TAFSIR AS-SA'DY
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah
bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang
Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat
biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392;
Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)
Nama Kitab
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan.
Spesifikasi Umum
Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya
memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam
menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa
sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir.
Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an
dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap
jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa
Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna
penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada
keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan
lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk
mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya
merupakan kunci segala kebaikan.
Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah
diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk
mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah
seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap
kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang
paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”
Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya
tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap
Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan
bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas
mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus
pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah
menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju
makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi
pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan
padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan
semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang
berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di
pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan
terhadap semua kondisi Rasulullah SAW., sirahnya bersama para
shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang
paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya,
khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu
linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam
hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam
mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap
lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan
serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum
(eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam
hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti
membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang
sebelumnya belum dijangkaunya.”
Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah
Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku
untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi
kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir
Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada
kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari
ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi
orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa
mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku
hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam
mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan
yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya
telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi
setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum
Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung
agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab
bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat
mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada
jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku
memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan
menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan
Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”
Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di
dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku
pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan
hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan
juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab
Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di
dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang
bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia
memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan
menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin
serta perbaikan seluruh hal.”
’Aqidahnya
Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam
kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi.
Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah,
Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.
Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau
berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik
rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup
setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang
bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu
mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka
mendapatkan bagian darinya.”
Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang
disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman
kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan
dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan
Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat
dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat
merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap
seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim;
sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya
segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”
Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan
melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam
naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini
dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah
yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`,
nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah
diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh
Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi
yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan
Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan)
berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah
(yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi
mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang
menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat
dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan
sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap
penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa
melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini,
maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan
dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.
Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di
dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara
gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan
bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu
dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana
yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi
siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah
iman.
Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian
sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang
memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu
melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait
dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah
kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan
adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu
dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai
sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan
mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat
diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat
yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi,
sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya
mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak
terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.
Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat
tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa
sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua
sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan
pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi
pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan
sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif;
coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan
tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk
membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak
mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada
anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut
juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan,
‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu
hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang
yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami
sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah
bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah
tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh
Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.
Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan
sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun
as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang
kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun
dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”
Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah
Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang
dicetak pada akhir juz ke-lima.
Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits
Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi
menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap
ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak
merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada
penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat
dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama
fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung
masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama.
Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat
Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.
Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan
seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa
as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain
tentu akan mengetahui hal itu.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena
menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari
cukup.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam
kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada
surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim
bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan
bahwa Nabi Sulaiman AS., memintanya agar menyingkap lokasi air
kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini
tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh
menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah
diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua
binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat
dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat
air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal
demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal
itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar.
Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang
dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman)
meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka
tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya
seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau
lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud
berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir
serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah
ditentukan Sulaiman.”
Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada
dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak
dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa
adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan
makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada
perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan
tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang
datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang
terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah
perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti
itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]
Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya,
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu
negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.”
(Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair AS.
Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak
menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak
menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah,
tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang
beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya,
“Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau
menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan
lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena
para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi
generasi-generasi setelah mereka.”
Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin
dengan kebaikan.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin,
karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83.
|