ungkapan yang mudah, memperhatikan tingkat
pemahaman para pembaca, menyingkap syubuhat para pegiat dalam bidang
filsafat, ilmu eksakta dan selainnya seperti yang akan anda lihat
nanti. Dan hal inilah yang kiranya Allah mudahkan atas karunia-Nya
kepada si lemah ini (maksudnya diri beliau dan ini pada pembukaan
kitabnya tersebut-red.,).”
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada dirinya untuk menggali
hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan
beliau berbeda pendapat dengan Jumhur ulama dalam beberapa masalah,
di mana beliau memberikan bantahan terhadap mereka dengan jawaban
yang sedikit keras, seperti pendapat beliau yang membolehkan orang
musafir untuk bertayammum sekalipun dia mendapatkan air. Beliau juga
lebih memperluas penjelasan hukum-hukum fiqih sosial dan pembicaraan
atas kondisi kontemporer umat baik di belahan timur maupun barat.
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan Nahwu kecuali
sedikit sekali. Dia menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang
indah, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan
dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai
ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Sangat sedikit menyinggung tentang Isrâ`îliyyât bahkan beliau
mengingkari sikap para mufassir yang banyak mengetengahkannya. Akan
tetapi beliau malah berbicara tentang hal yang serupa dengan itu,
yaitu banyak menukil dari al-Kitab berita-berita dan atsar-atsar di
dalam menafsirkan nama-nama yang tidak dikenal di dalam al-Qur’an
atau melalui hal itu, beliau membantah pendapat sebagian para
mufassir.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn,
karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.59-65
- Muhammad Rasyîd Ridla, Thawdun Wa Ishlâhun, Da’watun Wa Dâ’iyah
karya Khalid bin Fawzy bin ‘Abdul Hamîd Alu Hamzah
|