TAFSIR AL-MARAGHY
Nama Mufassir
Ahmad bin Mushtafa al-Marâghy, wafat tahun 1371 H (1952 M). [Untuk
mengetahui lebih lanjut tentang biografi beliau, silahkan lihat:
al-A’lâm karya Khairuddin az-Zirakly (I/258) dan Mu’jam al-Mufassirîn
(I/80)]
Nama Kitab
Tafsir al-Marâghy.
‘Aqidahnya
Beliau seorang Mufassir yang menganut faham takwil (faham yang
menyimpang dari manhaj ulama Salaf-red.,), yaitu menakwil semua
ayat-ayat tentang sifat-sfat Allah. Sifat rahmat, malu dan istiwa` (meninggi
di atas ‘arasy) termasuk yang ditakwilnya. Anehnya, setelah
menakwilkan kata Istiwâ`, beliau kemudian berdalil dengan madzhab
Salaf dengan menyebut ucapan Imam Mâlik dan Ibn Katsîr (padahal
ulama-ulama tersebut tidak membolehkan takwil seperti itu-red.,).
Beliau juga menakwil sifat wajah, datang (Majî`), mendatangkan (It-yân)
dan mencintai (Mahabbah). Pernah beliau mengatakan, “Dan cinta dan
bencinya Allah merupakan salah satu urusan-Nya yang tidak boleh kita
mencari wujud (eksistensi) dan (mempersoalkan) bagaimana caranya.”
Di antara sifat lainnya yang ditakwilnya adalah sifat ridla,
‘Indiyyah (di sisi Allah), Fawqiyyah (di atas), tangan (Yad)
dan mata (‘Ain) sekalipun beliau menetapkan bahwa orang-orang Mukmin
kelak di hari Kiamat akan melihat Rabb mereka.
Al-Marâghy adalah salah seorang pentolan Madrasah Ishlâhiyyah
(perguruan reformis) yang lebih mengagungkan akal (logika) dan
seorang yang terpengaruh oleh pandangan Muhammad ‘Abduh. Perguruan
dan imamnya memiliki banyak pandangan yang bertentangan dengan
madzhab dan ‘Aqidah Salaf. Di samping itu, perguruan ini juga
memiliki beberapa kerancuan yang diakibatkan oleh sikap yang
berlebih-lebihan di dalam mengagungkan akal dalam setiap urusan
agama sehingga melenceng dari kebenaran. Dalam hal ini, mereka lebih
sependapat dengan kaum Mu’tazilah, golongan Asyâ’irah (pengikut
faham Asy’ariyyah) dan orang-orang semisal mereka yang lebih
mendahulukan akal ketimbang Naql (nash al-Qur’an dan hadits).
Al-Marâghy telah menyebarkan pandangan-pandangan perguruan ini di
dalam tafsirnya, di antaranya:
Ketika beliau menakwil atau membolehkan penakwilan terhadap
mukjizat-mukjizat para Nabi AS. Seperti tanggapan beliau
terhadap orang yang mengatakan, “Sesungguhnya ketika Nabi Musa
menyeberang, kondisi laut sedang tidak bergelombang sehingga
airnya tertarik ke tengah laut sedangkan ketika Fir’aun yang
menyeberang, kondisi laut sedang bergelombang sehingga airnya
menepi hingga ke pantai…” Beliau menanggapinya dengan
mengatakan, “Takwil seperti ini tidak berbahaya (tidak apa-apa)
bilamana si penafsirnya masih menetapkan terjadinya
kejadian-kejadian luar biasa tersebut pada diri para Nabi.”
(I/117)
Memilih pendapat yang menyatakan bahwa kejadian Maskh
(pengrubahan muka menjadi rupa monyet) terhadap Bani Israil itu
hanyalah secara maknawy saja (bukan kejadian sungguhan-red.,).
(I/139)
Pendapatnya mengenai Kalam Allah bersama para malaikat-Nya
mengenai penciptaan Adam bahwa ia merupakan ayat mutasyâbih (samar-samar)
yang tidak memungkinkan untuk mengartikannya menurut makna
zhahirnya. Untuk mengetahuinya, harus diserahkan kepada Allah
sendiri, lalu menisbahkan pendapat semacam ini kepada ulama
Salaf (padahal tidak benar demikian-red.,). (I/78)
Beliau mengatakan bahwa Adam bukanlah bapak manusia (I/77)
dan Hawwa` tidak diciptakan dari tulang rusuknya (I/93). Hal ini
jelas hendak menolak mentah-mentah firman Allah, “…Yang
menciptakan kamu dari satu jiwa dan menciptakan darinya
pasangannya (Hawwa`)…” (Q.s.,an-Nisâ`: )
Juga, hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan Abu Hurairah
dalam ash-Shahîhain, “Berwasiatlah dengan baik terhadap
wanita, karena sesungguhnya mereka itu diciptakan dari tulang
rusuk yang bengkok..” Sangat disayangkan, beliau menakwil
kedua nash ini secara keliru.
