Tafsir Surat al-'Ankabuut:
1-7
(Jangan Hanya Sekedar Mengklaim Beriman)
Mukaddimah
Banyak manusia yang mengklaim dirinya telah beriman tetapi
pada kenyataannya ia jauh dari disebut sebagai orang beriman.
Apakah klaim seperti itu sudah cukup? Apa rahasia di balik
adanya ujian bagi umat manusia? Silahkan ikuti selanjutnya!
Alif laaf miim,[1].
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji
lagi?[2]. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta,[3]. Ataukah orang-orang yang
mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput
dari (azab) Kami ? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan
itu,[4]. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah,
maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti
datang.Dan Dia-lah yang Maha Mendegar lagi Maha Mengetahui,[5].
Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
itu adalah untuk dirinya sendiri.Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam
semesta,[6]. Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka
dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih
baik dari apa yang mereka kerjakan,[7]
MAKNA GLOBAL AYAT
Alif Laam Miim, hanya Allah yang Maha mengetahui
maksudnya. Demikianlah pendapat Salaf mengenai huruf-huruf
seperti ini, yaitu menyerahkan ilmunya hanya kepada Dzat
Yang menurunkannya (Allah SWT).
Firman-Nya, (Apakah manusia itu mengira* bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’),
yakni mereka hanya cukup mengatakan seperti itu. (sedang
mereka tidak diuji lagi? ) ; bahkan seharusnya diuji
dengan beban-beban syari’at yang berat seperti hijrah,
jihad, shalat, puasa, zakat, meninggalkan syahwat dan sabar
terhadap derita. Sekali pun ayat ini diturunkan secara
khusus kepada orang seperti ‘Ammar bin Yasir, Bilal dan
‘Iyasy, namun ia bersifat umum sebab yang menjadi tolok
ukurnya adalah makna umum lafazhnya bukan kekhususan pada
sebab terjadinya. Dalam ayat ini, lafazhnya bersifat umum,
sebab bila huruf “al” dirangkai dengan (ditambahkan
pada) ism al-Jins (kata benda yang menunjukkan jenis
sesuatu, yakni: kata Naas) maka maknanya mencakup
semua elemen-elemennya alias siapa saja jenis/golongan
manusianya.
Firman-Nya, (Dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang** sebelum mereka); yakni dari umat-umat
terdahulu. Dengan begitu, maka ini merupakan sunnah yang
akan terus terjadi pada umat manusia, dan tidak seorang pun
yang terhindar darinya.
Firman-Nya, (Maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar): dalam keimanan mereka. Yakni,
Allah menampakkan hal itu*** dan memberitahukan perihalnya
secara terbuka (dipersaksikan) setelah Dia mengetahuinya
sebelum membuatnya ada (menciptakannya ke alam nyata) di
mana Dia menakdirkan hal itu dan mencatat kadar segala
sesuatu, yaitu dengan cara mengembankan beban syari’at
kepada mereka, untuk selanjutnya mereka jalankan apa yang
diembankan kepada mereka tersebut, baik berupa Af’aal
(perbuatan-perbuatan) atau Turuuk (larangan-larangan,
pantangan) yang sulit-sulit. Sebab, hijrah, jihad dan zakat
adalah Af’aal sementara meninggalkan riba, zina dan khamar
adalah Turuuk.
Firman-Nya, (Dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta) ; di mana mereka mengaku beriman namun
ketika diuji dengan beban-beban syari’at tersebut, nyatanya
mereka tidak melakukannya sehingga tampaklah ketikdaktulusan
mereka. Sungguh klaim bahwa mereka itu beriman adalah dusta
belaka.
Firman-Nya, (Ataukah orang-orang yang mengerjakan
kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab)
Kami? )****; kata Hasiba maknanya Zhanna (kedua-duanya
bermakna: mengira, menyangka).
Firman-Nya, (Orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu);
yaitu berupa kesyirikan dan perbuatan-perbuatan maksiat.
Firman-Nya, (Bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami?
); yakni luput dari Kami lalu Kami tidak menimpakan azab
terhadap mereka.?
Firman-Nya, (Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu);
yakni terhadap diri mereka sendiri. Buruknya ketetapan
mereka itu karena ia mengandung kerusakan sebab mereka
melakukan itu berdasarkan perkiraan/persangkaan mereka bahwa
Allah Ta’ala tidak mampu memberikan sanksi hukum apa-apa
terhadap mereka padaha Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Mereka juga mengira bahwa Dia tidak mengetahui perbuatan
mereka padahal Dia atas segala sesuatu Maha Mengetahui.
Firman-Nya, (Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan
Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu,
pasti datang); yakni yang mengharap pertemuan dengan
Allah. Artinya, beriman dan menjadi cita-citanya
pertemuan dengan Allah. Hal ini terjadi pada hari Kiamat
kelak, karena itu hendaklah ia mengetahui bahwa waktu yang
dijanjikan Allah itu pasti akan datang. Dan untuk itu pula,
hendaklah ia bersiap-siap menyongsong pertemuan dengan-Nya
dengan melakukan hal yang selaras dengan itu, yaitu beriman
dan beramal shalih setelah menghindarkan diri dari syirik
dan amalan yang rusak. Dari sini, klaim seseorang bahwa ia
berharap pertemuan dengan Rabbnya sekali pun belum beramal
shalih, ia akan tetap diberi pahala adalah klaim yang tidak
benar. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini di dalam
surat al-Kahf, “Barangsiapa mengharap pertemuan*****
dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Rabbnya.”
Firman-Nya, (Dan Dia-lah yang Maha Mendegar lagi Maha
Mengetahui); yakni Dia Ta’ala Maha Mendengar semua
ucapan para Hamba-Nya, Maha Mengetahui niat-niat dan
perbuatan-perbuatan mereka. Klaim iman dari seorang hamba
baik secara zhahir maupun bathin, tidak ada artinya selama
ia tidak membuktikannya, yaitu dengan iman dan jihad
terhadap musuh****** secara zhahir dan bathin.
Firman-Nya, (Dan barangsiapa yang berjihad, maka
sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri);
yakni manfa’at ibadah ini akan kembali kepada si hamba itu
sendiri sedangkan Allah tidak membutuhkan secara mutlak akan
perbuatan hamba-Nya. Inilah yang ditunjukkan ayat, (Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
alam semesta); yakni para malaikat, manusia, jin dan
seluruh makhluk sebab semua yang selain Allah adalah alam
semesta.
Firman-Nya, (Dan orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa
mereka); ini merupakan janji dari Allah Ta’ala kepada
siapa saja hamba-Nya yang beriman. Hal ini karena keimanan
dan amal shalihnya baik berupa perbuatan atau pun larangan/pantangan
di mana Dia Ta’ala menghapuskan dosa-dosanya yang dulu
diamalkannya sebelum Islam dan sesudahnya. Pengertian
“Dia menghapuskan dari mereka dosa-dosa mereka” adalah
Dia menutupinya dan tidak menuntut mereka dengan hal itu (dosa-dosa
itu) seakan mereka tidak pernah melakukannya.
Firman-Nya, (Dan benar-benar akan Kami beri mereka);
yakni atas amal-amal shalih mereka.
Firman-Nya, (Balasan yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan); yakni dengan sebaik-baik amalan yang pernah
mereka lakukan sehingga menjadi berlipat-lipat ganda
besarnya. Ini semua itu berkat kemuliaan-Nya atas para
hamba-Nya yang shalih agar Dia membalas kebaikan itu dengan
beratus-ratus lipat ganda.
PETUNJUK AYAT
Di antara petunjuk ayat-ayat di atas adalah:
· Penjelasan sunnah bahwa iman dapat dibenarkan atau
didustakan melalui amal
· Penjelasan dimungkinkannya pembebanan sesuatu yang oleh
jiwa berat untuk dilakukan atau ditinggalkan
· Peringatan kepada orang-orang yang terbuai bahwa sekali
pun suatu siksaan datangnya terlambat, tapi ia pasti terjadi
· Buah jihad akan kembali kepada Mujahid itu sendiri, karena
itu tidak pantas ia menghitung-hitungnya di hadapan Allah
dengan mengatakan, aku sudah melakukan ini dan itu
· Penetapan akan keyakinan mengenai kebangkitan dan hari
pembalasan dengan menyebutkan janji yang akan diberikan
kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih
* Mujahid dan ulama lainnya mengatakan, “Ayat ini turun
untuk menghibur beberapa shahabat yang disiksa di kota
Mekkah, yang tidak dapat ikut berhijrah. Mereka adalah
Salamah bin Hisyam, ‘Iyasy bin Rabi’ah, al-Walid bin al-Walid,
‘Ammar bin Yasir beserta ayahnya Yasir dan ibunya, Sumayyah.
Sebab hati masing-masing mereka ini merasa sesak dengan
siksaan yang dialami bahkan barangkali timbul semacam
pengingkaran kenapa Allah memberikan kesempatan kepada
orang-orang Kafir untuk menyiksa orang-orang beriman
** Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Khabbab bin al-Aratt,
dia berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah SAW ketika
beliau berbantal dengan burdah (kain bergaris untuk
diperselimutkan) miliknya d bawah naungan Ka’bah seraya
bertutur kepadanya, ‘Tidakkah engkau meminta pertolongan
untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk kami?’ Lalu beliau
menjawab, ‘Dulu ada orang sebelum kalian yang pernah
digalikan lobang untuknya di tanah, lalu ia dibenamkan di
situ, lalu dihadirkan gergaji yang membelah kepalanya hingga
terpotong menjadi dua, kemudian daging dan tulangnya disisir
dengan sisir yang terbuat dari besi namun hal itu semua
tidak sedikit pun membuatnya berpaling dari agamanya. Demi
Allah, sungguh Dia akan menyempurnakan urusan ini (Islam)
hingga kelak ada orang yang melakukan perjalanan dari Shan’a
(ibukota Yaman sekarang,-red.,) menuju Hadlramaut dalam
kondisi tidak takut kecuali kepada Allah dan seperti
takutnya terhadap srigala yang ingin memangsa ternak
kambingnya, namun kalian ini terlalu terburu-buru.’” Ibn
Majah juga meriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash seraya
berkata, ‘Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW, ‘Siapakah
manusia yang paling berat cobaan atasnya.?’ Beliau bersabda,
‘Mereka adalah para Nabi kemudian orang yang seperti
mereka dan seterusnya. Seseorang diberi ujian seukuran
pengetahuan agamanya; jika ia orang yang tegar dalam
agamanya, maka akan sangat beratlah cobaan untuknya dan jika
ia orang yang lemah agamanya, maka ia diuji seukuran
pengetahuan agamanya. Dan senatiasalah ujian/bencana itu
bersama seorang hamba hingga Dia membiarkannya berjalan di
muka bumi dengan tanpa mendapatkan satu dosa pun.’”
*** Di dalam sebuah hadits, “Barangsiapa yang
merahasiakan suatu rahasia, maka Allah akan menampakkannmya
kepadanya.”
**** Ibn ‘Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan mereka adalah
al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahal. Al-Aswad bin al-‘Ash
bin Hisyam dan Syaibah, ‘Utbah dan al-Walid; semuanya anak
‘Utbah, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, Hanzhalah bin Abu Sufyan dan
al-‘Ash bin Wa`il
***** al-Qurthubi berkata, “Para Ahli Tafsir bersepakat
bahwa maknanya adalah barangsiapa yang takut mati, maka
hendaklah ia beramal dengan amalan shalih sebab ia (kematian)
pasti akan menjelangnya
****** Yang dimaksud adalah berjihad melawan musuh yang
secara zhahir, yaitu kaum kafir dan secara bathin yaitu diri
sendiiri
(SUMBER: Aysar at-Tafaasiir karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairy)
|