Menukil pendapat Muhammad ‘Abduh yang mengindikasikan
pengingkaran terhadap alam malaikat dan jin dengan tanpa
memberikan komentar atasnya sedikitpun. (I/87)
Pernyataannya mengenai turunnya Nabi ‘Isa di akhir zaman
bahwa ia adalah hadits Ahad yang terkait dengan masalah ‘aqidah
sedangkan hal-hal yang berkenaan dengan ‘aqidah tidak dapat
diambil kecuali melalui dalil yang pasti (qath’iy), baik dari
al-Qur’an maupun hadits yang mutawatir sedangkan disini, tidak
terdapat salah satu dari kedua hal ini. Kemudian dia meneruskan,
“Atau maksud dari turunnya ‘Isa dan akan berkuasanya dia di muka
bumi kelak adalah dari dominasi ruh (spirit) nya dan rahasia
risalahnya atas manusia.” (III/169)
Ini adalah benar-benar ucapan Muhammad ‘Abduh sendiri.
Ketika mengomentari firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaithan lantaran (tekana) penyakit gila.” (Q.s.,al-Baqarah:275),
Beliau mengatakan, “Terjadinya kemasukan syaithan pada manusia
merupakan klaim orang-orang Arab sebab mereka mengklaim bahwa ia
merasuk manusia sehingga ia pingsan (tidak sadarkan diri karena
kemasukan). Karena itu, al-Qur’an datang sesuai dengan keyakinan
mereka itu. Demikian juga keyakinan mereka bahwa jin bisa
menyentuh manusia sehingga akalnya kacau. Dalam ungkapan bahasa
mereka dinyatakan, ‘Rajulun Mamsűs (seorang laki-laki
disentuh)’ artinya ia disentuh oleh jin (kemasukan) dan ungkapan
‘Rajulun Majnűn (seorang laki-laki gila)’ bilamana ia dipukul
oleh jin…” Kemudian beliau mengatakan lagi, “Maka ayat ini
datang sesuai dengan apa yang mereka yakini itu, jadi bukan
dalam rangka membenarkan ini ataupun menafikannya.!!! Tidak
mempercayai adanya manusia yang kerasukan jin dan masuknya ia ke
dalam raga manusia merpakan madzhab Mu’tazilah karena menurut
mereka hal itu adalah mustahil..!!”
Demikianlah beberapa fakta yang terdapat di dalam kitab tafsirnya
berkenaan dengan pendapat Madrasah ‘Aqliyyah (perguruan yang
mengagungkan akal) namun untuk melacak itu lebih lanjut, kiranya
terlalu panjang untuk dikupas di sini, kepada Allah lah kita memohon
pertolongan.
Spesifikasi Umum
Mengenai hal ini, beliau mengungkapkannya sendiri di dalam kitabnya,
“Kami kemukakan pada setiap pembahasan satu, dua atau beberapa ayat
al-Qur’an yang diketengahkan untuk satu tujuan, lalu kami ikuti
dengan penafsiran kosa katanya secara bahasa, jika di dalamnya
terdapat sebagian hal yang sulit dipahami oleh para pembaca, lalu
kami susulkan dengan menyebut makna per-kalimat dari ayat yang ini
atau beberapa ayat sehingga nampak bagi pembaca gambaran globalnya
sehingga bila ditafsirkan, akan lebih memperjelas keglobalannya.
Kemudian hal itu kami ikuti dengan beberapa hadits terkait dengan
sebab turunnya ayat-ayat tersebut jika ada yang dinilai shahih oleh
para mufassir bil Ma’tsur. Namun begitu, kami mengelak untuk
menyebutkan istilah-istilah dalam ilmu Nahwu, sharaf, balaghah dan
semisalnya sebagaimana yang sering dimuat oleh para mufassir di
dalam kitab-kitab tafsir mereka. Karena, itulah yang termasuk
kendala sehingga menghalangi kebanyakan orang untuk membaca
kitab-kitab tafsir.”
Beliau melanjutkan, “Manakala setiap masa itu memiliki ciri khas
tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, baik dalam etika,
akhlaq, tradisi dan cara berpikir orang-orangnya, maka kiranya wajib
bagi para pengkaji di abad modern ini untuk bersinergi dengan
orang-orang semasanya dalam semua hal yang disebutkan tadi. Karena
itu, sudah semestinya kita mencari corak tafsir al-Qur’an dengan
gaya bahasa modern yang sesuai dengan tabiat orang-orang zaman ini.
Prinsip berbicara yang berlaku adalah bahwa setiap tempat itu ada
momennya (untuk diucapkan) dan manusia diajak bicara sesuai dengan
kemampuan akalnya. Karena itu pula, kami melihat perlunya kita
memperkokoh hal itu dengan upaya-upaya para pendahulu kita sebagai
bentuk pengakuan atas jasa mereka dengan cara berpedoman kepada
pendapat-pendapat mereka.”
Al-Marâghy berusaha untuk menjadikan kitab tafsirnya sebagai kitab
tafsir modern yang relevan dengan realitas kaum Muslimin kontemporer
akan tetapi beliau justeru terjebak/terjerumus karena mengikuti
sebagian teori-teori barat dan mengagungkan ilmu materi dengan
meninggalkan zhahir al-Qur’an terhadap hal itu. Di antara
indikatornya adalah ucapannya, “Sesungguhnya kajian ilmiah dan
historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abu al-Basyar
(bapak manusia).” (IV/177;I/95) Demikian juga dengan perkataannya
tentang sihir, “…Apakah ia memiliki pengaruh secara alami, karena
sebab yang tersembunyi, karena sesuatu yang luar biasa ataukah tidak
memiliki pengaruh.? Faktor apa saja dari hal itu yang dapat
dibuktikan oleh ilmu, maka ia adalah rincian terhadap hal-hal yang
global di dalam al-Qur’an dan kita tidak boleh memberikan putusan
dengan mengarahkannya kepada salah satu dari jenis-jenis itu.”
(I/182)
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau mengetengahkan beberapa hadits dan atsar tanpa menyebutkan
sanad-sanad (jalur-jalur transmisi/rentetan para periwayat)-nya.
Terkadang, menyebutkan beberapa hadits Dla’îf (lemah) namun
tidak menyebutkan sumbernya. Terlebih lagi, beliau sedikit sekali
menyebutkan tafsir yang ma`tsűr (diriwayatkan) dari Salaf kecuali
pada hal yang berkenaan dengan sebab-sebab turunnya ayat.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung juga beberapa hukum fiqih yang dibahas oleh ayat
dengan ulasan yang ringkas dan mudah serta tidak banyak memperlebar
hal-hal yang bersifat khilafiyyah di kalangan para ulama madzhab,
bahkan bila ada khilaf, beliau hanya menyebutnya secara ringkas.
b]Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Sangat jarang mengupas masalah Qirâ`ât.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Beliau sengaja mengelak dari menyinggung masalah Isrâ`îliyyât.
Mengenai Ahli Kitab, beliau mengatakan, “Sesungguhnya mereka itu
membawa kepada kaum Muslimin pendapat-pendapat di dalam kitab mereka
berupa tafsiran yang tidak diterima akal, dinafikan oleh agama dan
tidak dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat
dibuktikan oleh ilmu pada abad-abad setelahnya.
Kemudian beliau berkata pula, “Oleh karena itu, kami berpendapat
tidak perlu menyinggung riwayat yang ma`tsűr kecuali bila diterima
oleh ilmu. Kami tidak melihat ada hal yang bertolak belakang dengan
masalah-masalah agama yang tidak terdapat perbedaan padanya di
kalangan penganutnya. Kami telah mendapatkan bahwa hal itu (pendapat
seperti itu) lebih selamat bagi pembenar ma’rifat dan lebih mulia
bagi penafsiran Kitabullah serta lebih menarik bagi hati para
cendikiawan sebagai wawasan ilmiah di mana tidak ada hal yang bisa
membuat puas hati kecuali dalil, bukti dan nur ma’rifat yang tulus.”
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Pengarang termasuk salah seorang yang mumpuni dalam hal Bahasa Arab
dan ilmunya (linguistik). Mengenai hal ini, beliau berkata, “Aku
sangat berbahagia sekali karena dapat mengabdikan diri dalam
belajar, mengajarkan dan mengarang Bahasa Arab selama setengah abad
di mana aku ikuti gaya bahasanya pada ayat al-Qur’an, hadits
Rasulullah, sya’ir dan prosa (natsr) sehingga aku mendapati diriku
sendiri merasa terbebani (terpanggil) untuk menobatkan pengabdianku
terhadap bahasa ini dengan menafsirkan ayat al-Qur’an al-Hakîm.”
Karena itulah, beliau sering menjelaskan kosa-kata ayat yang ingin
ditafsirkannya dalam sub judul “Tafsir Mufradât” . Di sini,
beliau menjelaskan sebagian kata yang sulit dipahami kebanyakan para
pembaca.
Beliau juga berargumentasi dengan bait-bait sya’ir untuk menjelaskan
makna yang ditunjukkan oleh suatu kata dan bagaimana penggunaanya
oleh orang-orang Arab di dalam sya’ir-sya’ir mereka.
Sementara pembahasan mengenai ilmu Nahwu, beliau telah mengelak
untuk menyinggungnya karena merupakan salah satu kendala yang
menghalangi kebanyakan orang dari membaca kitab-kitab tafsir dan
karena ia merupakan sesuatu yang hanya dikhususkan untuk sebagian
orang saja tanpa perlu melibatkan orang lain.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn,
karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud |